Masuk Daftar
My Getplus

Pesawat Multifungsi Tulang Punggung Matra Udara Jerman

Pesawat multifungsi Junkers Ju 88 kelahirannya turut dibidani perancang Amerika. Di masa perang, beroperasi membombardir pasukan Amerika.

Oleh: Randy Wirayudha | 20 Des 2023
Sisa Pesawat Junkers Ju 88 yang tersimpan di National Museum of the United States Air Force (defense.gov)

SUPERIORITAS udara acapkali jadi kunci memenangi dominasi strategis akan suatu target militer. Superioritas itu bisa diraih lewat pesawat tempur multifungsi yang andal.

Di era modern, pesawat tempur multifungsi senantiasa jadi tulang punggung matra udara suatu negara. Inggris punya pesawat De Havilland Mosquito pada 1940, Amerika baru memiliki F-4 Phantom II pada 1958, lalu diikuti sejumlah negara maju lain seperti Rusia dengan MiG-29 dan Sukhoi Su-30, dan Prancis dengan Dassault Rafale-nya –yang 18 unit di antaranya sedang dipesan Indonesia usai kesepakatan kontraknya rampung pada Agustus 2023.

Namun, Jerman jadi yang terdepan dalam hal pesawat multifungsi ini –sebagaimana dalam teknologi militer lainnya– dengan pesawat Junkers Ju 88. Hari ini, 21 Desember, merupakan 87 tahun pesawat tersebut melakoni uji terbang perdananya.

Advertising
Advertising

Purwarupa Ju 88 mulai dirancang pada Januari 1936 dan pengerjaannya dikebut hingga melahirkan purwarupa pesawat pembom medium Ju 88-V1. Uji terbangnya dilakukan dari basis pabrik Junkers Flugzeug-und Motorenwerken AG di Dessau.

“Kecepatan di mana purwarupa ini diproduksi menjadi indikasi adanya tekanan di balik programnya,” tulis Anthony L. Kay dalam Junkers Aircraft & Engines: 1913 to 1945.

Baca juga: Marcel Dassault dan Jet Tempur Kebanggaan Prancis

Di hari itu, pesawat purwarupa dengan penampakan cat kelabu terang dengan roundel swastika di ekornya itu keluar dari hangar eksperimen dengan tingkat kerahaasiaan tinggi. Di badan pesawat bermesin ganda itu tertera nomor registrasi penerbangan sipil D-AQEN.

Tes perdana itu dioperasikan pilot penguji Flugkapitan Karlheinz Kindermann. Tidak hanya sukses membawa purwarupanya menembus angkasa dalam uji terbang perdana itu, ia juga sukses melakukan uji kecepatan maksimal hingga 580 km/jam.

“Dan Hermann Göring, panglima Luftwaffe yang menyaksikannya begitu antusias. Akhirnya ia melihat pesawat seperti yang ia minta, sebuah schnellbomber, pesawat pembom cepat,” ungkap Jim Winchester dalam artikelnya, “Junkers Ju 88”, di buku Aircraft of World War II.

Prototype Ju 88 V1 yang dites terbang pada 21 Desember 1936 (Repro: Junkers Ju 88, The Early Years)

Saat itu, Inggris yang jadi saingan Jerman masih berkutat pada pengembangan De Havilland Mosquito. Pesawat multifungsi yang nyaris serupa ini baru melakoni uji terbang perdananya pada 25 November 1940. Itu pun kecepatan maksimalnya hanya 445 km/jam.

Dalam perkembangannya, pabrikan Junkers masih memproduksi empat purwarupa lain dan menjalani serangkaian tes terbang berikutnya sebelum akhirnya di-launching pada 1939. Ju 88 menjadi salah satu tulang punggung Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman) dalam Perang Dunia II melawan Sekutu. Menariknya, dua di antara perancangnya adalah orang Amerika Serikat yang notabene merupakan pentolan Sekutu.

Baca juga: Kisah Tank Leopard Sebelum Tank Leopard 2

Pesawat Serba Bisa "Rasa" Amerika

Gagasan untuk modernisasi alutsista matra udara berhulu dari permintaan Kanselir Adolf Hitler kepada Göring yang menjabat Reichkommissar fur Luftfahrt atau kepala kedirgantaraan. Kesimpulannya adalah, harus membangun kekuatan udara baru yang terbagi antara dua kebutuhan: kampfzerstorer (pembom berat) dan schnellbomber (pembom cepat).

“Untuk rencana zerstorer pada akhirnya diproduksi pembom bermesin ganda Messerschmitt Bf 110 dan schnellbomber dari tiga desain yang ditawarkan (ke Reichsluftfahrtministerium/Kementerian Dirgantara) pada 1935: Henschell Hs 127, Messerschmitt Bf 162, dan Junkers 85/88, akhirnya diputuskan Junkers yang akan memproduksinya,” tulis Peter Dancey dalam Lufthansa to Luftwaffe: Hitler’s Secret Air Force.

Pabrikan Junkers pun memulai perancangannya pada Januari 1936 dan desain finalnya dirampungkan empat bulan berselang untuk diteruskan ke pembangunan purwarupanya. Rancangannya hasil karya kepala desainer Junkers, Ernst Zindel, yang dibantu dua insinyur Amerika: Alfred Gassner dan Wilhelm Heinrich Evers.

Baca juga: AMX-13 Tank Prancis Rasa Amerika

Gassner dan Evers, lanjut Dancey, sebelumnya jadi desainer andalan pabrikan Fokker-America. Keduanya diikutsertakan karena keahlian mereka dalam hal rancangan lapisan metal pesawat.

Keahlian mereka dibutuhkan agar pesawat yang direncanakan bisa sepenuhnya dilapisi metal untuk memenuhi tuntutan kebutuhan akan kecepatan tinggi namun tetap bisa menampung beban 800-1.000 kilogram. Hasilnya adalah lima purwarupa. Purwarupa pertamanya, Ju 88-V1, menjalani uji terbang perdana pada 21 Desember 1936.

Panglima Luftwaffe Generaldfeldmarschal Hermann Wilhelm Göring mengunjungi basis Junkers di Dessau (Junkers Ju 88, The Early Years)

Tetapi yang dialami Gassner dan Ever justru ibarat habis manis sepah dibuang. Momen uji terbang perdana itu jadi momen di mana keduanya tak lagi dibutuhkan. Keduanya balik kanan ke Amerika dan sama sekali tak diakui sebagai insiyur yang turut membidani kelahiran Ju 88.

“Pada 1938 dengan desain (purwarupa) itu, Junkers memenangi kontrak tender produksi massalnya. Pada 3 September di tahun itu, Panglima Luftwaffe Generaldfeldmarschal Hermann Göring menitahkan direktur Junkers, Dr. Heinrich Koppenberg, ‘lanjutkan dan berikan saya armada pembom hebat Ju 88 dalam waktu sesingkat-singkatnya’,” ungkap Robert Forsyth dalam Junkers Ju 188 Units of World War 2.

Sebanyak 12 pesawat unit Ju 88 hasil produksi massal pertama itu lalu masuk dimasukkan ke unit Kampfgeschwader Luftwaffe 25 pada September 1939 jelang berakhirnya invasi ke Polandia. Pesawatnya masih bertipe Ju 88 A-1 dengan tipe standar berawak tiga. Baru pada musim semi 1940 yang paling banyak diproduksi adalah Ju 88 A-4 dengan empat kru (pilot, pembom/penembak depan, operator radio/penembak belakang, dan navigator/penembak bawah).

Baca juga: Melontarkan Sejarah Kursi Lontar

Pesawat berdimensi panjang sayap 20 meter dan lebar 14,4 meter itu ditenagai sepasang mesin Junkers Jumo 211J-1 dengan piston berpendingin cairan. Oleh karenanya pesawat itu bisa terbang dengan kecepatan maksimal 470 km/jam dan jarak tempuh 1.790 kilometer sebelum mengisi bahan bakar lagi.

Dengan daya angkut beban maksimal 12.105 kilogram, Ju 88 bisa menampung 1.400 kilogram bom di perutnya dan tambahan 500 kilogram bom eksternal di kedua sayapnya. Sebagai pesawat tempur, Ju 88 juga dilengkapi lima pucuk senapan mesin MG 81J kaliber 7,92 mm yang tersebar di kaca depan, di bawah hidung, di kanopi kokpit, dan di bagian perut pesawat.

Sampai akhir perang pada 1945, tercatat sebanyak 15 ribu unit Ju 88 telah diproduksi, 9.000 di antaranya merupakan Ju 88 A-4. Sisanya adalah Ju 88 dengan beragam varian.

Pesawat Ju 88 P (kiri) dan varian pemburu malam (industriasbanat.es/defense.gov)

Berbagai varian inilah yang membuat Ju 88 menjadi pesawat multifungsi, yakni sebagai pesawat pembom taktis, pembom tukik, pembom torpedo, pemburu malam, hingga pengintai. Menariknya, varian itu dikembangkan para insinyur Junkers secara rahasia pada akhir 1940 tanpa konsultasi dengan Göring.

“Pengembangan Ju 88 varian pembom tukik sedianya sudah diminta oleh kepala pengadaan AU Jerman, Generaloberst Ernst Udet yang terinspirasi dari kesuksesan (pembom tukik) Ju 87 Stuka,” ungkap Joachim Dressel dan Manfred Griehl dalam Bombers of the Luftwaffe.

