Hari ini, 11 Agustus, 54 tahun silam. Ruang Pancasila di Gedung Departemen Luar Negeri, Pejambon, Jakarta Pusat ramai. Bersama jajarannya, Menlu Adam Malik menerima delegasi Menlu sekaligus Deputi Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak. Keduanya akan memulai babak baru hubungan kedua negara.
Tun Razak bertolak ke Jakarta pagi hari yang sama. Malam sebelumnya, 10 Agustus, dia masih menghadiri sebuah resepsi di Kuala Lumpur sebagai ungkapan rasa syukur terkait rencana kunjungannya ke Jakarta. Dalam resepsi itu, Tun Razak menerima hadiah pena berlapis emas seharga 100 dolar dari penduduk asal Distrik Rompin dan diberikan untuk tujuan khusus.
“Hadiah itu merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat terhadap Tun Razak atas usahanya dalam mewujudkan perdamaian,” kata Mentri Besar Pahang Dato Yahya bin Haji Mohamed She yang hadir dalam resepsi itu, sebagaimana dilansir The Straits Times, 10 Agustus 1966. “Tun Razak harus menggunakannya untuk menandatangani pakta perdamaian.”
Perdamaian yang dimaksud merupakan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia. Sejak Tunku Abdul Rahman Putera mengumumkan berdirinya Malaysia, hubungan Indonesia dengan bangsa serumpunnya itu menjadi panas. Sukarno menganggap Malaysia merupakan proyek neokolonialisme Inggris. Bagi Sukarno dan Presiden Filipina Diosdado Mancapagal, proklamasi Malaysia itu merupakan pengangkangan terhadap Manila Accord yang ditandatangani Malaysia, Filipina, dan Indonesia pada akhir Juli 1963.
Baca juga: Percikan Awal Sebuah Konfrontasi
Akibatnya, Indonesia mencanangkan Dwikora, memutuskan hubungan diplomatik, dan mengerahkan militernya ke perbatasan Kalimantan guna menghadapi Malaysia yang militernya dimainkan oleh Inggris. Meski perang tak pernah dideklarasikan, pertempuran demi pertempuran terjadi antara kedua belah pihak.
Namun, upaya mengakhiri konflik yang dikenal sebagai Konfrontasi itu terus diupayakan berbagai pihak. Presiden Sukarno sendiri, sebagaimana dikatakan LB Moerdani dalam biografinya Tragedi Seorang Loyalis, mengupayakannya meski gagal. Begitu pula dengan Menpangad Letjen A. Yani yang mengutus deputinya Mayjen S. Parman. “Langkah mengakhiri konfrontasi sudah dimulai bahkan sejak konfrontasi itu muncul,” tulis Mindra F dalam “Normalisasi RI-Malaysia Tak Ada Yang Menang, Apalagi Kalah”, dimuat dalam Warisan [Daripada] Soeharto.
Yani lalu merekrut Pangkostrad Mayjen Soeharto untuk mengupayakan pengakhiran Konfrontasi. “Barangkali Yani dan kepala intelijennya, S. Parman, mempercayakan kepada Suharto tugas yang peka ini sehingga mereka bisa dengan tenang mengingkarinya seandainya komplotan mereka terbongkar,” tulis John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto.
Soeharto langsung merancang operasi tersebut dan menunjuk stafnya, Letkol Ali Murtopo, untuk merancang dan melaksanakan misi rahasia tersebut. Ali kemudian menunjuk Mayor Moerdani untuk bergerak di lapangan. Secara resmi, tim Ali tersebut dinamakan Operasi Khusus (Opsus), yang merupakan cabang dari Operasi Khusus Komando Mandala Siaga (Kolaga) –unit yang menangani operasi sosial-politik– di mana Soeharto menjabat sebagai wakil panglima I-nya.
Pada akhirnya, dengan bantuan para businessman Indonesia yang tinggal di luar negeri seperti Des Alwi atau Jerry Sumendap, tim berhasil mengadakan kontak dengan pihak Malaysia. Pertemuan pertama berlangsung di Bangkok dan dihadiri Des Alwi, Moerdani, dan Tun Ghazali Shafie (kepala intelijen sekaligus sekjen Deplu Malaysia).
Baca juga: Aksi Spionase Pierre Tendean di Malaysia
Dari pertemuan penjajakan itulah kemudian pertemuan formal lahir ketika Moerdani dengan perantaraan Des Alwi, teman kuliah PM Malaysia Tunku Abdul Rahman, berhasil menemui PM Malaysia tersebut. Meski keraguan besar terhadap komitmen Indonesia masih menghantui Tunku Abdul Rahman, Indonesia akhirnya bisa meyakinkan dengan mengirim delegasi militer, di mana Ali ikut dalam rombongan, pada pada 1966. Begitu keraguan Tunku hilang, Indonesia dan Malaysia sepakat menormalisasi hubungan dalam Bangkok Agreement, 1 Juni 1966.
Bangkok Agreement itulah yang menjadi dasar diadakannya pertemuan lanjutan untuk meresmikan normalisasi hubungan kedua negara yang diadakan di Deplu RI, Jakarta. Delegasi Malaysia dipimpin Tun Razak. Bersama Menlu Adam Malik, Razak menandatangani pakta perdamaian (Jakarta Accord) yang secara resmi mengakhiri konflik kedua negara.
“Setelah dicapai persetujuan dan ditandatangani Jakarta Accord itu, maka permusuhan antara kedua negara itu mulai tanggal 11 Agustus 1966, telah berakhir. Kemudian dalam pelaksanaannya di bidang operasi militer Pangkolaga telah memerintahkan kepada semua komandan bawahannya untuk menghentikan kegiatan-kegiatan operasional. Untuk meletakkan dasar kerja sama sebagai realisasi dari Jakarta Accord itu, baik di bidang militer maupun non militer, maka pada tanggal 4 September 1966 diberangkatkan missi militer Indonesia di bawah pimpinan Brigjen TNI Sudarsono Prosuseno ke Malaysia,” tulis Dinas Sejarah TNI AD dalam Sejarah TNI-AD 1945-1973.