Panji Matahari Terbit di Bali
Pendaratan pasukan Jepang di Sanur yang memicu duel maritim armada Kaigun kontra ABDA.
SEJAK pagi, 19 Februari 1942, Letnan Clarence McPherson, pilot pesawat pembom B-17E “Flying Fortress” dari Grup Pembom ke-7 Korps Udara Angkatan Darat Amerika Serikat, sudah punya perasaan tak enak. Padahal, hari itu ia punya misi terbang dari Pangkalan Udara (Lanud) Darwin menuju Lanud Denpasar, Bali.
Perasaan tak enak itu bermula dari jadwal keberangkatannya yang tertunda beberapa jam untuk perbaikan mesin pesawatnya di pagi buta. Alhasil baru pada sekira pukul 9.15 pagi McPherson bisa take-off untuk mengiringi 10 pesawat pemburu P-40 “Warhawk” pimpinan Mayor Floyd Pell dari Skadron Pemburu ke-33. Namun di tengah perjalanan, ke-10 pesawat P-40 memutuskan balik kanan lantaran cuaca buruk di langit Kupang.
McPherson memilih tetap meneruskan penerbangannya. Ketika ia sudah melihat Lanud Denpasar dari arah selatan dan hendak mendarat di siang hari, tetiba pesawatnya ditembaki senapan mesin. Disadarinya kemudian, Lanud Denpasar ternyata sudah dikuasai satu detasemen serdadu Jepang sejak malam sebelumnya.
“Roda pesawat sudah sempat diturunkan dan hendak mendarat untuk kemudian taxiing. Andai tentara Jepang tak lebih dulu menembaki saat pesawat mendekati landasan, sangat mungkin kru pesawat ditawan Jepang. Namun McPherson langsung terbang lagi dengan hanya membawa lubang peluru di badan pesawat dan salah satu krunya tertembak di bagian kaki,” tulis Walter Dumaux Edmonds dalam The Fought with what They Had: The Story of the Army Air Forces in Southwest Pacific, 1941-1942.
McPherson beruntung. Para serdadu Jepang belum sempat menempatkan meriam antiudara di lanud itu. Sekira pukul 5.55 petang, McPherson berhasil mendarat dengan selamat di Lanud Singosari (kini Lanud/Bandara Abdulrahman Saleh), Malang. Di lanud itu, McPherson diterangkan oleh perwira intelijen ABDACOM atau Komando Amerika-Inggris-Belanda-Australia, bahwa Bali sudah sudah dikuasai serdadu panji matahari terbit.
Surga Dunia yang Strategis
Pulau Bali mulanya tak pernah masuk dalam perhitungan Jepang untuk direbut. Toh sejak awal Januari 1942, Jepang sudah punya tiga lanud besar (Banjarmasin, Makassar, dan Kendari) untuk membom Malang dan Surabaya yang jadi basis terkuat ABDA di timur Pulau Jawa.
“Tetapi disadari juga bahwa Bali dikenal punya cuaca yang luar biasa ideal. Itu yang kemudian membuat Jepang tertarik, selain keindahannya sebagaimana yang diakui Laksamana Matome Ugaki, kepala Staf Armada Gabungan Jepang, sebagai ‘surganya dunia’,” ungkap Jeffrey Cox dalam Rising Sun, Falling Skies: The Disastrous Java Sea Campaign of World War II.
Cuaca jadi kata kuncinya. Jepang segera insyaf bahwa kondisi cuaca di langit Lanud Makassar dan Kendari tak seideal Lanud Denpasar. Selain itu, jika Denpasar bisa dikuasai, pesawat-pesawat Jepang bakal lebih menghemat bahan bakar dalam membombardir Malang dan Surabaya ketimbang berangkat dari Banjarmasin, Makassar, maupun Kendari.
Baca juga: Yang Tercecer dari Pertempuran Biak
Maka, pada akhir Januari Markas Umum Militer di Tokyo menambahkan Bali sebagai target invasinya. Rencana pendaratan dan langkah antisipatif terhadap gangguan Sekutu (ABDA) pun dirancang. Operasi pendaratan jatuh ke pundak Laksamana Muda Kyuji Kubo, komandan Armada Serbu ke-4.
Kapal penjelajah ringan Nagara jadi kapal komando Laksamana Kubo yang akan bertanggungjawab atas konvoi armada yang terdiri dari tujuh kapal perusak dan kapal angkut Sasago Maru dan Sagami Maru. Dua kapal angkut itu akan membawa satu batalyon pasukan pendarat dari Divisi Infantri ke-48 pimpinan Mayor Matabei Kunemura. Konvoi ini berangkat dari pelabuhan Makassar pada 17 Februari malam.
“Sasaran (pendaratan) mereka adalah pantai dan jalan utama Sanur di pesisir tenggara Bali di Selat Badung. Area itu dipilih karena jadi titik terdekat menuju Denpasar. Kapal perusak Asashio, Oshio, Arashio, dan Michishio akan mengawal ketat dua kapal angkut. Kapal perusak Hatsushimo, Nenohi, dan Wakaba akan mengekor di belakang sebagai pelindung jika ada musuh dari arah Laut Banda di utara,” lanjut Cox.
Intelijen pangkalan ABDA di Surabaya sejatinya sudah mengintip ada persiapan besar di Makassar yang akan memberangkatkan sebuah konvoi. Namun ABDA belum mendapat kesimpulan detail ke mana dan kapan konvoi itu akan melancarkan serangan atau pendaratan. Ditambah, kekuatan ABDA, terutama armadanya di bawah komando Laksamana Karel Doorman, tercerai berai antara Laut Jawa hingga Laut Banda.
ABDA baru mendapat info konvoi Jepang itu menyasar ke Bali pada 18 Februari petang, ketika dua kapal angkut Jepang bersiap mendaratkan serdadunya ke Pantai Sanur. Adalah kapal selam (kasel) Amerika USS Seawolf dan kasel Inggris HMS Truant yang melakukan kontak pertama. Sayangnya serangan mereka kandas dan dihalau kapal-kapal perusak Jepang dengan bom-bom dalam mereka.
Di atas kapal penjelajah HNLMS De Ruyter yang jadi kapal komandonya, Laksamana Doorman langsung menginstruksikan armadanya di Pelabuhan Cilacap untuk segera menuju Selat Badung. Di dalamnya turut serta kapal penjelajah HNLMS Java, kapal perusak HNLMS Piet Hein, dan dua kapal perusak Amerika USS John D. Ford dan USS Pope. Sementara, kapal penjelajah HNMLS Tromp berangkat dari Surabaya dan kapal perusak USS Stewart, USS John D. Edwards, USS Parrott, dan USS Pillsbury menyusul dari Teluk Ratai.
Baca juga: Pertempuran Alot di Pantai Utara Papua
Gangguan berat pertama Jepang datang dari udara. Sejak 18 Februari tengah malam, pesawat-pesawat pembom dan pembom tukik Sekutu bergantian berangkat dari Malang dan Surabaya untuk membombardir kapal-kapal angkut Jepang. Pendaratan Jepang pun tertunda beberapa jam.
“Saat kami baru mengira bahwa pendaratan ini akan berakhir sukses, tiba-tiba sebuah (pesawat pembom) B-17 terbang di atas konvoi kami. Pemboman terus-menerus oleh pesawat-pesawat musuh memaksa kami menunda operasi pendaratan,” tutur seorang perwira Jepang, dikutip Cox.
Pada dini hari 19 Februari, konvoi Jepang baru mendapat perlindungan udara dari Grup Udara Tainan yang berbasis di Balikpapan. Saat pesawat-pesawat Amerika sudah menemukan lawan di udara, operasi pendaratan baru bisa dimulai lagi. Para serdadu Jepang mulai menginjakkan kaki di Pantai Sanur sekira pukul 2 dini hari.
Baca juga: Gedoran Jepang di Corregidor
Mereka tak menemukan perlawanan berarti di darat sehingga dengan mudah merangsek hingga merebut Lanud Denpasar yang ditinggalkan pasukan pertahanan. Bali saat itu sama sekali tak memiliki satu peleton pun pasukan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia-Belanda). Saat itu Bali hanya dipertahankan Korps Prajoda yang terdiri dari 600 milisi lokal dan beberapa perwira menengah Belanda pimpinan Kolonel W.P. Roodenburg.
