Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Musisi Belanda Menyamar Jadi Laki-laki Ketika Melawan Nazi

Musisi Belanda ini terlibat dalam memproduksi dokumen-dokumen identitas palsu bagi mereka yang menjadi sasaran penangkapan Nazi. Ketika terancam Nazi, dia menyamar menjadi laki-laki.

Oleh: Amanda Rachmadita | 21 Agt 2024
Potret Frieda Belinfante (1904-1995), musisi Belanda yang ambil bagian dalam gerakan bawah tanah melawan Nazi pada Perang Dunia II. (www.belinfantequartet.com).

KARIER Frieda Belinfante dalam dunia orkestra tengah merangkak naik ketika Nazi Jerman menduduki Belanda tahun 1940. Musisi berbakat kelahiran Amsterdam tahun 1904 itu dikenal sebagai pemain selo dan seorang konduktor. Belinfante mulai bermain selo pada usia sepuluh tahun dan tahun 1937 dia diundang untuk memimpin Concertgebouw Amsterdam. Tak butuh waktu lama hingga namanya dikenang sebagai wanita pertama di Eropa yang menjadi konduktor orkestra profesional.

Belinfante aktif memimpin orkestra profesional di Belanda hingga tahun 1941. Hidupnya berubah ketika Belanda dikuasai Nazi Jerman di masa Perang Dunia II. Sebabnya, dia memiliki darah Yahudi dari ayahnya. Selain itu, Belinfante yang mengetahui bahwa Nazi memiliki sentimen negatif terhadap kelompok homoseksual, memilih untuk merahasiakan orientasi seksualnya selama perang.

Beberapa saat setelah menguasai Belanda, Nazi Jerman mulai memberlakukan sejumlah aturan yang tak hanya menyasar masyarakat umum, tetapi juga para pekerja di berbagai bidang industri, termasuk musik dan orkestra. Peraturan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para seniman inilah yang menyulitkan karier Belinfante. Terdorong oleh diskriminasi yang diberlakukan Nazi, Belinfante pun aktif dalam gerakan parlawanan melawan partai pimpinan Adolf Hitler itu di Amsterdam.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Kisah Seniman Yahudi Pura-pura Mati demi Menghindari Nazi

Menurut Claudia Schoppmann dalam “Zum Doppelleben gezwungen: Vermeidungsund Überlebensstrategien lesbischer Frauen im ‘Dritten Reich’”, yang termuat di Forschung im Queerformat, Belinfante ikut serta dalam operasi memalsukan identitas untuk membantu orang-orang yang menjadi target Nazi bersembunyi. Bersama dengan sejumlah aktivis lainnya, di antaranya penulis Belanda Willem Arondeus dan pematung Gerrit van der Veen, Belinfante memproduksi dokumen identitas palsu untuk orang-orang Yahudi, penerbang Sekutu, dan para anggota perlawanan anti-Nazi.

Martin Sixsmith menulis dalam My Sins Go With Me: A Story of Heroism and Betrayal in the Dutch Resistance, pada 1943 ratusan orang bergabung dalam gerakan bawah tanah melawan pendudukan Nazi di Belanda. Gerakan ini beroperasi dengan bantuan dana dari Wally van Hall, seorang bankir Kerajaan Belanda, dan Dana Dukungan Nasional Jan Boissevain. Salah satu organisasi yang muncul dari gerakan perlawanan ini adalah Persoonsbewijzen Centrale yang dibentuk oleh Arondeus, van der Veen, dan Belinfante. Tingginya permintaan untuk menyediakan ribuan dokumen palsu membuat ketiga orang itu bekerja sepanjang waktu untuk memproduksi dokumen identitas palsu yang dibutuhkan.

Kendati mampu menyediakan banyak dokumen identitas palsu bagi orang-orang yang menjadi sasaran penangkapan Nazi, aktivitas pemalsuan yang dilakukan organisasi ini tak sepenuhnya tidak diketahui oleh Nazi. Sebagai upaya untuk mensiasati tindakan pemalsuan tersebut, Nazi memperkenalkan lebih banyak lagi dokumen yang harus dimiliki oleh orang-orang di wilayah pendudukannya, seperti kartu identitas untuk berpindah-pindah, izin untuk menggunakan sepeda, surat keterangan tempat tinggal, hingga kupon untuk membeli makanan.

“Untuk menyulitkan para pemalsu itu, pihak berwenang secara berkala mengubah desain dokumen atau menambahkan stempel tambahan. Betapapun cermatnya para pemalsu dalam mencocokan kualitas dan warna kertas, jenis huruf, dan ketebalan garis-garis yang membagi data yang dicetak, hampir tidak mungkin untuk menyalin stempel resmi tanpa mendapatkan contoh aslinya,” tulis Sixsmith.

Baca juga: 

Orang Indonesia yang Jadi Korban Nazi

Di sisi lain, meningkatnya deportasi Nazi terhadap orang-orang Yahudi membuat dokumen palsu yang diproduksi Belinfante dan kawan-kawannya tidak cukup untuk menyelamatkan mereka. Terlebih Jerman semakin memperketat pemeriksaan terhadap identitas para penduduk, khususnya orang Yahudi. Keadaan ini membuat Belinfante dan kawan-kawannya tergerak untuk melakukan penyerangan terhadap kantor registrasi penduduk Amsterdam.

Sejumlah persiapan pun dilakukan. Dalam wawancaranya bersama Klaus Müller –perwakilan Museum di Eropa- yang dilakukan pada 31 Mei 1994 dan dipublikasikan oleh United States Holocaust Memorial Museum Collection, Belinfante mengisahkan bahwa mulanya dia dan kawan-kawannya mencari informasi mengenai lokasi penyimpanan dokumen dan nama-nama petugas di kantor tersebut. Mereka kemudian menyiapkan seragam polisi yang akan digunakan untuk melancarkan aksi penyerangan.

“Persiapan ini berlangsung selama berbulan-bulan…Ada begitu banyak orang yang terlibat sehingga menjadi sangat berbahaya. Dan itulah yang terjadi. Kami tidak bisa begitu selektif karena kami membutuhkan begitu banyak detail yang tak dapat diberikan oleh siapa pun tanpa meminta bantuan seorang kenalan,” katanya.

Penyerangan yang berlangsung tahun 1943 itu dapat dikatakan sukses. Ribuan dokumen berhasil dihancurkan sehingga sulit untuk membandingkan dokumen yang dipalsukan dengan dokumen resmi. Walau begitu, penyelidikan terhadap orang-orang yang terlibat dalam aksi tersebut dapat dengan mudah dilakukan karena organisasi Belinfante telah disusupi mata-mata.

Gerakan perlawanan ini pada akhirnya mendorong aparat berwenang melakukan razia dan penangkapan di berbagai wilayah. Sejumlah nama yang dianggap berbahaya atau masuk daftar hitam Nazi diburu. Menyadari kondisinya dalam bahaya, Belinfante memutuskan untuk menyamar menjadi laki-laki dan menggunakan identitas palsu.

Baca juga: 

Olga Melawan Nazi

“Saya masih ingat ketika saya mengunjungi tempat cukur pria dan meminta seorang tukang cukur memotong rambutku. Beruntung saat itu saya sedang pilek sehingga suara saya menjadi lebih serak dan dalam. Selama tiga bulan saya menyamar sebagai pria dan ini sangat berhasil. Ibu saya yang tinggal beberapa nomor dari tempat kediaman saya bahkan tak mengenali saya,” kata Belinfante.

Di tengah penyamaran itu, Belinfante masih aktif mendistribusikan kupon makan kepada orang-orang yang membutuhkan. Dia pergi ke sejumlah wilayah dengan menggunakan nama Hans dalam kartu identitasnya. Selama berbulan-bulan dia hidup berpindah-pindah dan selalu siaga untuk segera melarikan diri bila tiba-tiba terjadi penggerebekan. Satu per satu kawannya tertangkap, salah satunya Gerrit van der Veen yang kemudian dijatuhi hukuman mati.

Ketika bahaya yang mengancamnya semakin besar, Belinfente melarikan diri ke Swiss melalui Prancis dengan bantuan mantan guru musiknya, konstruktor terkenal Hermann Scherchen. Pada Februari 1944, dia berhasil menyeberangi perbatasan secara ilegal hingga kemudian diberi status pengungsi. Seiring dengan kekalahan Nazi Jerman dan berakhirnya Perang Dunia II, Belinfente memutuskan untuk bermigrasi ke Amerika Serikat pada 1947 dan melanjutkan kembali karier musiknya sebagai konduktor.*

TAG

nazi jerman pendudukan nazi

ARTIKEL TERKAIT

Wanita (Tak) Dijajah Pria Sejak Dulu? Komandan Pesindo Bernama Sarwono Sastro Sutardjo Inggris dapat Membakar Lautan Patra Mokoginta Gagal Jadi Raja dan Dibuang Ketua PSI Meninggal di Sukamiskin Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Dua Dekade Kematian Munir dan Jejaknya Sebagai Pejuang HAM Persekusi Ala Bangsawan Kutai Di Balik Lawatan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia (Bagian II) Di Balik Lawatan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia (Bagian I)