PARA pejabat kolonialis Eropa, termasuk Residen Jenderal Federasi Negeri-Negeri Melayu (FMS) Hugh Fraser dan Panglima Komando Malaya Jenderal Arthur Percival beserta sebagian besar serdadunya sudah lari tunggang-langgang ke Singapura. Di hari itu, 11 Januari 1942, ibukota Kuala Lumpur otomatis menjadi kota terbuka yang kemudian diduduki pasukan Jepang nyaris tanpa perlawanan.
Sebelumnya, Kuala Lumpur menjadi sasaran serangan udara Jepang mulai 21 hingga 22 Desember 1941. Sepekan pasca-tahun baru, Divisi ke-5 Angkatan Darat (AD) ke-25 Jepang pimpinan Jenderal Tomoyuki Yamashita menghancurkan Divisi India ke-11 di Pertempuran Sungai Slim (5-7 Januari 1942) dekat kota Tanjung Mualim.
“Lalu pasukan veteran Perang China itu juga merebut pangkalan udara (lanud) Kota Baru yang strategis untuk menguasai ruang udara. Sampai kemudian pada 11 Januari 1942, mereka mencapai Kuala Lumpur. Pasukan persemakmuran (Inggris, red.) mundur secepat mungkin ke Singapura,” tulis Michael Tai dalam China and Her Neighbours: Asian Diplomacy from Ancient History to the Present.
Baca juga: Rakyat Sabah Membenamkan “Matahari Terbit”
Dari segi postur, pasukan Jepang kalah jumlah. Tai menguraikan, Yamashita hanya punya 70 ribu serdadu, sementara Jenderal Percival punya total 140 ribu personil. Namun strategi jitu Jenderal Yamashita yang berjuluk “Harimau Malaya” membuat ofensif Jepang bisa moncer.
Kendati begitu, kegemilangan Jepang sedikit-banyak juga karena bantuan sabotase para tokoh Kesatuan Melayu Muda (KMM), organisasi nasionalis kiri anti-kolonalis Inggris pimpinan Ibrahim Yaakob dan Mustapha Hussain yang didirikan pada 1938. Seiring invasi Jepang ke Semenanjung Malaya, Fujiwara Kikan (F Kikan) –merupakan unit intelijen militer pimpinan Mayor Iwaichi Fujiwara– menjalin kontak dengan KMM untuk membantu aksi sabotase atau pengintaian.
“Pertempuran Sungai Slim jadi salah satu yang paling menentukan di Semenanjung Malaya. Saat pasukan Inggris mundur dari Sungai Slim, otomatis mereka kehilangan Malaya Utara dan kota terbesar di Malaya, Kuala Lumpur, terbuka lebar bagi pasukan Jepang,” kenang Hussain dalam memoarnya yang dituliskan bersama Insun Sony Mustapha, Kebangkitan Nasionalisme Melayu sebelum UMNO.
Hussain juga memahami dua faktor lain kenapa Inggris begitu mudah dihancurkan Jepang. Pertama, kekurangan persenjataan.
“(Persenjataan) Inggris sangat buruk. Perang di (front) Eropa pasti sangat menyedot banyak persenjataan mereka,” lanjut wakil presiden KMM itu.
Baca juga: Benteng Labrador Saksi Bisu Pertahanan Terakhir Singapura
Kedua, sikap meremehkan militer Jepang. Selain menyepelekan kemampuan udara Jepang, militer Inggris juga pede bahwa kondisi dataran Malaya takkan cocok buat tank-tank tempur Jepang.
“Sebelum invasi, orang Eropa acap mencibir bahwa pilot-pilot Jepang takkan mampu membom target itu karena matanya sipit. Betapa keliru! Saya melihat pesawat-pesawat Jepang menjatuhkan bom-bom bukan untuk menghancurkan bangunan tapi untuk menakuti tentara Inggris agar segera mundur ke Singapura yang dijadikan Jepang sebagai jebakan,” tambah Hussain.
“Lalu seorang jenderal Inggris pernah menganggap tank-tank akan sulit melewati dataran Malaya. Namun di (pertempuran) Sungai Slim, saya melihat lima tank ringan Jepang dengan mudah menembus garis pertahanan Inggris. Saking paniknya mereka mundur dengan meninggalkan banyak senjata, amunisi, serta suplai-suplai medis.”
Jepang Menolak Aspirasi Kemerdekaan
Sejurus ambruknya pemerintahan FMS, kepanikan sempat melanda usai pemerintahan FMS bubar. Penjarahan pusat perbelanjaan menjalar di sentra bisnis Jalan Jawa (kini Jalan Tun Perak) dan Jalan Batu (kini Jalan Tuanku Abdul Rahman).
“Hampir tiga perempat penduduk Kuala Lumpur juga sebelumnya sejak 9 Januari sudah dievakuasi ke distrik-distrik di sekitarnya (Kuala Lumpur). Penjarahan merebak, kekacauan juga melanda karena banyak toko yang dibakar usai dijarah di beberapa tempat lain di Selangor,” ungkap Paul H. Kratoska dalam The Japanese Occupation of Malaya and Singapore 1941-1945: A Social and Economic History.
Situasi baru kondusif ketika pasukan Jepang memasuki Kuala Lumpur. Gedung-gedung pemerintahan yang tersisa disita untuk dijadikan kantor pemerintahan militer Malai Gunsei Kumbu yang dipimpin kepala departemen staf umum Tentara AD ke-25 Jepang, Kolonel Wataru Watanabe.
KMM sendiri mulai berkonsolidasi. Para pemudanya dihimpun untuk menjadi kolone kelima demi merebut hati Jepang. Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk menuntut kemerdekaan.
“Mentor politik saya, Sutan Jenain pernah berkata, ‘perjuangan demi kemerdekaan adalah kewajiban setiap warga. Perjuangan harus dilakukan bersama-sama dan kemerdekaan baiknya dituntut semasa perang atau setelahnya.’ Ini menjadi momentum terbaik. Lagi pula, bukankah slogan Jepang adalah ‘Asia untuk bangsa Asia’? Bukankah harusnya Malaya juga untuk bangsa Melayu?” sambung Hussain.
Baca juga: Aung San Pura-pura demi Burma Merdeka
Salah satu upayanya, lanjut Hussain, adalah dengan membentuk kolone kelima, yang diharapkan bisa terus bekerjasama dengan F Kikan pimpinan Mayor Fujiwara. Selain mengawasi potensi sabotase dan aktivitas subversif kelompok lain yang pro-Inggris atau sisa-sisa pasukan Inggris, para pemuda KMM juga ikut memikirkan mengembangkan senjata “rahasia”.
“Saya sendiri mengusulkan para spesialis desain senjata Jepang untuk membuat satu senjata menyerupai bentuk durian. Saya berkata, ‘lagi pula sekarang sedang musim durian, buah favorit penduduk lokal. Jika orang Melayu terlihat membawa durian di sepedanya, Inggris takkan curiga!’ Tetapi usulan itu ditertawakan,” sambungnya.
Upaya lain adalah dengan menciptakan himne KMM. Salah satu potongan lagu yang diciptakan Hussain, Saidi Hashim, dan Kiman di Wisma KMM di Kuala Lumpur itu berbunyi:
Tentera Jepun telah tiba, mari kita bantu mereka.
Tentera Jepun telah tiba, mereka datang untuk memerdekakan kita.
Baca juga: Benteng Labrador Saksi Bisu Pertahanan Terakhir Singapura
“Lagu KMM” itu kemudian dinyanyikan saat beraudiensi dengan sejumlah perwira tinggi Jepang , pada 14 Januari atau tiga hari pasca-Kuala Lumpur resmi diduduki Jepang. Saat mendengar lirik-lirik awal via penerjemah, awalnya para perwira Jepang itu tersenyum lebar.
“Tetapi saat penerjemah menyampaikan lirik ‘memerdekakan kita’, ekspresi mereka berubah drastis. Mereka menghardik, ‘Nai! (tidak bisa). Lalu saya menyingkap bahwa nama rahasia KMM adalah Kesatuan Malaya Merdeka. Mereka terkejut dan menganggap orang Melayu belum punya kesadaran politik yang cukup untuk mengaspirasikan kemerdekaan. Saya syok karena bingung, kenapa mereka mendeklarasikan kemerdekaan India di Bangkok pada 12 Desember 1941 tapi tidak dengan Malaya yang sama-sama jajahan Inggris?” sesal Hussain.
Para pemuda KMM belum menyerah. Sekira pada 17 Januari, Hussain bersama delegasi KMM menghadap seorang petinggi biro politik Jepang untuk kembali mengaspirasikan tuntutan kemerdekaan.
“Jika KMM adalah badan politik yang mengaspirasikan kemerdekaan, mana bendera nasional, lagu kebangsaan, dan konstitusinya?” tanya petinggi politik Jepang itu pada Hussain.
“Bendera kami adalah Sang Saka Merah Putih,” tegas Hussain.
“(Bendera) merah-putih itu milik Indonesia,” sahut sang petinggi Jepang.
“Bendera merah-putih sudah menjadi bendera Melayu dengan simbol ‘kejujuran dan keberanian’ sejak era Hang Tuah di abad ke-16. Tetapi entah mengapa bendera itu ada di Indonesia. Persoalan tentang bendera akan didiskusikan lagi dengan Indonesia di kemudian hari,” lanjut Hussain.
Soal lagu kebangsaan, delegasi KMM mempersembahkan lagu yang sama seperti tiga hari sebelumnya. Sementara konstitusinya akan segera disusun usai masa perang. Namun, tuntutan itu kembali dimentahkan petinggi Jepang tersebut.
“Biarkan Jepang menjadi sosok ayah. Orang Melayu, China, dan India bisa hidup sebagai keluarga. Jika seorang anak Melayu kurus membutuhkan susu, kami yang akan menyediakannya susu yang banyak,” ujar petinggi Jepang itu.
Baca juga: Sekelumit Kisah Mahathir Mohamad