Junkers lalu mengembangkan sistem pull-out dan pengereman tukik sebelum diujicobakan ke empat purwarupanya. Hasilnya adalah Ju 88 A-13 yang harus menghilangkan gondola di perut pesawat.

Ada pula varian seri Ju 88 C, yang menjadi pesawat pembom-pemburu dengan ciri utama kaca di hidung pesawat berbahan metal anti-peluru. Varian lainnya adalah Ju 88 C6, yang merupakan pesawat pembom-pemburu malam yang dilengkapi radar canggih FuG 202 Lichtenstein BC dengan antenna Matratze untuk bisa memandu tembakan saat waktu gelap. Ada juga Ju 88 P, merupakan pembom-perusak yang dilengkapi meriam anti-tank PaK 40 kaliber 7,5 cm. Terakhir, ada varian Ju 88 D yang ditambahkan sistem foto-pengintaian jarak jauh dengan kualitas bervariasi.

Baca juga: Si Jago Udara di Bawah Panji Swastika

Sepak-terjang Ju 88

Produksi massal Ju 88 digencarkan Jerman pasca-kekalahan di Pertempuran Udara Inggris (10 Juli-31 Oktober 1940). Pasalnya pesawat andalan itu tak hanya dibutuhkan AU Jerman tapi juga para sekutunya: Finlandia, Hungaria, Italia, dan Rumania.

AU Jerman sendiri mengandalkan Ju 88 untuk sejumlah operasi menentukan pasca-Invasi Polandia. Selain di Pertempuran Norwegia dan Pertempuran Prancis sepanjang 1940, juga di front Balkan dan Yunani (1941-1943), front timur (1941-1945), Pengepungan Malta di front Mediterania (1940-1942), dan Kampanye Afrika Utara (1940-1943).

Satu di antara operasi yang paling sengit adalah Serangan Udara Bari pada 2 Desember 1943. Serangan malam yang dikomando Generalfeldmarschall Albert Kesselring dengan mengerahkan 105 pesawat Ju 88 dari Luftflotte 2 itu dihelat untuk meratakan kubu pertahanan Sekutu di Pelabuhan Bari.

“Kekuatan pembom (Ju 88) Jerman itu mengejutkan pihak Sekutu karena mampu membombardir pelabuhan dengan akurasi tinggi. Serangannya telak mengenai dua kapal yang membawa amunisi hingga menyebabkan ledakan yang getarannya bisa mengguncang kaca-kaca jendela dalam radius 11 kilometer,” tulis D.M. Saunders dalam The Bari Incident.

Pelabuhan Bari yang luluh lantak diserang gelombang pesawat Ju 88 (nac.gov.pl)

Air raid terhadap kekuatan Sekutu itu tak hanya berhasil merusak pelabuhan tapi juga menenggelamkan 29 kapal serta menewaskan 2.000 orang yang separuhnya warga sipil. Lima di antara kapal yang hancur beserta pasukan dan pelaut di dalamnya adalah kapal angkut Amerika: SS John Bascom, SS John Harvey, SS John L. Motley, SS Joseph Wheeler, dan SS Samuel J. Tilden.

Serangan itu tanpa perlawanan udara. Sekutu tidak menugaskan satu pun pesawat tempur untuk melindungi Bari karena salah antisipasi.

“Kemungkinan serangan udara Jerman atas Bari tidak terlalu dipikirkan, karena diyakini bahwa Luftwaffe di Italia terlalu lemah untuk menggelar serangan besar. Serangan tersebut, yang berlangsung lebih dari satu jam, membuat pelabuhan tersebut tidak dapat beroperasi hingga Februari 1944 dan disebut sebagai ‘Little Pearl Harbor’,” tulis Karsten Friedric dalam The Cruel Slaughter of Adolf Hitler.

Baca juga: Lonceng Kematian Kapal Kebanggaan Jerman

TAG

pesawat alutsista jerman-nazi nazi jerman jerman teknologi-militer

ARTIKEL TERKAIT

Keponakan Hitler Melawan Jerman Seabad Maskapai KLM Menghubungkan Amsterdam-Jakarta Mengenang Amelia Earhart yang Mampir di Bandung Dari Pemberontakan ke Pemberontakan (Bagian II – Habis) Kisah Musisi Belanda Menyamar Jadi Laki-laki Ketika Melawan Nazi Kisah Atlet Wanita Jerman yang Ternyata Laki-laki Nasib Mereka yang Terbuang di Theresienstadt dan Boven Digoel Sihir Api Petir dari Meriam Majapahit Kasus Penipuan Buku Harian Adolf Hiltler Lebih Dekat Menengok Katedral Sepakbola di Dortmund