Masuk Daftar
My Getplus

Seabad Maskapai KLM Menghubungkan Amsterdam-Jakarta

Sebagai maskapai tertua yang masih beroperasi, aset-aset KLM di Indonesia sempat jadi perkara untuk dinasionalisasi di KMB

Oleh: Randy Wirayudha | 07 Okt 2024
Pesawat Boeing 777 "Mount Kilimanjaro" milik Maskapai KLM (Randy Wirayudha/Historia)

HARI ini, 7 Oktober, perusahaan penerbangan nasional Belanda, Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM), resmi berusia 105 tahun. Maskapai penerbangan tertua yang masih beroperasi di dunia itu seabad silam (Oktober 1924) juga memberi bukti bahwa Eropa dan Asia bisa terkoneksi via udara dengan aman ketika membuka rute komersial Amsterdam-Batavia (kini Jakarta).

Menilik catatan sejarah, KLM memang bukan maskapai pertama di dunia. Adalah Deutsche Luftschiffahrts-Aktiengesellschaft (DELAG) maskapai yang pertama  didirikan, yakni 16 November 1909. Namun pada 1935 maskapai yang didirikan pabrikan pesawat Zeppelin Luftschiffbau itu terpaksa berhenti beroperasi lantaran Zeppelin sebagai korporasi induknya direstrukturisasi demi kepentingan pembangunan pesawat-pesawat militer untuk pemerintahan Nazi.

Beda ceritanya dengan KLM. Maskapai yang kini beroperasi melayani penerbangan komersial ke 163 destinasi lintas benua itu berdiri atas prakarsa penerbang muda jebolan Koninklijke Militaire Academie (KMA) Breda, Letnan Albert Plesman. 

Advertising
Advertising

Baca juga: Masa Jaya Maskapai Kapal Belanda

Kisahnya bermula dari Plesman yang dibantu Jenderal (Purn.) C.J. Snijders menggelar Eerste Luchtvaart Tentootstelling Amsterdam (ELTA) atau Pameran Dirgantara Amsterdam Pertama, medio Agustus 1919. Pameran itu bertujuan untuk menghidupkan kembali gairah publik Belanda terhadap perkembangan kedirgantaraan yang sempat menurun selama Perang Dunia I (1914-1918).

“Pameran yang didukung (Jenderal) Snijders di Amsterdam-Noord itu berlangsung selama lima pekan, Agustus-September 1919 dan menarik perhatian hingga setengah juta pengunjung,” tulis sejarawan militer Universiteit van Amsterdam Dr. Wim Klinkert dalam Defending Neutrality: The Netherlands Prepares for War, 1900-1925.

Airco de Havilland DH-16 yang jadi aset sewaan pertama KLM (Repro: Blue Skies, Orange Wings)

Di antara sejumlah pebisnis yang mengunjungi pameran itu adalah Frits Fentener van Vlissingen. Bersama tujuh pebisnis lain, Vlissingen dan Plesman pun berniat mendirikan maskapai. Rencana itu ikut disambut Ratu Wilhelmina yang bersedia menganugerahkan sematan “Koninklinje” yang artinya akan menjadi flag carrier atau maskapai nasional kerajaan.

Maka dengan dukungan Vlissingen dan tujuh pebisnis lain, KLM resmi berdiri pada 7 Oktober 1919. Plesman sebagai inisiator pertama dipercaya untuk jadi direktur pertamanya. Armada pertama KLM, yakni sebuah Airco de Havilland DH-16 berkapasitas lima kursi (1 pilot [kokpit terbuka] dan 4 penumpang [kabin]), merupakan pesawat sewaan dari perusahaan Aircraft Transport and Travel Limited di London, Inggris.

“Plesman juga menyewa jasa pilotnya, Henry ‘Jerry’ Shaw, sekaligus jadi pilot pertama KLM yang membawa pesawat itu dari aerodrome Hounslow di London selama dua setengah jam sebelum tiba di Bandara Schiphol pada 17 Mei 1920,” ungkap Ryan Noppen dalam Blue Skies, Orange Wings: The Global Reach of Dutch Aviation in War and Peace, 1914-1945.

Baca juga: Bubar Sebelum Terbang

Membuka Rute ke Tanah Jajahan 

Seiring bertambahnya rute-rute yang dibuka KLM dengan pesawat-pesawat baru seperti Fokker F.II dan Fokker F.III hasil kerjasama Plesman dengan pionir dirgantara Anthony Fokker, KLM mulai membidik Asia. Tentu utamanya membuka rute ke tanah koloninya, Hindia Belanda.

“Pada 1924 KLM makin tertarik pada pesawat-pesawat yang lebih besar dan bisa mengangkut lebih banyak penumpang dan Fokker menjawab dengan (pesawat) F.VII. Pesawat bermesin Rolls-Royce Eagle IX itu sukses menjalani penerbangan perdananya pada 23 April 1924. Plesman yang terkesan dengan F.VII segera memesan lima unit. Plesman percaya pesawat itu akan membuatnya bisa membuka rute lintas benua dari Amsterdam ke Hindia Belanda,” imbuh Noppen.

Plesman pun mempersiapkan rencana uji coba rutenya dengan pesawat Fokker F.VII berkapasitas 6-12 penumpang itu. Pilot KLM Abraham Nicolaas Jan Thomassen à Thuessink van der Hoop dipilih sebagai pillotnya untuk proyek eksperimental itu dengan ditemani perwira Angkatan Udara Belanda Letnan Hendrik van Weerden Poelman sebagai kopilot dan P.A. van den Broecke selaku teknisi KLM.

“Sementara kursi-kursi penumpangnya dibongkar dan tangki bahan bakarnya dipasang yang lebih besar dengan kapasitas 224 galon (sekira 848 liter). Roda pesawatnya juga dipasang yang lebih besar sebagai antisipasi mendarat lebih baik di landasan yang lebih kasar,” tambahnya.

Baca juga: Mengenang Amelia Earhart yang Mampir di Bandung

Pada 1 Oktober 1924 kerumunan orang memenuhi Bandara Schiphol, Amsterdam. Mereka turut melepas trio perintis di pesawat Fokker F.VII dengan registrasi H-NACC itu yang dijadwalkan akan memakan waktu 22 hari.

Namun, baru dua hari terbang, pesawat itu harus mendarat darurat di Philippopel (kini Plovdiv), Bulgaria karena terjadi kerusakan pada mesinnya. Tak hanya para petani setempat yang mengerubungi, sejumlah serdadu Bulgaria juga menuju lokasi. Di antara mereka tak satupun yang bisa berbahasa Inggris, Jerman, apalagi Belanda. Alhasil Trio KLM itu baru bisa ditolong setelah ada bantuan seorang kepala sekolah yang bisa berbahasa Jerman.

“Kami diantar (serdadu) ke sebuah tempat di rel keretaapi melewati jembatan kayu dekat Mariza. Kami dibawa ke sebuah pos yang dijaga gendarmerie (garda) Bulgaria. Seorang kepala sekolah yang baik akhirnya bisa menyampaikan apa yang kami alami dan para serdadu itu mendengarkan dengan antusias,” kenang Jan van der Hoop, dikutip Noppen.

Pesawat Fokker F.VII yang dipakai KLM sebagai uji coba rute Amsterdam-Batavia (Repro: Blue Skies, Orange Wings)

Mereka harus menunggu hingga 13 Oktober sampai kedatangan kepala departemen teknis KLM, Pieter Guilonard, di stasiun keretaapi Sofia. Ia juga membawa beberapa kru KLM dan mesin Rolls-Royce yang baru.

Dari Bulgaria, trio KLM setidaknya harus transit lagi di 22 kota. Di antaranya Konstantinopel (Türkiye), Baghdad (Irak), Chavar (Iran), Karachi (Pakistan), Kalkutta (India), Rangoon (Myanmar), Bangkok (Thailand), sebelum akhirnya masuk Hindia Belanda via Medan dan terakhir mendarat di Bandara Tjililitan (kini Lanud Halim Perdanakusuma) pada 24 November 1924.

“Mereka tiba di Medan pada 21 November. Dari Medan ke Muntok, baru tiba di Batavia pada 24 November setelah terbang selama 127 jam dan 16 menit dari Plovdiv. Total waktunya 55 hari dengan jarak tempuk 9.552 mil (15.372 km),” tulis Robert Jakson dalam The Sky Their Frontier: The Story of the World’s Pioneer Airlines and Routes, 1920-40.

Baca juga: Banteng Bersayap versus Garuda

Kesuksesan uji terbang perdana itu lantas disusul pembukaan rute reguler Amsterdam-Batavia pada September 1929. Keberhasilan ini menjadikan KLM sebagai satu-satunya maskapai yang punya rute terpanjang sebelum Perang Dunia II (PD II). 

“Pada 23 Mei 1935 beberapa armada Douglas DC2 mulai datang dan beberapa pekan kemudian mulai ikut melayani penerbangan dengan destinasi Batavia dua kali dalam sepekan dengan rute transit di Athena (Yunani), Baghdad (Irak) Jodhpur (India), Rangoon (Myanmar), dan Singapura,” ungkap Tim Cresswell dalam On the Move: Mobility in the Modern Western World.

Rute tersebut terus beroperasi hingga akhirnya terhenti saat Belanda diinvasi Jerman-Nasi. Ketika Belanda diinvasi Jerman, sedikitnya sembilan pesawat aset KLM hancur sewaktu Bandara Schiphol jadi sasaran serangan udara. Operasional  KLM pun nyaris lumpuh. Rute-rutenya dibatasi hanya boleh menuju Skandinavia, Belgia, Inggris, dan Portugal.

Pesawat Douglas DC-2 milik KLM (nt.gov.au)

Dua tahun pasca-PD II (1947), KLM baru kembali membuka rute ke Batavia. KLM juga mengambil-alih aset-aset KNILM, flagship udara milik Hindia Belanda, untuk kemudian mengoperasikan rute-rute antarkota di Indonesia melalui anak perusahaan KLM Interinsulair Bedrijf Batavia (KLM-IIB) yang berdiri pada 1 Agustus 1947.

Namun seiring penyelesaian konflik Indonesia dan Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (23 Agustus-2 November 1949), pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) berencana menasionalisasi semua perusahaan Belanda, termasuk KLM. Lewat lobi-lobi yang alot, pada akhirnya hanya KLM-IIB yang dinasionalisasi, kemudian jadi cikal-bakal Garuda Indonesia.

Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia, Jilid V mencatat, adalah Dr. Emile van Konijnenburg selaku kepala lalu-lintas interinsuler KLM yang bolak-balik Den Haag-Yogyakarta untuk menegosiasikan status KLM-IIB. Ia datang sebagai utusan Plesman pasca-KMB. Van Konijnenburg dalam proposalnya menawarkan penanganan manajemen bersama dan pelatihan personil terbang dan darat antara Belanda dan Indonesia.

“Dr. van Konijnenburg berunding ke Yogyakarta dengan para pejabat Indonesia mengenai pembentukan manajemen gabungan tapi KLM ingin perusahaan dengan manajemen gabungan itu mendapat hak monopoli agar terbebas dari persaingan dengan dunia luar. KLM pun menyetujui syarat bahwa keuntungan ekstra tidak akan dibawa ke negeri Belanda dan perusahaan itu akan dikelola bersama untuk masa 15 tahun sebelum sepenuhnya dialihkan ke tangan Indonesia,” tandas Pram. 

Baca juga: Nasib Pesawat N2130

TAG

pesawat dirgantara garuda indonesia

ARTIKEL TERKAIT

Mengenang Amelia Earhart yang Mampir di Bandung Heroisme di Tengah Kehancuran dalam Godzilla Minus One Dolok Martimbang, Pesawat Kepresidenan Indonesia Pertama Pesawat Multifungsi Tulang Punggung Matra Udara Jerman Nasib Nahas Kapten Mussolini Marcel Dassault dan Jet Tempur Kebanggaan Prancis Si Jago Udara di Bawah Panji Swastika Alkisah Jago Udara yang Di-Grounded Gegara Sepakbola Riwayat Perakit Pesawat Kala Pesawat Jet Mengudara Perdana