LELAKI sepuh bertubuh ramping itu memasuki pintu sinema. Nyaris semua helai rambutnya telah memutih. Meski dibantu tongkat, jalannya agak tertatih hingga harus dipapah. Maklum, usianya sudah menginjak 81 tahun. Dengan susah payah dia berhasil menjejakkan diri ke atas kursi.
“Duh begini nih kalau sudah tua,” celetuk Koesroyo “Yok” Koeswoyo, lelaki sepuh itu seraya ketawa.
Hari itu, Yok tak sekadar jadi penonton. Sebagai satu-satunya personel band legendaris Koes Bersaudara dan Koes Plus yang tersisa itu, kisah hidupnya difilmkan dalam dokumenter bertajuk Koesroyo: The Last Man Standing karya Linda Ochy, yang premier-nya diputar di CGV FX Sudirman pada 25 November 2024 lalu. Selain menyaksikan kisah hidupnya, Yok juga berbagi cerita mengenang perjalanan kariernya di dunia musik.
Selama lima dekade berkarya, Yok telah mencincipi segala pahit dan manis dalam industri musik Indonesia. Tak terbilang lagi prestasi maupun penghargaan yang sudah diraihnya, baik bersama Koes Bersaudara maupun Koes Plus. Tidak kurang pula cerita sedih yang mewaranai perjalanan hidupnya.
Baca juga: Yok Koeswoyo yang Tinggal dari Koes Plus
Salah satu lagu ciptaan Yok berjudul “Maria” (1976) jadi ungkapan perasaan hatinya untuk mengenang sang istri Maria Sonya Tulaar yang meninggal dalam kecelakaan lalu-lintas pada 1973. Yok juga merasakan ditinggal lebih dulu oleh kakak-kakaknya yang sama-sama membesarkan band mereka, Koes Bersaudara dan Koes Plus. Tonny Koeswoyo wafat pada 1987, Yon Koeswoyo pada 2018, John Koeswoyo pada 2022, dan Nomo Koeswoyo pada 2023.
Di awal karier bermusiknya, Yok bersama kakak-kakaknya semasa Koes Bersaudara bahkan pernah dipenjara pemerintah Orde Lama. Karya-karya Koes Bersaudara yang mengusung musik rock and roll dianggap berkiblat ke Barat seperti The Beatles, band asal Liverpool, Inggris. Bagi Presiden Sukarno, musik-musik Barat ala rock and roll itu tidak mencerminkan kebudayaan bangsa sekaligus merepresentasikan simbol penjajahan dalam bentuknya yang baru. Dalam salah satu pidatonya, Yok masih ingat, Bung Karno pernah mengecam Koes Bersaudara di hadapan para pemuda.
“Jangan seperti saudara-saudaramu Koes Bersaudara itu, ngak ngik ngok, Elvis-Elvisan segala,” seru Bung Karno seperti ditirukan Yok.
Baca juga: Senandung Lenso ala Bung Karno
Menurut pengamat sejarah perkotaan Hendaru Tri Hanggoro, Presiden Sukarno kemudian melarang pemuda-pemudi mempraktikkan kesenian yang berlandas pada kebudayaan Barat seperti musik rock n roll (ngak-ngik-ngok) dan dansa-dansi ala cha-cha-cha. Di Jakarta, razia terhadap vignet (poster) dan piringan hitam The Beatles juga marak di banyak toko. Sebagai gantinya, Sukarno menyerukan agar pemuda-pemudi kembali ke Kebudayaan Nasional. Konsep ini menjadi embrio Kepribadian Nasional untuk mendukung penyelesaian Revolusi Nasional.
“Di bidang musik dan tari, ia merumus lenso, sebuah musik yang mengambil irama dari alat musik dan gerak tari Maluku,” terang Hendaru.
Nahas juga turut melanda Koes Bersaudara. Pada akhir Juni 1965, setelah mengisi mini konser di kediaman seorang perwira Angkatan Laut, Koes Bersaudara ditangkap sepasukan dari Komando Operasi Tertinggi (KOTI). Setelah ditangkap, mereka dipenjarakan di Glodok selama tiga bulan. Umum diketahui saat itu alasan penangkapan dan penahanan Koes Bersaudara karena aktivitas bermusik mereka yang dianggap mempromosikan musik ngak ngik ngok.
“Mereka dianggap tak mengindahkan peringatan polisi tentang pelarangan musik ngak-ngik-ngok, ulas Budi Setiyono dalam “Ngak-ngok-ngok” termuat di antologi liputan Jurnalisme Sastrawi. “Penangkapan mereka diikuti dengan penyitaaan seluruh perlatan musik Koes Bersaudara. Orang kejaksaan mendatangi rumah mereka. Selain menyita alat musik, pertugas menggeledah surat-surat, yang ternyata dari penggemar Koes Bersaudara.”
Baca juga: Selamat Tinggal Penyanyi Tua
Meski sempat mendekam dalam penjara, Yok yakin betul Bung Karno tidak bermaksud demikian pada Koes Bersaudara. “Sebetulnya kita itu mau diberi tugas,” beber Yok.
Tugas itu, menurut Yok, justru datang dari KOTI yang dipimpin Bung Karno. Salah satu rencana operasi intelijen yang dirancang KOTI dalam konfrontasi Ganyang Malaysia adalah dengan menginfiltrasikan Koes Bersaudara ke Malaysia. Penggalangan Koes Bersaudara sebagai agen intelijen lantaran popularitas mereka telah dikenal di negeri tetangga. Basis penggemar mereka bahkan telah terbentuk di Singapura, Malaysia, dan Filipina Selatan. Menyusupkan mereka ke negeri jiran itu tentu lebih bisa diterima masyarakat setempat dan mengurangi potensi dicurigai.
“Kita ditarok di penjara selama tiga bulan itu pura-pura. Seolah-olah kita bermusuhan dengan Bung Karno. Makanya kita waktu itu ditarok di KOTI. Komandan kita Kolonel (ALRI) Kusno,” tutur Yok.
Baca juga: Operasi Monte Carlo, Misi Intelijen Koes Bersaudara
Sayang, misi intelijen Koes Bersaudara itu batal dieksekusi karena terjadi Persitiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Selama berpuluh-puluh tahun lamanya, Yok dan personel Koes Bersaudara lainnya bungkam mengenai rencana operasi intelijen yang melibatkan mereka. Yok sendiri menaruh kesan penuh hormat kepada Sukarno. Baginya Bung Karno adalah satu-satunya “Bung Besar”. Dia teringat pada dekade 1960-an, sewaktu Papua masuk ke dalam Republik Indonesia diberi nama Provinsi Irian Jaya. Penamaan Irian tak lepas dari prakarsa Bung Karno yang berarti “Ingat Republik Indonesia Anti Nekolim”.
“Bung Karno itu Bung Besar,” kenang Yok. “Karena dia yang betul-betul menyatukan negeri kita ini.”