HARI sudah menjelang senja ketika Letnan Mitsuyoshi Hamasuna memimpin satu peleton pasukan patroli masuk ke rimba di utara Buin, Pulau Bougainville, Papua Nugini pada 19 April 1943. Begitu tiba di lokasi pesawat jatuh yang sejak pagi ia lacak, perwira muda dari Angkatan Darat (AD) ke-17 Jepang itu terperangah. Tak disangkanya itu pesawat Jepang.
Sehari sebelumnya, 18 April, ia memang melihat sebuah kepulan asap dari posnya. Tapi ia mengira ada pesawat Amerika Serikat yang jatuh hingga kemudian membawa 12 anak buahnya untuk melacaknya ke dalam hutan.
Rupanya, pesawat jatuh yang ditemukan Hamasuna adalah pesawat pembom medium Mitsubishi G4M “Betty”. Pesawat bernomor registrasi 323 itu milik kesatuan Kōkūtai 705 (Grup Udara 705) AL Jepang. Yang lebih mengagetkannya adalah, jasad yang ada di dalamnya adalah panglima tertinggi Angkatan Laut (AL) Jepang Laksamana Isoroku Yamamoto beserta jasad para bawahan sang panglima: Laksamana Pertama Rokorou Takata, Letkol Kurio Toiban, dan Letkol Noburu Fukusaki.
“Laksamana Yamamoto ternyata mati dengan pedang samurainya terapit di antara kedua lututnya. Bagi armada Jepang, gugurnya pemimpinnya yang menurut (sejarawan maritim, Mayor Samuel) Morison paling pandai dan menarik perhatian ini, adalah sama dengan satu kekalahan besar di dalam pertempuran,” tulis Petrus Kanisius Ojong dalam Perang Pasifik.
Baca juga: Midway, Adu Kekuatan Dua Armada
Setelah memerintahkan beberapa prajuritnya tinggal di lokasi kejadian, malamnya Hamasuna dan sisa anak buahnya kembali ke markas untuk melapor pada Letkol Watanabe, komandan pasukan AL Jepang Sasebo ke-6. Bersama pasukan Sasebo ke-6, Hamasuna kembali ke lokasi untuk melakukan evakuasi para korban pada 20 April 1943.
Setelah diotopsi, jenazah Yamamoto dikremasi di Pangkalan Komando ke-1 di Buin pada 21 April. Sehari setelahnya, abunya diterbangkan dengan pesawat pembom G4M1 dari Pangkalan Udara Buin, lantas dipindahkan diam-diam ke kapal tempur Musashi sebelum akhirnya tiba di Jepang pada 3 Mei 1943.
Radio Tokyo sendiri baru mengabarkan kematian Laksamana Yamamoto pada 21 Mei 1943. “Yamamoto gugur dalam pertempuran di sebuah pesawat,” kata berita resminya. Abunya lantas disemayamkan di Pemakaman Tama, Tokyo pada 5 Juni 1943.
“Kehilangan Yamamoto itu ada suatu pukulan yang hebat bagi moril angkatan perang Jepang,” kata perwira biro operasi AL Jepang, Laksamana Madya Shigeru Fukudome, dikutip Morison dalam History of United States Naval Operations in World War II.
Baca juga: Akagi, Kebanggaan Armada Jepang Karam di Midway
Operasi Vengeance Menghabisi Yamamoto
Yamamoto bukan perwira sembarangan. Ia bukan sekadar perancang Pembokongan Pearl Harbor (7 Desember 1941). Dalam hierarki militer, Yamamoto adalah sosok paling disegani dalam setiap kampanye maritim besar Jepang di Perang Asia Timur Raya atau Perang Pasifik sebagai Kaigun-gensui (panglima tertinggi) AL Kekaisaran Jepang merangkap Panglima Armada Gabungan AL Jepang.
Amerika juga sudah mengenal Yamamoto lantaran ia pernah studi di Universitas Harvard (1919-1921), mewakili delegasi AL Jepang dalam kunjungan ke Naval War College Amerika pada 1924, dan menjadi deputi menteri AL yang jadi penghubung dengan atase AL Jepang di Tokyo. Ia juga dikenal sebagai rival utama Perdana Menteri (PM) Jenderal Hideki Tojo dalam konflik internal AD-AL Jepang.
“Tidak ada perwira yang lebih kompeten memimpin Armada Gabungan selain Laksamana Yamamoto. Rencana beraninya menyerang Pearl Harbor mematenkan peran krusial AL Jepang meski Yamamoto selalu realistis dan berkata jujur bahwa harapan kemenangan Jepang masih sangat dibatasi oleh waktu dan sumber daya minyak,” ungkap Edwin P. Hoyt dalam Yamamoto: The Man Who Planned Pearl Harbor.
Terlepas dari konflik internal militer Jepang, Yamamoto selalu berusaha menyokong kampanye AD Jepang di pulau-pulau penting di Pasifik. Ia ikut mengirim kapal-kapal dan alutsista udara AL Jepang untuk mendukung AD Jepang dalam Kampanye Guadalcanal (7 Agustus 1942-9 Februari 1943).
“Sesudah Guadalcanal kemudian dikosongkan, Yamamoto masih sempat mengirim dua armada udara paling kuat (174 pembom dan pemburu) untuk menyerang kapal-kapal (Panglima Area Pasifik Selatan, Laksamana William) Halsey di laut dekat Guadalcanal,” sambung Ojong.
Baca juga: Persaingan Montgomery-Patton di Tepian Rhine
Kendati hasilnya “kalah tipis”, Yamamoto tetap jadi ancaman yang merepotkan bagi upaya Amerika mengusir Jepang dari kepulauan di Pasifik. Terlebih di internal militer Amerika timbul persaingan internal antara Panglima Armada Pasifik Laksamana Chester Nimitz dan Panglima Sekutu Area Pasifik Barat Daya Jenderal Douglas MacArthur.
Yamamoto sendiri merasa perlu memberikan dukungan moril lebih nyata, yakni dengan “tur inspeksi” ke basis-basis militer Jepang. Terutama di Rabaul (Papua Nugini) sebagai basis terkuat Jepang di Pasifik dan Kepulauan Solomon.
Sialnya, rundown rencana kunjungan Yamamoto itu bocor. Lebih runyam lagi Jepang belum mengetahui bahwa Amerika sudah mampu memecahkan kode-kode rahasia Jepang dalam setiap korespondensi kawat hilir-mudik sejak Pertempuran Midway (4-7 Juni 1942).
“Pada permulaan April 1943, intelijen Amerika menangkap sebuah kawat top secret dari Tokyo kepada markas-markas besarnya yang ternyata isinya sangat penting: Laksamana Isoroku Yamamoto akan mengunjungi medan peperangan. Kawat yang ditangkap itu pun menyebut tanggal berangkat dan tibanya Yamamoto, lengkap dengan jam dan menitnya,” lanjutnya.
Baca juga: Gedoran Jepang di Corregidor
Washington dengan mudah menandai agenda Yamamoto. Sang “Panglima Asia Timur Raya” itu akan berangkat dari Rabaul pada 18 April tepat pukul 6 pagi dan tiba di Pangkalan Udara Balalae di Kepulauan Solomon pada pukul 8 pagi waktu Tokyo.
Yamamoto tentu takkan terbang tanpa perlindungan. Setidaknya ada satu pesawat pembom G4M1 lain yang ditumpangi salah satu bawahan Yamamoto, yakni Laksamana Matome Ugaki. Kedua pesawat pembom itu dikawal enam pesawat pemburu Mitsubishi A6M “Zero” dari Grup Udara AL ke-705.
“Lantas Nimitz mengirim kawat kepada para perwira intelijen tertinggi di Pearl Harbor dan Washington, apakah ada faedahnya menyergap dan membunuh Yamamoto. Apakah ada perwira Jepang lain yang begitu pandai seperti Yamamoto dan dapat menggantikan dia? Jawab Washington, ‘Tidak! Kalau begitu Yamamoto harus dibunuh’,” tambah Ojong.
Ketika laporan itu sampai ke telinga Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt, dilema pun timbul. Terdapat kode etik militer tak tertulis bahwa bagaimanapun juga pemimpin dalam sebuah peperangan hendaknya tidak dihabisi.
“Biasanya Amerika tidak menyetujui tindakan-tindakan sedemikian. Beberapa kali ada kesempatan untuk turut serta dalam usaha membunuh (Pemimpin Nazi Jerman, Adolf) Hitler dan (pemimpin fasis Italia, Benito) Mussolini, Amerika selalu menolak. Tetapi soal Yamamoto berlainan di mata Amerika,” imbuh Ojong.
Satu faktor penentu yang membuat Presiden Roosevelt akhirnya menyetujui usul Nimitz adalah perkara Pembokongan Pearl Harbor. Serangan mendadak yang tanpa didahului pernyataan perang –namun beberapa sumber menyebutkan pernyataan perang Jepang datangnya terlambat beberapa jam– itu bagi Amerika merupakan pukulan telak.
Baca juga: Sebelum Pearl Harbor, Pesawat Jepang Pernah Tenggelamkan Kapal AS
Syahdan setelah mendapat lampu hijau dari Washington dan mendiskusikan rencananya dengan Halsey, Nimitz menitahkan “Operasi Vengeance” untuk membidik nyawa Yamamoto pada 17 April 1943. Operasi dengan rencana yang singkat dan padat itu dipercayakan Nimitz kepada Skadron Tempur ke-339 yang merupakan bagian Grup Tempur ke-347 AD Amerika.
Operasi Vengeance itu dipimpin sang komandan skadron Mayor John W. Mitchell dengan kekuatan 18 pesawat pemburu P-38 “Lightning”. Komposisinya adalah 14 unit sebagai pengawal udara, sementar empat pesawat lainnya khusus untuk memburu Yamamoto yang dikomando Kapten Thomas G. Lanphier Jr.
Baca juga: Operasi Culverin, Gagasan Churchill Menginvasi Sumatera
Setelah briefing singkat bermodalkan itinerary perjalanan Yamamoto yang bocor, ke-16 pilot Amerika itu pun berangkat dari Lanud Kukum di Guadalcanal pada pukul 7.25 pagi 18 April.
“Mitchell memimpin 12 pesawat P-38 naik hingga ketinggian 15.000 kaki untuk menghadapi enam pesawat Zero Jepang. Sementara empat P-38 lainnya yang diterbangkan Lanphier, (Rez) Barber, (Besby) Holmes, dan (Raymond) Hine, mengejar pesawat Yamamoto,” tulis Daniel Haulman dalam Killing Yamamoto: The American Raid That Avenged Pearl Harbor.
Faktor yang membuat misi itu berjalan lancar adalah kebiasaan Yamamoto untuk selalu tepat waktu, membuat para pilot Amerika itu bisa dengan mudah memperkirakan waktu dan posisi yang pas untuk menyergap. Dan itulah yang terjadi. Hanya satu menit meleset dari perkiraan, pada pukul 9.43 pagi rombongan Mitchell bersua pesawat Yamamoto di titik sergap di langit sekitar Pulau Bougainville.
Pengejaran akhirnya menyisakan dua pesawat P-38 yang dipiloti Lanphier dan Barber memburu dua pesawat pembom Betty. Pesawat Barber berhasil menembak jatuh pesawat yang ditumpangi Laksamana Ugaki, Lanphier usai menghindari tembakan pesawat Zero, berhasil menembaki pesawat Betty yang ditumpangi Yamamoto.
Baca juga: Panji Matahari Terbit di Bali
Tembakan Lanphier mengenai mesin kanan pesawat yang mengangkut Yamamoto hingga terbakar. Sayap kanannya pun hancur. Pesawat Betty itu menukik dan jatuh di hutan rimba di utara Buin, Pulau Bougainville hingga bangkai pesawat dan jenazah Yamamoto ditemukan sehari kemudian oleh pasukan patroli Jepang.
“Pihak Amerika berjingkrak-jingkrak dan berteriak-teriak saking girangnya. Berita tentang tewasnya Yamamoto disiarkan pihak Amerika – tentu dirahasiakan cara bagaimana laksamana Jepang itu menemui ajalnya. Rahasia itu disimpan baik-baik,” tandas Ojong.