Masuk Daftar
My Getplus

Corak Militeristik dari Masa ke Masa

Ada militerisme dalam retret Kabinet Merah Putih dan kepala daerah di Magelang. Sutan Sjahrir pernah mewanti-wanti bahaya militerisme.

Oleh: Randy Wirayudha | 09 Mar 2025
Presiden RI Prabowo Subianto bersama para jajaran menterinya saat retret Kabinet Merah Putih (BPMI Setpres/presidenri.go.id)

SEPANJANG republik ini berdiri, retret jadi sejarah baru dalam agenda pemerintahan. Presiden Prabowo Subianto bahkan dua kali mengadakan retret di Akademi Militer Lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah. Pertama untuk menggembleng para anggota kabinetnya pada akhir Oktober 2024, lalu untuk para kepala daerah medio Februari 2025. 

Retret (retreat) mempunyai beberapa konteks, dari spiritual, militer, hingga sosial. Meski begitu, pemahamannya tetap sama: retret dimaksudkan individu atau sekelompok orang untuk sementara mencari ketenangan secara emosional dari sumpeknya situasi di sekeliling maupun rutinitas dengan harapan pikiran dan fisik terasa segar kembali untuk menyongsong hal yang lebih baik ke depannya. 

Apa yang dilakukan Presiden Prabowo lewat retretnya serupa dengan konteks retret secara sosial. Yakni untuk sama-sama “mengundurkan diri” demi menyatukan visi dan misi, memberi pembekalan, hingga penggemblengan ala “military way” di lokasi militer dan secara kompak mengenakan seragam loreng militer pula. 

Advertising
Advertising

Ketika menggelar retret untuk jajaran Kabinet Merah Putih (24-27 Oktober 2024), Presiden Prabowo mengakui menerapkan “military way” meski membantah untuk membuat jajaran kabinetnya menjadi militeristik. Menurutnya, “military way” yang dimaksud adalah penyelarasan kedisiplinan dan kesetiaan pada bangsa dan negara. 

Baca juga: Kabinet 100 Menteri Dulu dan Kini

Hal serupa pada retret untuk para kepala daerah di lokasi yang sama pada 21-26 Februari 2025. Tujuannya untuk memperkuat hubungan pemerintah pusat dan daerah sekaligus menegaskan kolaborasi demi program-program pemerintah yang berkelanjutan.

Bedanya, jika penyelenggaraan retret kabinet menggunakan kocek pribadi presiden, retret yang diikuti 481 kepala daerah menggunakan anggaran negara. Hal itu memicu kritik. Terlebih, belakangan muncul dugaan korupsi terkait PT Lembah Tidar sebagai pelaksana retret, yang dilaporkan Koalisi Masyarakat Sipil dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Terlepas dari itu, apakah retret menghasilkan manfaat? Jelas perlu waktu untuk membuktikannya. Namun bila melihat pada kinerja kabinet yang sudah diretret, wajar bila publik pesimis soal keselarasan baik visi maupun misi. Tengok saja bagaimana Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia membuat kegaduhan setelah pada 1 Februari melarang gas LPG 3 kilogram dijual di tingkat pengecer. Tiga hari berselang, datang pernyataan dari Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang mengungkapkan larangan pengecer menjual gas 3 kg bukan keputusan Presiden Prabowo. Presiden Prabowo sendiri kemudian menginstruksikan gas 3 kg dapat kembali di jual di tingkat pengecer agar tak menyusahkan masyarakat kecil. 

Suka atau tidak, gaya militeristik begitu kental terasa di kepresidenan Prabowo. Selain terlihat di gaya pidatonya, juga tergambar dari agenda-agenda pemerintahannya dan beberapa kebijakan yang dikeluarkannya. Itu bisa dilihat dari diikutsertakannya militer dalam beberapa program, salah satunya program Makan Bergizi Gratis. Belum lagi rencana pembahasan Revisi Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang mengindikasian kembalinya dwifungsi ABRI. 

Baca juga: Kala Tentara Menguasai Negara

Corak Militeristik Warisan Jepang 

Presiden Prabowo mengklaim dengan “military way”-nya dia tidak hendak membuat para pejabatnya jadi militeristik. Namun latar belakang militer Presiden Prabowo tetap menyisakan gaya militeristik. Segenap menterinya dan kepala daerah mesti tunduk satu komando. Sementara bagi yang tak bergabung ke pemerintahan, diimbau untuk tidak mengusik para pejabatnya yang sedang bekerja. 

“Retorikanya boleh saja mau bilang apa. Jadi kalaupun style mengkomando, itu kan sangat bertentangan dengan demokrasi. Demokrasi itu kan messy (kacau), semrawut, dan yang paling penting itu ada perdebatan. Dengan ada perdebatan kita bisa maju. Dalam demokrasi, kita mencari sesuatu apa yang kira-kira terbaik. Inovasi itu lahir dari pedebatan, tidak pernah lahir dari keseragaman,” ujar Antonius Tony Made Supriatma, peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura dalam program siniar “Bocor Alus Politik: Gaya Militeristik Pemerintahan Prabowo” di akun Youtube Tempodotco, 25 Oktober 2024. 

Komando dan demokrasi itu pula yang menjadi garis pembeda antara militer dan sipil, seperti diutarakan analis politik Lembaga Ketahanan Nasional Profesor Ikrar Nusa Bakti. Jika kalangan militer kata kuncinya komando, kalangan sipil kata kuncinya demokrasi. Prabowo menurutnya harus bisa belajar dari dua presiden terdahulu yang sama-sama berlatarbelakang militer tapi punya pendekatan kepemimpinan yang berbeda: Presiden Soeharto dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

“Kalau ini hanya untuk mencari titik temu atau bagaimana kemudian mereka bisa berkoordinasi, itu fine. Tapi kalau kemudian Pak Prabowo memiliki dreaming untuk menjadikan gaya militer itu yang terbaik dalam mengelola negara, ini yang kemudian buat saya salah besar. Indonesia di bawah pemerintahan mertuanya (Soeharto), Orde Baru, itu melalui cara-cara represif. Tapi Anda lihat bagaimana seorang mantan militer, SBY, dalam menangani penyelesaian Aceh dengan cara berdialog (yang) demokratis, itu akhirnya selesai. Perbandingan semacam itu yang harus diingat oleh Prabowo,” tutur Prof. Ikrar dalam program dialog “Political Show: ‘Military Way’ Kepemimpinan Prabowo” di Youtube CNN Indonesia, 29 Oktober 2024. 

Baca juga: Efisiensi Mahathir Potong Gaji Menteri

Militerisme di segala sendi kehidupan bangsa ini merupakan konsekuensi historis dari pemerintahan militer Orde Baru yang dasarnya didapat dari pemerintahan militer fasis Jepang semasa Perang Pasifik. Tidak hanya organisasi militer seperti Pembela Tanah Air (PETA) atau Heiho, sejumlah organisasi sipil yang dibentuk pemerintahan militer Jepang seperti Keibodan (Barisan Pembantu Polisi) atau Pusat Tenaga Rakyat (Putera) juga dibentuk demi membantu usaha Jepang memenangkan perang. Corak militeristik itu masih bertahan ketika kemudian Jepang kalah perang dan Republik Indonesia berdiri. Tidak hanya di militer –yang ditulangpunggungi eks Peta, Heiho, dan Gyugun– tapi bahkan sampai ke institusi pendidikan. 

“Sadar tidak sadar, banyak masyarakat Indonesia (pelajar, guru, mahasiswa, dosen, pejabat, karyawan) masih mempraktikkan budaya-budaya tradisi peninggalan Jepang yang bercorak militeristik. Beberapa tradisinya, Taisho (senam pagi), Kyoren (latihan baris-berbaris), Chorei (apel pagi), Kinrohoshi (kerja bakti), hingga mencukur gundul kepala,” tulis Dadan Adi Kurniawan dkk., dalam artikel “Potret Sendi-Sendi Pendidikan di Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)” yang dimuat dalam Jurnal Santhet, Vol. 8, No. 1, November-April 2024. 

Corak militeristik ala fasis Jepang jadi perhatian aktivis sosialis Sutan Sjahrir. Salah satu mentor Soemitro Djojohadikoesoemo, ayah Prabowo, itu bahkan memilih bergerak di bawah tanah untuk melawan fasis ketika para tokoh lain seperti Sukarno dan Hatta memilih memanfaatkan Jepang untuk memuluskan jalan perjuangan kemerdekaan.

“Sjahrir melihat jiwa para pemuda yang terasuki atau terbius dengan gagasan fasisme melalui slogan ‘merdeka atau mati’ dan semangat militerisme. Sjahrir juga menarik jarak dari Sukarno dan (Mohammad) Hatta yang di masa Jepang membuktikan popularitasnya berkat bantuan Jepang. Sikap Sukarno (berkeliling Jawa dibantu Jepang) dikritik Sjahrir kalau Sukarno telah dipengaruhi kejayaan Jepang,” ungkap E. Fernando. M. Manullang dalam Korporatisme dalam Undang-Undang Dasar 1945. 

Baca juga: Pecah Kongsi Pemuda Pasca Proklamasi

Sjahrir ingin menegaskan pemikirannya bahwa kemanusiaan yang universal dan pendidikan kewarganegaraan diperlukan untuk membantu segala lapisan masyarakat agar tak lagi bernaung di bawah fasisme dan feodalisme ketika menerbitkan brosur pada akhir November 1945 yang kemudian dibukukan, Perjuangan Kita. Kedua paham terakhir ini seolah saling berkelindan, mengingat fasisme menolak nilai-nilai demokrasi dan terserap dalam unsur-unsur feodalisme yang sudah mengkristal sejak masa kolonial. 

“Perjuangan demokrasi revolusioner itu memulai dengan membersihkan diri dari noda-noda fasis Jepang, mengkungkung penglihatan orang-orang yang jiwanya terpengaruh propaganda dan didikan Jepang. Orang-orang yang sudah menjual jiwanya dan kehormatannya kepada fasis Jepang disingkirkan dari pimpinan revolusi kita. Orang-orang ini harus dianggap sebagai pengkhianat perjuangan. Jadi sekalian politieke collaboraten dengan fasis Jepang seperti yang disebutkan di atas harus dipandang sebagai fasis sendiri atau perkakas dan kaki tangan fasis Jepang dan tentu sudah berdosa dan berkhianat kepada perjuangan dan revolusi rakyat,” tulis Sjahrir dalam Perjuangan Kita. 

Warisan pemerintahan militer Jepang yang berhaluan fasis itu kemudian dengan beragam faktor di belakangnya juga melahirkan corak-corak militeristik, di mana perwira militer mulai terlibat dalam politik di era Demokrasi Terpimpin dan makin menjadi di Orde Baru. Legitimasi dari peran politik itu antara lain adalah Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di DPR yang sudah eksis pada 1960. Semasa Orde Baru, melalui dwifungsi militer masuk ke semua sendi kehidupan masyarakat. 

“Sjahrir juga telah mewanti-wanti bahaya militerisme karena kecenderungan pejabat militer yang suka ikut campur urusan politik. Sjahrir mengkampanyekan ideologi sosialisme kerakyatan yang antifasis dan antifeodal dengan mengajurkan kebebasan individu dan menghormati martabat manusia,” tulis buku Sjahrir, Peran Bung Kecil. 

Namun, suara-suara vokal Sjahrir yang mengkampanyekan anti-militersime dan anti-feodalisme itu kandas seiring dibubarkannya kendaraan politiknya, PSI, pada 17 Agustus 1960 dengan alasan beberapa kadernya dianggap terlibat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). 

Wanti-wanti Sjahrir soal kecenderungan kalangan militer main politik, akhirnya mengental di masa Orde Baru. Beberapa tokoh yang bersimpati pada pemikiran Sjahrir soal itu –seperti ekonom Mohammad Sadli– pun gagal meyakinkan rezim Orde Baru. 

“Pada 25-31 Agustus 1966, berlangsung Seminar Angkatan Darat II di Seskoad Bandung di bawah pimpinan Mayjen Suwarto. Sadli, anggota tim penasihat ekonomi Soeharto mengemukakan bahaya militerisme. (Bahwa) perlu adanya kerja sama yang sederajat antara sipil dan militer, dan kebebasan pers. Gagasan tersebut ditolak,” tandas buku tersebut. 

Baca juga: Bertempur dengan Isi Kepala dan Bergerak dengan Madilog

TAG

militer prabowo-subianto prabowo subianto prabowo sutan sjahrir sutan-sjahrir sjahrir

ARTIKEL TERKAIT

Obati Paru-paru ke Kampung Belanda Raja Yordania dan Presiden Soeharto Saling Berbalas Kunjungan Anjangsana Sukarno ke Negerinya Kemal Pasha Propaganda Ala Joseph Goebbels Jasa Letnan Joseph Rakarias Tak Dihargai Belanda Gaji Letnan Pribumi Setengah Letnan Belanda Sejarah Mayor dan Sersan Mayor Letnan Kolonel, Overste, dan Obos Alkisah Pesawat Hibrida Sakae-Bleinheim dari Maospati Perselingkuhan Para Perwira