Masuk Daftar
My Getplus

Konferensi Islam Asia Afrika Bikin Malaysia Senewen

Tuan rumah Indonesia sukses menggalang solidaritas anti-kolonialisme di antara negara-negara Islam Asia-Afrika. Malaysia yang dibekingi negara imperialis tak mau kalah berebut simpati.

Oleh: Martin Sitompul | 07 Mar 2025
Presiden Sukarno menerima laporan pelaksanaan Konferensi Islam Asia Afrika dari Sekjen Ahmad Syaikhu di Stadion Gelora Bung Karno, 14 Maret 1965. (Perpusnas RI.)

RAPAT akbar berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno yang penuh sesak. Hari itu, perhelatan akbar antar-bangsa-bangsa dunia dalam Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) memasuki acara penutupan. Presiden Sukarno tampil memberikan amanatnya. Puluhan ribu massa, termasuk delegasi negara peserta konferensi, takjub mendengar pidato Bung Karno yang menggetarkan.

“Siapa yang tidak berbahagia dengan hasil yang telah dicapai oleh KIAA?” tanya Bung Karno seperti dikutip Duta Masyarakat, 15 Maret 1965. “Bahwa ada manusia-manusia yang tak berbahagia, yaitu manusia-manusia Nekolim, manusia-manusia imperialis dan penghisap.”

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) dihelat pada 1965. Indonesia mendapat kehormatan sebagai tuan rumah penyelenggara. Sebagaimana Konferensi Asia Afrika (KAA) yang pernah dihelat satu dekade sebelumnya, KIAA dibuka di Gedung Merdeka, Bandung pada 6 Maret 1965. Sementara itu, penutupannya berlangsung di Stadion Gelora Utama Bung Karno, 14 Maret 1965.

Advertising
Advertising

Baca juga: Arsip Konferensi Asia Afrika Menjadi Warisan Ingatan Dunia

Dalam rapat akbar penutupan KIAA, Bung Karno mengatakan dirinya merasa berbahagia atas kebangkitan umat Islam selama berlangsungnya konferensi. Terlebih lagi, berhimpunnya para delegasi negara peserta maupun peninjau di Indonesia; di Kota Bandung yang bersejarah. KIAA dikuti oleh 33 negara peserta dan 4 negara peninjau. Terhadap salah satu peninjau, yakni Negeri Malaya, Bung Karno tampak memberi sentilan lewat pidatonya yang sejatinya ditujukan kepada negara-negara besar penyokong Federasi Malaysia.

“Jika umat Islam ingin hidup kembali sebagai umat yang dikehendaki Allah SWT, maka syarat mutlak ialah hilangkan imperialisme, kolonialisme, dan neo kolonialisme,” seru Bung Karno. “Ketahuilah kebangkitan umat Islam ini akan membawa kematian Nekolim!”

Ganyang Malaysia

Sewaktu KIAA dihelat, Indonesia sedang dalam tensi politik tinggi. Di dalam negeri, rivalitas PKI dan Angkatan Darat semakin memanas setelah sebelumnya saling membahu dalam Kampanye Irian Barat. Di luar, Indonesia getol menyuarakan perlawanan terhadap negeri-negeri Nekolim (Neo Kolonialime dan Imperialisme) dan di tingkat regional, sedang berperang dengan Malaysia.

Gesekan dengan Malaysia bermula dari gagasan pembentukan Negara Federasi Malaysia yang diprakarsai Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman. Dalam konsepnya, Tunku Abdul Rahman mencanangkan penyatuan negara-negara di Semenanjung Malaya, seperti Tanah Melayu (Malaya), Singapura, Brunei, dan Sarawak di bawah satu federasi. Untuk penentuan suara rakyat di negeri-negeri Semenanjung Malaya, Tunku melibatkan Inggris sebagai eks penjajah Negeri Malaya. Upaya pelibatan Inggris inilah yang terang-terangan ditentang keras oleh Presiden Sukarno.

Baca juga: Percikan Awal Sebuah Konfrontasi

“Indonesia menganggap pembentukan Malaysia merupakan satu agenda Barat yang bertujuan untuk mengepung Indonesia,” catat sejarawan Linda Sunarti dalam disertasinya di Universitas Indonesia, “Penyelesaian Damai Konflik Indonesia Malaysia 1963—1966”.

Selain itu, Sukarno punya sentimen terhadap Malaysia. Selama pergolakan daerah di Indonesia pada paruh kedua 1950, Malaysia memberikan suaka bagi tokoh-tokoh pemberontak PRRI-Permesta. Ketika wacana pembentukan Negara Federasi Malaysia bergulir, Indonesia menyatakan reaksi kerasnya baik di dalam negeri maupun di berbagai forum internasional. Sementara itu, Tunku Abdul Rahman tetap pada rencananya yang didukung penuh Inggris dan secara tersirat oleh Amerika Serikat (AS).

“Segera setelah London meminta dukungan AS bagi rencana pembentukan Federasi Malaysia, pemerintahan Kennedy serta merta setuju,” ulas Baskara Tulus Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963. “Dukungan Washington bagi pembentukan Malaysia tentu saja membuat Indonesia marah dan akibatnya membuat hubungan kedua negara sekali lagi berada dalam situasi genting.”

Baca juga: Baret Merah Bikin Inggris Berdarah-darah

Pada September 1963, Federasi Malaysia resmi terbentuk. Indonesia menyambutnya dengan kebijakan konfrontasi yang diikuti seruan Presiden Sukarno untuk “Ganyang Malaysia”. Lewat “Operasi Dwikora”, Indonesia menyiapkan operasi militer dalam kampanye Ganyang Malaysia. Selama tahun-tahun konfrontasi itu, militer Indonesia acap kali terlibat pertempuran skala kecil dengan militer Malaysia, termasuk berhadapan dengan pasukan Inggris di perbatasan Kalimantan.

Malaysia Tak Mau Kalah

Setiap kesempatan untuk mengganyang Malaysia tak dilewatkan begitu saja oleh Indonesia. Termasuk pula ketika pengajuan resolusi dalam forum KIAA. Namun, Idham Chalid, ketua PB Nahdlatul Ulama yang menjadi ketua organisasi komite KIAA, bersikap taktis dengan tidak memasukkan konflik Indonesia dengan Malaysia sebagai agenda khusus dalam KIAA.

Di balik sikapnya itu, menurut penulis biografi Idham Chalid Andri Nurjaman, Idham Chalid hendak menjaga citra Indonesia. Sebagai pelopor konferensi, jangan sampai KIAA dikesankan menjadi ajang untuk menggalang dukungan bagi Indonesia semata. Sebaliknya, Indonesia tetap berusaha untuk melahirkan suatu sikap bersama menghadapi imperialisme dalam segala bentuknya.

“Pernyataan mengenai sikap anti imperialisme disetujui dalam Konferensi Islam ini, sehingga masalah konfrontasi Indonesia-Malaysia secara tidak langsung atau politis diplomatis mendapat dukungan dari seluruh negara yang hadir dalam KIAA,” tulis Andri Nurjaman dalam Melihat Perjuangan KH Idham Chalid di Bandung melalui Konferensi Islam Asia Afrika.

Baca juga: Kegamangan Sukarno Mengganyang Malaysia

Persoalan Malaysia justru disinggung oleh Republik Rakyat Cina yang menjadi salah satu negara peserta KIAA. Melalui delegasinya, Haji Jusuf Mai Huai, Tiongkok mengemukakan hendaknya KIAA mendorong resolusi untuk menentang penjajahan, memelihara kemerdekaan nasional, dan mewujudkan perdamaian dunia. Dalam konteks itu, Mai Huai menyatakan dukungannya terhadap Indonesia menyangkut proyek neo-kolonialime di Malaysia.

“Hendaknya Konferensi Islam Asia Afrika I dapat menerima resolusi untuk dengan sekuat tenaga menyokong tugas bersama yang paling penting bagi kaum muslimin Asia Afrika adalah menentang nekolim, memelihara kemerdekaan nasional dan memelihara perdamaian dunia. Resolusi untuk menyokong perjuangan rakyat Indonesia dan Kalimantan Utara dalam menentang neokolonialisme Malaysia [...] Saya ingin konferensi menerima resolusi untuk dengan sekuat tenaga menyokong diselenggarakannya Konferensi Islam Asia Afrika II,” kata Mai Huai sebagaimana diberitakan Warta Bakti, 8 Maret 1965.

Usulan delegasi Cina itu tidak sepenuhnya diterima. Pada akhirnya, hanya prinsip antikolonialisme yang disetujui seluruh peseta konferensi tanpa disertai resolusi mengenai persoalan Malaysia. Sementara itu, Presiden Sukarno dalam penutupan KIAA mengatakan agar persoalan antara rakyat-rakyat di Asia Tenggara cukup diselesaikan secara Islam oleh rakyat Asia Tenggara. Dia mengutuk dan menentang keras imperialisme Inggris serta campur tangannya dalam persoalan di negeri-negeri Asia. Dalam kesempatan itu, Bung Karno juga memperingatkan Tunku Abdul Rahman untuk memecahkan persoalan bangsa Asia dengan cara Asia tanpa melibatkan tangan imperialis.

“Apa cara Asia itu? Adalah jalan musyawarah seperti yang dikehendaki agama Islam. Tapi apa yang diperbuat Tunku malah sebaliknya. Tunku malah mengundang kekuatan-kekuatan imperialis, minta tolong pada Inggris, pada Australia, pada Selandia Baru, pada Kanada, dan pada Amerika Serikat,” sentil Sukarno.

Baca juga: Akhiri Ganyang Malaysia Lewat Belakang

Perhelatan KIAA kabarnya sampai membuat Malaysia mengutus pejabat pentingnya ke negeri-negeri Afrika Timur, yang mayoritas penduduknya  muslim. Misi diplomasi itu jadi jalan guna mendapat simpati dalam pergaulan internasional. Pada sisi lain, tentu demi menyaingi popularitas Indonesia di kalangan Islam.

Sebelum konfrontasi, menurut John W. Henderson dalam Area Handbook for Malaysia, kepentingan diplomatik Malaysia dengan negara-negara Muslim sebagian besar terbatas pada Mesir, tempat mahasiswa teologi Melayu berbondong-bonding ke Universitas Al-Azhar di Kairo. Selain itu, juga Arab Saudi, yang menarik para jamaah calon haji Melayu ke Mekah. Namun, pada 1965, Wakil Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak menggencarkan pendekatan ke negara-negara Afrika, seperti Aljazair dan Maroko. Dalam kunjungan itu dibuat kesepakatan agar Malaysia diikutsertakan dalam Konferensi Asia Afrika II pada Juni 1965. Berlanjut kemudian safari Tun Razak ke negara Afrika lainnya, seperti Nigeria, Tanzania, Kenya, dan Zambia.

“Setelah konfrontasi dilancarkan, Malaysia harus bersaing dengan Indonesia untuk mendapatkan dukungan kaum Muslim di tempat lain di dunia Afro-Asia,” ungkap Henderson.

Baca juga: Jakarta Accord Bikin Indonesia dan Malaysia Tak Saling Ngotot

TAG

konferensi islam asia afrika malaysia konfrontasi indonesia malaysia

ARTIKEL TERKAIT

Antara Temasek, 1MDB, dan Danantara Efisiensi Mahathir Potong Gaji Menteri Nestapa Pekerja Migran Indonesia di Negeri Jiran Sengkarut Tawa dan Sendu dalam Memoir Seorang Guru Yok Koeswoyo Bicara Sukarno Kenapa Kalimantan Disebut Borneo? Pasukan Jepang Merebut Kuala Lumpur di Musim Durian Waktu Punya Tupolev, Angkatan Udara Indonesia Kuat Tiga Lagu jadi Rebutan Serumpun Misi Peluncuran Roket Ahmad Yani