“Bahkan sebelum pendaratan, pimpinan KNIL di Bandung hanya memerintahkan pengrusakan kendaraan-kendaraan militer dan depot-depot bahan bakar di sekitar Denpasar dan Singaraja. Saat Jepang mulai mendarat, pasukan itu mundur ke Penebel di utara Tabanan,” urai Geoffrey Robinson dalam The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali.
Bahkan, lanjut Robinson, Kolonel Roodenburg kala mendengar Jepang sudah masuk ke Denpasar segera memerintahkan ke-600 prajurit Korps Prajoda melucuti senjata dan seragam, lalu diperintahkan pulang ke rumah masing-masing. Tanpa penjelasan lebih lanjut, Korps Prajoda yang didirikan pada 1938 sebagai “kepanjangan tangan” KNIL untuk mempertahankan Bali, resmi dibubarkan.
Duel Armada
Jika di darat hampir tak ada pertempuran, di laut armada Doorman dan armada Kubo duel hebat. Seiring pendaratan pasukan Jepang dan datangnya kapal-kapal ABDA, Pertempuran Selat Badung pun dimulai pada 19 Februari 1942 dini hari.
Meriam-meriam dari dua kapal penjelajah dan tiga perusak ABDA pimpinan Doorman mulai menyalak pada jam 10.25 malam. Serangan balik Jepang dengan torpedonya justru lebih efektif. Sebuah torpedo dari Asashio mengenai Piet Hein dengan telak hingga akhirnya tenggelam. Kapal perusak Amerika John D. Ford dan Pope juga kepayahan melawan meriam-meriam Asashio dan Oshio yang lebih superior. Keduanya akhirnya kabur ke arah tenggara dari Selat Badung dengan beberapa kerusakan pada badan kapal.
Pukul 1 dini hari 20 Februari, enam kapal lain ABDA tiba. Pertempuran dahsyat dengan dua kapal Jepang pun terjadi. Mereka saling bertukar tembakan meriam. Oshio dan Asashio mulai kewalahan hingga rusak berat dan terpaksa mengundurkan diri. Lantas giliran Arashio dan Michishio yang baku serang dengan tiga kapal ABDA yang tersisa. Ketika mentari terbit pukul 6 pagi 20 Februari, Selat Badung mulai sepi. Kapal-kapal Jepang dan Amerika sama-sama mengundurkan diri dengan kerusakan berat.
Baca juga: Kebanggaan Armada Jepang Karam di Midway
Pihak Jepang mengklaim kemenangan karena misi utama mereka mendaratkan pasukan berjalan sukses. Pihak Sekutu tak mau kalah, mereka bangga bisa membuat Jepang membayar mahal. Sejak saat itu Jepang tak berani mengirim kapal-kapal untuk suplai pasukannya. Jepang baru kembali mengirim kapal suplainya pada Maret 1942 setelah Hindia Belanda menyerah di Kalijati.
“Ofensif udara dan laut Sekutu melawan pasukan ekspedisi Jepang sukses, mereka membuat Jepang tak bisa mengirim satu pun kapal perang atau kapal angkut untuk mendukung suplai pasukan Jepang (di Pulau Bali). Kemenangan di Bali adalah kemenangan dengan harga yang mahal,” tulis suratkabar The West Australian, 24 Februari 1942.
Baca juga: Rebut Manila!
Perubahan drastis langsung terjadi di Bali begitu pasukan Jepang menguasai Denpasar dan sekitarnya. Para pegawai Belanda beramai-ramai kabur ke Jawa dan Australia. Hanya sekitar 63 warga asing yang ditahan sebelum dipindahkan ke kamp-kamp interniran di Jawa pada Maret.
“Untuk sesaat kemudian, kehidupan warga kembali normal. Sebuah siaran radio Jepang pada 27 Maret 1942 menyebutkan: ‘Warga Indonesia di Pulau Bali menikmati hidup yang damai di bawah kendali pasukan Jepang. Bus-bus beroperasi lagi, jalan-jalan raya yang dihancurkan Belanda telah diperbaiki Korps Buruh Sukarela Indonesia. Tiga ribu warga Cina yang mengontrol aktivitas bisnis sudah kembali ke rumah mereka dan sepenuhnya bekerjasama dengan otoritas militer Jepang’,” tandas Robinson.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar