Riwayat Homofobia
Kampanye negatif terhadap homoseksualitas pada era 1930-an tak hanya terjadi di Hindia Belanda, namun menjadi gejala umum yang merentang mulai Eropa sampai Asia.
Pada kurun Desember 1938 sampai Mei 1939, polisi kolonial di seluruh Hindia Belanda menggelar operasi besar-besaran terhadap ratusan lelaki homoseksual. Mereka dituduh melanggar Pasal 292 Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, KUHP) tentang larangan berhubungan badan dengan anak di bawah umur (pedofilia). Dari 223 pria yang ditahan, 171 di antaranya dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman.
Kisah razia homoseksual itu termuat dalam buku Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan karya sejarawan Marieke Bloembergen. Marieke menemukan bukti adanya kaitan upaya pemurnian akhlak dari praktik homoseksualitas oleh kepolisian kolonial dengan persaingan dan perebutan kekuasaan.
Baca juga: Razia Homoseksual Zaman Kolonial
Pada kenyataannya, demikian menurut Marieke, penggunaan pasal dalam KUHP kolonial tersebut tak hanya menyasar kepada mereka yang berbuat pedofilia, namun juga homoseksual secara umum. Pada era yang sama, polisi kolonial memiliki kebutuhan untuk mencitrakan dirinya sebagai lembaga beradab sekaligus menjadikan negara kolonial semakin berakhlak di tengah ilusi keamanan dan ketertiban (rust en orde) yang sedang berlaku saat itu. Maka untuk memenuhi kepentingan tersebut, dinas kepolisian kolonial membentuk unit-unit polisi susila (zedenpolitie) di berbagai kota.
Kampanye negatif terhadap homoseksualitas pada era 1930-an tak hanya terjadi di Hindia Belanda, namun menjadi gejala umum yang merentang mulai Eropa sampai Asia. Di Jerman pada zaman yang sama, Nazi menganggap praktik homoseksualitas sebagai kejahatan yang melawan negara. Krisis yang menerpa dunia pada saat itu berkelindan dengan imaji kepemimpinan yang kuat, maskulin dan berakhlak untuk membawa kehidupan menjadi lebih baik.
Baca juga: Kriminalisasi Kaum Homoseksual
Sehingga homoseksualitas yang diidentikan dengan gambaran lelaki yang lembek, lemah dan menyimpang dari norma yang berlaku tidak pantas menduduki jabatan penting di pemerintahan. Isu yang sama digunakan oleh Nationaal-Sosialistiche Beweging (NSB, organisasi yang berafiliasi dengan Nazi) di Hindia Belanda untuk saling serang terhadap kelompok komunis yang membolehkan homoseks menjadi anggotnya, betapapun pada kenyataannya ada anggota NSB saat itu yang juga homoseksual.
Yang mengherankan adalah isu tersebut baru menjadi perbincangan umum dan mendorong lahirnya aksi razia pada 1938. Padahal sebelum itu menurut penelusuran Marieke, praktik homoseksual tak pernah mengundang aksi-aksi dadakan baik oleh polisi maupun kalangan masyarakat sipil di Hindia Belanda. Kalaupun ada hanya sebatas upaya menanggulangi prostitusi dan perdagangan anak-anak di bawah umur serta pemberantasan praktik pedofilia.
Baca juga: Skandal Homoseksual di Hindia Belanda
Isu homoseksual malah berkembang menjadi komoditas politik untuk saling menjatuhkan. Represi pemerintah kolonial kepada warganya yang homoseksual juga setara dengan perlakuan terhadap kaum pergerakan nasionalis yang kala itu dianggap sebagai musuh negara. Contoh lain adalah kasus yang menimpa Anwar Ibrahim, mantan wakil perdana menteri Malaysia yang disingkirkan secara politis atas tuduhan melakukan praktik homoseksual.
Namun pada waktu lain, di Indonesia, pernah ada seorang tokoh yang cukup terkenal: meniti karier sebagai kepala rumah tangga istana sejak zaman Presiden Sukarno dan mengakhiri kariernya sebagai menteri pariwisata, pos dan telekomunikasi. Sudah rahasia umum tentang apa orientasi seksualnya, namun preferensi seksualnya itu tak pernah menjadi aral yang merintangi peran publiknya.
Seperti pendulum, isu ini berayun sesuai dengan jiwa zaman yang sedang berlaku. Pola yang terjadi pada era 1930-an, kita temukan lagi pada hari-hari belakangan ini.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar