Debat calon presiden (capres) ketiga yang dihelat Komisi Pemilihan Umum telah dilaksanakan Minggu (7/1/24) malam. Terjadi perdebatan sengit terutama antara capres 01 Anies Baswedan dan capres 02 Prabowo Soebianto yang kini masih menjabat sebagai menteri pertahanan.
Dalam debat dengan tema pertahanan, keamanan, hubungan internasional, dan geopolitik itu Anis beberapa kali “menyerang” Prabowo dengan menyinggung soal kebijakan Menhan Prabowo yang berencana membeli pesawat tempur Mirage 2000 bekas. Serangan itupun mendapat “tangkisan” dari Prabowo.
Salah satu “tangkisan” yang dilakukan Prabowo antara lain dengan menyinggung penggunaan alutsista bekas yang merupakan praktik lumrah dalam sejarah Indonesia.
“Bung Karno waktu menghadapi Irian Barat, seluruh alatnya bekas. Bung Karno seluruh pesawat terbang, kapal selam, cruiser, destroyer semuanya bekas. Dalam alat perang, saya katakan, bukan baru dan bekas tapi usianya. Kalau pesawat, flying hours,” kata Prabowo.
Penjelasan Prabowo tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan sejarah saat Indonesia berupaya merebut Irian Barat dari Belanda dengan menggunakan opsi militer, yakni Trikora. Dalam kampanye Trikora, Indonesia memperkuat kekuatan militernya berkali lipat dari yang sebelumnya. Banyak dari peralatan militer Indonesia itu didapatkan dalam kondisi bekas.
Namun, bila mengacu pada fakta historis, pernyataan Prabowo tersebut juga keliru. Sebab, banyak alutsista militer Indonesia –baik dari matra darat, laut, maupun udara– yang dibeli memang dalam kondisi baru.
Mayoritas alutsista itu dibeli dari Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. Pilihan pembelian ke Blok Timur itu dilatari penolakan Blok Barat terhadap proposal pembelian senjata yang diajukan Indonesia. Blok Barat –yang liberal dan merupakan rival Blok Timur yang komunis– khawatir persenjataan yang hendak dibeli Indonesia akan digunakan untuk memerangi Belanda. Belanda merupakan bagian dari Blok Barat dan anggota NATO.
“Uni Soviet bersedia menjual dengan syarat ringan sejumlah besar senjata militer untuk AD, AL dan AU Indonesia. Dalam waktu singkat Indonesia menjadi kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara,” catat Sukono dkk. dalam Dan Toch Maar! Apa Boleh Buat Maju Terus.
Mayoritas alutsista yang dibeli dari Blok Timur itu merupakan alutsista untuk matra laut dan matra udara. Berbeda dari angkatan darat yang punya kedekatan dengan Amerika Serikat di samping kebutuhan alutsistanya secara strategis tak membahayakan politik-keamanan Barat, alutsista-alutsista yang diajukan angkatan laut dan udara secara strategis membahayakan kepentingan politik-keamanan Barat. Alhasil alutsista modern –baru maupun bekas– layak pakai yang didapatkan ALRI dan AURI mayoritas produk Soviet dan negara-negara sekutunya.
Salah satu alutsista modern Indonesia saat itu yang dibeli dalam keadaan baru adalah helikopter angkut berat Mi-6 “Hook”. Heli terbesar dunia yang dibeli untuk memperkuat Angkatan Udara (AURI, kini TNI AU) itu bahkan sebagian dirakit di tanah air, di mana salah satunya melahirkan insiden yang merenggut nyawa perwira AURI Atang Sendjaja.
Selain Mi-6, AURI juga mendapatkan banyak pesawat pembom berat strategis Tupolev Tu-16 Badger. Sejak 1957, AURI sudah naksir pada pesawat pembom jarak jauh itu. Itu diutarakan oleh Letkol J. Salatun, perwira AURI yang juga menjabat sebagai Sekretaris Dewan Penerbangan (Depanri), saat memberi masukan kepada KSAU Marsekal Suryadi Suryadarma.
“Dengan Tu-16, awak kita bisa terbang setelah sarapan pagi menuju sasaran terjauh sekalipun dan kembali sebelum makan siang,” kata Salatun pada Suryadarma, seperti dikisahkan majalah Angkasa “Edisi Koleksi Pesawat Kombatan TNI-AU”.
“Bagaimana pangkalannya?” tanya Suryadarma.
“Kita akan pakai Kemayoran yang mampu menampung pesawat jet,” jawab Salatun.
Namun, butuh waktu lama bagi AURI untuk mendapatkannya. Sebab, sebelum 1960 Tu-16 masih dalam pengembangan. Indonesia pun saat itu baru memiliki segelintir lanud yang panjang landasannya bisa didarati Tu-16. Dan yang terpenting, Soviet belum bersedia menjual Tu-16 ke negara non-sekutu dekatnya.
Keadaan berubah pada tahun 1960. Salatun yang ikut dalam rombongan KSAD Jenderal Abdul Haris Nasution ke Moskow untuk membeli persenjataan –dikenal sebagai Misi Nasution– untuk Operasi Mandala Trikora, mendapati Tu-16 masuk dalam daftar persenjataan yang ditawarkan Uni Soviet.
“Karena Tu-16 kami berikan kepada Indonesia, maka pesawat ini akan kami berikan kepada negara sahabat lain,” kata Menteri Luar Negeri Soviet Mikoyen.
Tu-16 akhirnya berhasil didapatkan AURI pada 1960. Jadi, mustahil Tu-16 yang baru dikembangkan pada akhir 1950-an itu didapatkan Indonesia dalam kondisi bekas.
Sejalan dengan pembelian itu, beberapa penerbang muda Indonesia pun dikirim ke Soviet. Mereka dikirim pada Mei 1961 untuk mempelajari pesawat tersebut di Riazan selama beberapa bulan.
Pada 1 Juli 1961, untuk pertama kalinya Tu-16 mendarat di Lanud Kemayoran. Dalam pengiriman pertama itu, ada dua pesawat yang tiba.
“Pesawat M-16-01 diterbangkan oleh Mayor Udara Suroso Hurip dan M-16-02 diterbangkan Mayor Udara Sutopo. Pesawat TU-16 Badger A ditempatkan di Skadron 41 dan 12 pesawat TU-16 KS-1 Badger B di Skadron 42,” tulis Dinas Penerangan Angkatan Udara dalam Sejarah Angkatan Udara Indonesia (1960-1969).
Dari total 25 Tu-16 yang dimiliki Indonesia, 14 di antaranya ditempatkan di Skuadron 41 dan 11 sisanya di Skuadron 42. Semua Tu-16 itu kemudian ditempatkan di Lanud Iswahjudi di Madiun. Tu-16 KS-1 mampu menggendong rudal anti-kapal AS-1 Kennel, yang juga diperoleh Indonesia dari paket kredit Uni Soviet.
Irian Barat bukanlah palagan sesungguhnya bagi pesawat-pesawat Tu-16 Indonesia. Pasalnya, diplomasi politik berhasil menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda itu sehingga konflik militer baru terjadi dalam skala kecil, kebanyakan di darat. Palagan sesungguhnya baru didapat Tu-16 di Kalimantan, saat Konfrontasi dengan Malaysia terjadi. