Gedoran Corregidor
Pulau benteng di Filipina yang berjuluk Gibraltar dari Timur. Rintangan pamungkas Jepang untuk menguasai Asia.
PERASAAN Letjen Masaharu Homma membuncah. Malam itu, 6 Mei 1942, ia sudah ditunggu tamu “istimewa” di teras sebuah rumah bertembok putih di pesisir Bataan, Filipina. Namun Panglima Tentara Angkatan Darat (AD) ke-14 Jepang itu mesti menjaga sikapnya sebagai pihak pemenang.
Homma sengaja membuat tamunya, Letjen Jonathan Mayhew Wainwright IV, komandan pasukan Amerika Serikat di Filipina (USFIP), menunggu dengan cemas sedari pukul 4 hingga pukul 6 petang. Walau Wainwright sudah menyiarkan menyerahnya pasukan gabungan Amerika dan Filipina pada siangnya, serdadu Jepang belum berhenti bermanuver.
Sejak memulai invasi ke Corregidor, sebuah pulau benteng yang jadi kubu pertahanan terakhir Amerika di Filipina, pada dini hari 5 Mei 1942, sedikit demi sedikit tentara Jepang menerabas perimeter-perimeter pertahanan. Walau sudah mendengar siaran menyerahnya Wainwright pada pukul 11 siang 6 Mei 1942, Homma belum berniat menghentikan laju pasukannya yang nyaris mencapai markas bawah tanah Wainwright di Bukit Malinta, Pulau Corregidor atau dalam catatan resmi Amerika bernama Fort Mills.
“Akhirnya setelah menunggu sejam lagi (pukul 7 malam) Homma tiba dengan sedan Cadillac-nya yang mengkilap. Tampak medali-medali memenuhi bagian dada di seragamnya, ditambah sebilah pedang dengan ukiran cantik, lantas diikuti tiga ajudannya,” ungkap Bill Sloan dalam Undefeated: America’s Heroic Fight for Bataan and Corregidor.
Homma memilih tak memandang jenderal ceking berkacamata yang berdiri menyambutnya di teras rumah itu. Dengan langkah congkak, Homma lugas menuju kursi di ujung meja yang sudah disiapkan untuknya. Sorot mata tanpa ekspresinya sontak bikin lawannya di seberang meja kian merasa inferior. Ia baru melirik ke arah Wainwright ketika menerima “operan” berkas penyerahan dari Wainwright.
“Jenderal Homma menjawab bahwa pihaknya tidak akan menerima kapitulasi ini jika tidak mencakup semua pasukan Amerika dan Filipina di seantero Kepulauan Filipina,” cetus sang penerjemah menyambungkan lidah Homma.
Sang lawan sempat balik berargumen, ia bersedia menyatakan penyerahan di empat pulau benteng semata (Fort Mills/Corregidor, Fort Hughes/Pulau Caballo, Fort Drum/El Fraile, dan Fort Frank/Carabao). Homma enggan kalah argumen. Dengan nada mengancam, Homma memberitahu Wainwright bahwa pasukannya sudah sampai di sisi timur akses markasnya di Bukit Malinta.
“Tembak-menembak akan terus berlanjut kecuali syarat penyerahan Jepang diterima,” kata Homma tegas sambil meninggikan nada suaranya kepada Wainwright.
Dengan berat hati, Wainwright membuat dokumen kapitulasi baru dan diteken sesuai permintaan Homma. Air mata Wainwright mengucur deras mengiringi kejatuhan resmi Filipina ke tangan Jepang sekaligus mengakhiri kampanye invasi Filipina-nya Jepang sejak 8 Desember 1941 dengan gilang-gemilang.
Corregidor Benteng Terakhir
Kejatuhan Corregidor sudah jadi keniscayaan mengingat pada 9 April pertahanan kuat Amerika dan Tentara Persemakmuran Filipina di Bataan ambruk. Bahkan panglima tertinggi pasukan Amerika di Filipina Jenderal Douglas MacArthur sudah lebih dulu kabur dari Corregidor pada Maret 1942.
Bataan pun jatuh ke tangan Jepang berkat kegemilangan Homma. Kendati begitu, para atasannya di Tokyo masih mendesaknya untuk menghabisi sisa-sisa kekuatan Amerika di Corregidor sebelum bisa menguasai ibukota Manila secara penuh demi mendirikan negara boneka.
Homma mulanya meyakini bahwa hanya dengan serangan-serangan udara dari Bataanlah pertahanan Amerika di Corregidor mau menyerah. Pasalnya, Homma juga mesti “mengistirahatkan” pasukannya yang menerima perlawanan sengit dalam Pertempuran Bataan (7 Januari-9 April 1942). Tetapi Tokyo tetap menghendaki Corregidor, yang dijuluki “Gibraltar dari Timur”, tetap harus digedor dan direbut dari darat.
Baca juga: Kebanggaan Armada Jepang yang Karam di Midway
Menukil Louis Morton dalam The Fall of the Philippines, saat itu Corregidor diperkuat sekira 13 ribu prajurit gabungan Marinir, Angkatan Darat, dan Angkatan Laut Amerika, serta dua resimen artileri pantai pasukan Persemakmuran Filipina. Wainwright juga memanfaatkan jalur-jalur terowongan bawah tanah yang saling berhubungan dengan pusat di markasnya terowongan Bukit Malinta.
Pertahanan utamanya digantungkan pada keandalan 56 meriam pantai, mulai dari meriam tiga inci hingga 12 inci yang disebar menjadi 23 baterai, ditambah 13 meriam anti-udara yang kesemuanya mengarah ke Bataan, mengingat kubu itu sudah direbut Jepang sejak 9 April 1942.
Yang jadi kepusingan Wainwright adalah soal suplai makanan dan obat-obatan. Udara sudah dikuasai Jepang dengan ratusan pesawatnya dari Brigade Udara ke-22 yang setiap hari melayang-layang di atas Corregidor. Kadang mereka menjatuhkan bom, kadang menjatuhkan tumpukan selebaran bujukan penyerahan diri. Ransum air untuk minum sampai dibatasi sekali dalam dua hari per prajurit.
Baca juga: Melindungi Kenangan Kapal Perang Amerika era Perang Pasifik
Sementara di pihak Jepang, Homma mulai mengonsolidasikan pasukannya lagi di Bataan. Selain mengerahkan pasukan kepercayaannya, AD ke-14, Homma juga mendapat tambahan pasukan segar: Divisi Infantri ke-4 dan Resimen Tank ke-7 dengan total 75 ribu personil.
Sudah dari jauh-jauh hari Wainwright mengingatkan pada dua jenderal lapangannya, George F. Moore dan Samuel L. Howard, untuk menyiagakan pasukannya setiap waktu, utamanya di malam hari. Pasalnya Wainwright meyakini Jepang bakal berusaha mendarat memanfaatkan keadaan gelap gulita walau hari-H belum diketahui.
Benar saja, pada kegelapan 5 Mei 1942 sekira pukul 11.30 malam, dari arah laut sejumlah kapal pendarat Jepang melipir dan menumpahkan ratusan serdadu gelombang pertama dari Divisi Infantri ke-4 ke pesisir North Point di timur Corregidor. Dimulailah gedoran yang diikuti pertempuran sengit berebut benteng terkuat terakhir Amerika di Filipina itu.
“Gelombang pertama itu berkekuatan 800 serdadu dan mendapat perlawanan sengit dari pasukan Resimen ke-4 Marinir Amerika di North Point. Itu jadi serangan pertama ke arah timur, sementara pada paginya, bakal diterjunkan 2.300 prajurit lain mengarah ke sisi barat Corregidor di bawah komando Jenderal (Kuneo) Taniguchi,” sambung Sloan.
Baca juga: Pura-Pura demi Burma Merdeka dari Jepang
Pasukan gabungan Amerika dan Filipina terpaksa mundur teratur, baik di kubu pertahanan North Point maupun Cavalry Point. Meski meriam-meriam dan mortir Amerika terus menyalak hingga menjatuhkan korban tak sedikit di pihak Jepang, laju pihak agresor tak terbendung.
Pertempuran paling alot terjadi saat pasukan Amerika dan Filipina mundur dan mengonsolidasikan diri di Baterai Denver. Sekira dua ribu serdadu Jepang menerjang lawan yang hanya tinggal berkekuatan 500 serdadu Marinir, kelasi AL Amerika, dan sisa-sisa pasukan artileri Filipina pada pukul 4.30 pagi.
Segala macam senjata dan pertarungan turut bermain. Bahkan, tak jarang terjadi pertarungan jarak dekat memanfaatkan popor senapan atau bayonet. Namun perlawanan Amerika-Filipina akhirnya runtuh juga setelah tank-tank Jepang berdatangan sekira pukul 9.30 pagi. Pasukan Amerika-Filipina yang tersisa harus mundur lagi tepat di perbatasan timur akses menuju Bukit Malinta yang jadi markas Wainwright.
Merasa sudah kalah, sang jenderal mengirim siaran radio kepada Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt, bahwa keadaan memaksanya untuk menyerah ketimbang menumpahkan lebih banyak darah prajuritnya.
“Dengan hati yang hancur dan kepala tertunduk dalam kesedihan, saya melaporkan pada Anda, Yang Mulia, bahwa harus mengatur syarat penyerahan pulau benteng di Teluk Manila ini,” ungkap Wainwright dalam siarannya pada pukul 10.30, dikutip Sloan.
Bendera-bendera Amerika yang tersisa terpaksa dibakar agar tak jatuh ke tangan serdadu Jepang yang bakal menjadikannya souvenir kebanggaan. Ia lantas memerintahkan beberapa prajuritnya membuat bendera putih dari sprei-sprei di barak prajurit untuk kemudian dibawa seiring menyerahkan pesan gencatan senjata sebelum kapitulasi resmi di hadapan Jenderal Homma. Pertempuran itu memakan korban masing-masing 800 jiwa di pihak Amerika-Filipina dan 900 di pihak Jepang.
Baca juga: Orang Indonesia di Palagan Pasifik
Tambahkan komentar
Belum ada komentar