FENOMENA tagar #KaburAjaDulu belakangan viral di kalangan anak muda Indonesia di dunia maya. Ajakan hijrah ke luar negeri itu jadi ekspresi kekecewaan atas banyaknya beleid pemerintah yang tidak berpihak pada generasi muda, carut-marut keadaan ekonomi, politik, hingga hukum di negeri ini sehingga mendorong mereka ingin mencari kesempatan yang lebih pasti dan lebih baik untuk berkarya dan mencari penghidupan di luar negeri.
Terlepas dari pro dan kontra banyak pihak, ledakan ekspresi semacam ini sejatinya bukan fenomena baru. Pada 2024, fenomena brain drain juga viral di kalangan anak muda. Fenomenanya bahkan tak hanya sekadar studi atau bekerja di luar negeri tapi juga berujung pada pindah kewarganegaraan demi mencari masa depan yang lebih menjanjikan.
Menurut Nathalie Baptiste dalam artikel “Brain Drain and the Politics of Immigration” di laman Foreign Policy in Focus, 25 Februari 2014, definisi brain drain di masa kini untuk menyebut eksodus atau perpindahan para individu terdidik dan terlatih, atau bahkan cendekiawan dan ilmuwan dalam skala besar dari negeri asal ke negeri orang yang terdorong karena kebijakan-kebijakan pemerintah tak menyediakan kesempatan untuk mereka menyalurkan keterampilan sekaligus kondisi politik dan ekonomi yang menghimpit. Ada faktor keterpaksaan sehingga konteksnya akan jadi berbeda antara brain drain dengan pekerja migran.
Baca juga: Nestapa Pekerja Migran Indonesia di Negeri Jiran
Lantaran sudah eksis sejak lama, sehingga tak terlacak sejak kapan fenomena itu terjadi. Fisikawan Yahudi Albert Einstein salah satu contoh yang hengkang dari negeri kelahirannya, Jerman, pada 1933 seiring berkuasanya rezim Nazi pimpinan Adolf Hitler. Meski begitu, menurut Baptiste, istilah “brain drain” sendiri baru dimunculkan akademi ilmu pengetahuan Inggris, The Royal Society, setelah melihat fenomena migrasi para ilmuwan dan pakar teknologi Inggris ke Amerika Serikat dan Kanada pada era 1950-an.
Di Indonesia pun sejatinya sudah sejak lama terjadi. Salah satunya terjadi pada banyak insinyur Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN, kini PT Dirgantara Indonesia/PT DI) akibat krisis moneter 1997 yang berdampak pada “mati surinya” industri kedirgantaraan Indonesia.
“Pembatalan program-program di IPTN telah menurunkan secara drastis motivasi dari para insinyur ini. Pekerjaannya pun menjadi langka. Inilah awal dari brain drain insan nusantara yang terjadi di IPTN. Anak bangsa ini kemudian bekerja di industri dirgantara Malaysia, Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan Brasil,” tulis pakar dirgantara cum epala Staf Angkatan Udara periode 2002-2005 Marsekal (Purn.) Chappy Hakim dalam Berdaulat di Udara: Membangun Citra Penerbangan Nasional.
Baca juga: BPPT, Riwayatmu Kini
Berbondong-bondong ke Negeri Orang
Indonesia tak pernah kekurangan orang pintar. Dalam bidang kedirgantaraan, (mendiang) Bacharuddin Jusuf Habibie adalah salah satu bukti sahihnya. Sempat berkarier di industri berat dan dirgantara Jerman, kecintaannya pada tanah air membuatnya berkenan untuk pulang dengan membawa serta semua ilmu dan keterampilan yang ia dapat di negeri orang.
Pesawat komuter turboprop N-250 jadi satu dari sekian pencapaiannya ketika memimpin IPTN sejak 1976. Inovasi Habibie yang hadir di pesawat itu berupa teknologi fly-by-wire. N-250 adalah pesawat sipil pertama yang menggunakan teknologi mutakhir itu.
“Fly-by-wire itu lonjakan yang sudah canggih. Kalau sebelumnya (pesawat) terbang harus manual, masih pakai mechanical, kalau fly-by-wire sudah elektronik. Pesawat yang pernah pakai itu pesawat militernya Amerika. Lalu dibawa ke (pesawat) sipil. Itu yang diadopsi (N-250) tapi negara-negara lain kemudian juga mengikuti,” jelas eks-teknisi IPTN Agus Pribadi Muhardjanto kepada Historia.ID.
Baca juga: Habibie Sang Teknokrat
Agus yang lulusan teknik fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) itu terlibat di proyek N-250 sebagai spesialis desain enviromental system. Tugasnya memastikan kesesuaian spesifikasi teknis Air Transportation Association (ATA) 25 Fire Protection dan ATA 35 Oxygen System, serta prosedur air worthiness. Agus kemudian juga dilibatkan pada rencana pembangunan pesawat lanjutan dengan kapasitas lebih besar dan bermesin jet, N-2130.
Purwarupa N-250 dengan kode PA1 yang lantas dinamai Gatotkaca menjalani uji coba penerbangan perdana pada 10 Agustus 1995 dan sukses. Namun terjangan krisis moneter 1997 yang disusul krisis politik 1998 menjadi awal bencana bagi industri dirgantara Indonesia.
International Monetary Fund (IMF) memberikan syarat jika pemerintah Indonesia mau menerima pinjaman 43 miliar dolar. Salah satunya adalah pemerintah Indonesia tidak meneruskan dukungan kredit di luar anggaran untuk proyek-proyek IPTN. Hasilnya, proyek N-2130 dan proyek N-250 yang sejatinya tinggal menunggu sertifikasi pun ibarat disuntik mati. Hal itu amat disesali kepala program N-250 IPTN Djoko Sartono Sastrodihardjo.
“Dengan keputusan IMF melarang pemerintah memberikan dana untuk N-250. Padahal kita sudah tidak jauh lagi dari sertifikasi. Kita waktu itu (1998) sudah punya hampir 900 jam terbang. Untuk mendapatkan sertifikasi kita butuh 700 jam terbang lagi. Jadi hal itu memukul kita juga dan terus terang sebagian besar SDM (insinyur/teknisi) kita yang sudah terlatih dengan program itu akhirnya pergi ke (pabrikan) Embraer di Brasil, ke Boeing, ke Airbus di Hamburg,” sesal Djoko di webinar “Gatotkaca Mengguncang Dunia” via Zoom pada 27 Oktober 2020.
Baca juga: Gatotkaca Terbang, Mendarat di Museum
Hal serupa juga dirasakan Agus, yang terlibat di proyek N2130, pesawat komersil yang bisa menampung sekitar 130 penumpang. Terlebih saat itu banyak industri dirgantara asing juga tengah mengincar pasar pesawat dengan kapasitas serupa, termasuk Airbus dengan pesawat A220-nya dan Embraer dengan pesawat E170-nya.
“Ya sedih tentunya. Kita semua berharap bisa sukses dan bisa memproduksi pesawat (N2130) karena ini juga menjadi kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia. Tapi mau bagaimana lagi, namanya kita juga pegawai yang waktu itu sampai 16 ribu orang ya,” sambung Agus.
Sebagian kecil insinyur masih berkarya untuk menyokong pengawasan dan pemeliharaan sejumlah pesawat hasil kemitraan, seperti pesawat C-212 dan CN-235. Namun sekira 12 ribu pegawai IPTN terpaksa dirumahkan. Sedikit dari mereka yang beruntung bisa mendapat kesempatan lain untuk tetap berkarya dan mencari penghidupan di industri asing.
“Brasil tengah mengembangkan pesawat jet RI 170 (E170, red.). Tenaga inti proyek ini adalah para teknisi dari IPTN yaitu sebanyak 70 orang pada bidang structural design dan 20 orang pada bidang test flying. Di Jerman, Dornier-Fairchild telah roll out pesawat jet 728 di Munchen untuk segera masuk lini produksi. Di sini sebanyak 100 insinyur IPTN bekerja selama tiga tahun mempersiapkan pesawat kebanggaan Jerman ini,” tambah Chappy.
Baca juga: Dua Satu Tiga Puluh
Agus salah satunya. Ia beruntung bisa mendapat kesempatan menyalurkan keterampilannya sekaligus bersama sekitar 50 kompatriotnya belajar ilmu baru di Brasil bersama Embraer pada 2001.
“Tahun 1999 sebenarnya sudah ada senior saya, (alm.) Rahmat Hamdani. Begitu ada krisis dia sigap langsung cari peluang. Saya terlibat di (proyek pesawat Embraer E170) tahun 2001, mereka sebenarnya sudah berjalan. Biasanya kan merekrut expert itu agak ke (proses) pertengahan sampai akhir. Senior saya itu mungkin sejak mulai PDR-nya (preliminary design review). Kalau saya sudah masuk ketika mulai CDR-nya (critical design review), memastikan fire safety dan air worthiness-nya,” kenang Agus.
Bersama sekitar 50 rekannya, Agus direkrut sebagai job shopper atau teknisi asing lewat perantara agency yang berbasis di Inggris. Agus tidak hanya direkrut sebagai pembuat desain tapi juga mendapat timbal-balik turut mengajari para teknisi lokal Embraer dan mendapatkan ilmu lain dari mereka pula untuk kembali memajukan industri dirgantara di negeri sendiri sepulangnya ke tanah air.
“Mereka semua tidak berkhianat, namun keahliannya tidak dapat tersalurkan di tanah air dan mereka harus makan dan menghidupi keluarganya. Inilah kesuksesan IPTN yang berhasil mencetak SDM tenaga insinyur di bidang teknologi kedirgantaraan yang sangat langka di dunia untuk kemudian bekerja di pabrik-pabrik pesawat ternama di luar Indonesia. Sangat ironis,” tukas Chappy.
Baca juga: Marcel Dassault dan Jet Tempur Kebanggaan Prancis