Kisah Seniman Yahudi Pura-pura Mati demi Menghindari Nazi
Pelukis wanita Jerman berdarah Yahudi yang juga penyuka sesama jenis memalsukan kematiannya untuk menghindari kejaran Nazi.
DI masa pemerintahan Adolf Hitler, tak hanya orang-orang Yahudi yang menjadi target Nazi, tetapi juga para penyuka sesama jenis. Nazi memandang mereka sebagai orang-orang dekaden yang dapat merusak kehidupan masyarakat ideal yakni kemurnian ras Arya.
Naiknya Hitler ke tampuk kekuasaan diikuti dengan kampanye antihomoseksual. Menteri Dalam Negeri Hermann Goering memberlakukan tiga dekrit untuk memerangi ketidaksenonohan publik. Pertama terkait prostitusi dan penyakit kelamin; kedua menutup bar yang digunakan untuk tujuan tidak senonoh; dan ketiga melarang kios, toko buku, dan perpustakaan menjual maupun meminjamkan buku-buku atau apapun yang, “baik karena mengandung ilustrasi telanjang, atau karena judul atau isinya, dapat menimbulkan efek erotis bagi yang membacanya.” Mereka yang tertangkap akan dikenai denda, atau kehilangan lisensi maupun izin peminjaman.
Penggerebekan sejumlah bar yang menjadi tempat pragmatic4d berkumpulnya para penyuka sesama jenis berlangsung secara besar-besaran tahun 1934 setelah kematian Ernst Röhm, mantan stabschef (setara kolonel jenderal) pasukan Sturmabteilung (SA, sayap militer Partai Nazi), yang ramai dilaporkan berbagai media khususnya corong Partai Nazi, sebagai penyuka sesama jenis.
Baca juga:
Dalam buku Wir erlebten das Ende der Weimarer Republik, seorang ilustrator fesyen lesbian menggambarkan bagaimana kehidupannya berubah pada era Nazi. Misalnya, pergeseran gaya rambut; potongan rambut pendek yang dikenal dengan model Bubi kopf yang begitu digemari hingga menjadi mode di kalangan wanita ditinggalkan dan berganti menjadi tampilan wanitan “khas Jerman” yang berambut pirang. Orang-orang juga mulai melakukan pengawasan ketat terhadap mereka yang dicurigai memiliki hubungan sesama jenis.
“Ketika Reich Ketiga ‘pecah’, saya pun mulai menutup diri dan berhati-hati dengan kehidupan pribadi saya. Setelah tinggal bersama pasangan perempuan saya selama bertahun-tahun, muncul desas-desus yang berkaitan dengan hubungan kami. Ada pengawas dan penjaga blok yang bertugas mengawasi kehidupan pribadi kami dan melaporkannya. Pemilik rumah yang kami sewa kemudian diinterogasi. Ia ditanya apakah mengetahui tentang ‘kehidupan intim’ kami. Suatu hari, atasan saya datang ke studio dan berkata dengan tidak sabar bahwa saya harus menikah atau dia tidak bisa lagi mempertahankan saya,” tulis ilustrator fesyen itu sebagaimana dikutip Claudia Schoppmann dalam “Zum Doppelleben gezwungen: Vermeidungsund Uberlebensstrategien lesbischer Frauen im Dritten Reich” yang termuat di Forschung im Queerformat.
Pernikahan dengan lawan jenis menjadi salah satu solusi yang dipilih untuk bertahan hidup dari kampanye antihomoseksual rezim Nazi. Namun, tak sedikit yang memilih untuk menarik diri ke ruang privat, mengubah penampilan, mengubah tempat tinggal, hingga bersembunyi di “bawah tanah”. Apa yang dilakukan seniman wanita Gertrude Sandmann (1893–1981) memberikan gambaran mengenai kondisi yang dihadapi oleh orang-orang yang menjadi musuh Nazi.
Sandmann yang lahir pada 16 November 1893 berasal dari keluarga pedagang Yahudi berkecukupan dan tinggal di Berlin. Pelukis yang pernah menjadi murid seniman Jerman Otto Kopp dan Käthe Kollwitz itu menyadari sejak awal bahwa pengambilalihan kekuasaan oleh Nazi bukan pertanda baik dan memutuskan untuk pergi ke Swiss. Sayangnya, ia harus kembali ke Jerman pada 1934, karena Swiss tidak lagi memberinya izin tinggal atau izin kerja. Pada tahun yang sama, Sandmann juga dikeluarkan dari Reichsverband bildender Künstler atau Asosiasi Seniman Visual Reich dengan alasan “keturunan non-Arya”. Tak hanya itu, ia juga dilarang mempraktikkan profesinya.
Kondisi ini membuat Sandmann mencari cara untuk keluar dari negaranya. Ia berhasil mendapatkan akses untuk pergi ke Inggris, tetapi batal karena tak tega meninggalkan ibunya yang tengah sakit parah. Ketika ibunya meninggal dunia pada Oktober 1939, visa yang ia dapatkan untuk pergi ke Inggris tak lagi berharga karena pecah perang.
Pada November 1942, Sandmann terancam dideportasi karena tak dapat melakukan kerja paksa dengan alasan kesehatan, akibatnya ia dianggap tidak “berguna”. Khawatir akan keselamatan hidupnya, Sandmann mengambil risiko dengan melakukan aksi bunuh diri palsu.
“Pada 21 November 1942, ia melarikan diri dari apartemennya sendiri dan meninggalkan surat perpisahan yang sengaja ia tulis agar diketahui Gestapo, yang akan segera merampok barang-barangnya, dan mengumumkan bahwa ia akan bunuh diri. Agar aksinya ini terlihat nyata, maka Sandmann meninggalkan semua barang-barangnya di apartemennya, termasuk kartu jatah makan, yang hanya memberikan jatah seperlima dari jatah yang biasa diberikan kepada orang Yahudi,” tulis Claudia Schoppmann dalam “Flucht in den Untergrund: zur Situation der jüdischen Bevölkerung in Deutschland 1941-1945”, yang termuat di Nationalsozialismus und Geschlecht: Zur Politisierung und Ästhetisierung von Körper, “Rasse” und im “Dritten Reich” und nach 1945.
Rencana Sandmann tak akan berhasil tanpa bantuan kawannya, Hedwig Koslowski, seorang perajin wanita yang telah mengenalnya sejak tahun 1927. Koslowski mengorganisir sebuah rumah persembunyian bersama seorang teman, keluarga Grossmann –saat itu sang kepala keluarga tengah menjalani wajib militer– di Berlin-Treptow. Sandmann bersembunyi di sebuah ruangan kecil dan bertahan hidup dengan mengandalkan bantuan dari jatah makan Nyonya Grossmann serta Koslowski. Hidup dalam kondisi terancam, Sandmann tidak diizinkan melakukan aktivitas apapun yang menimbulkan kebisingan. Ia juga dilarang pergi ke jendela dan tidak pernah meninggalkan flat, bahkan ketika terjadi serangan bom terberat sekalipun.
Gestapo mulai curiga bahwa Sandmann tak betul-betul bunuh diri setelah mayatnya tidak ditemukan. Marcela Schmidt dalam Eldorado: homosexuelle Frauen und Männer in Berlin, 1850-1950: Geschichte, Alltag und Kultur menyebut bahwa pihak berwenang mulai mencari pelukis wanita itu kemana-mana, termasuk ke tempat tinggal kawan-kawannya yang dicurigai menjadi tempat persembunyian wanita itu. Pada satu waktu, ia bersembunyi di balik meja agar tidak ditemukan petugas patroli udara yang berkeliling flat untuk mencari keberadaannya.
Baca juga:
Pada musim panas 1944, setelah satu setengah tahun bersembunyi, Sandmann tak ingin lebih lama lagi membahayakan para penolongnya. Oleh karena itu, ketika Koslowski menemukan tempat persembunyian baru sebuah rumah musim panas tak berpenghuni di Biesdorf yang berlokasi di pinggiran Berlin, Sandmann segera pergi ke sana. Seperti halnya di tempat persembunyian lamanya, Sandmann tak diizinkan melakukan aktivitas yang dapat memicu perhatian orang lain. Ia dilarang menyalakan api agar tak menarik perhatian tetangga mengingat rumah itu sebelumnya tak berpenghuni. Karena tidak lagi bisa menggambar, Sandmann mulai berlatih menulis dan membacakan puisi untuk menjaga agar tak kehilangan akal sehatnya.
Rumah musim panas itu tak menjadi tempat persembunyian terakhir Sandmann. Pada musim gugur 1944, ketika cuaca dingin membuat pelarian menjadi penting, Koslowski membawa Sandmann ke apartemennya di distrik Schöneberg, Berlin, yang ditinggali bersama seorang perajin wanita lain. Di sana, Sandmann yang kehilangan banyak berat badan dan dalam kondisi memprihatinkan, dapat hidup lebih bebas. “Hingga akhir hayatnya, ketukan pintu yang tak terduga atau dering telepon bisa membuatnya takut dan memunculkan mimpi buruk,” tulis Schoppmann.
Setelah perang berakhir, Sandmann kembali memamerkan karya-karyanya di berbagai pameran. Sandmann juga menjadi salah satu pendiri kelompok L 74 (Lesbos 1974), organisasi swadaya pertama untuk lesbian yang lebih tua di Berlin. Dikenal sebagai seorang seniman, aktivis, dan penyintas Holocaust, Gertrude Sandmann tutup usia pada 6 Januari 1981.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar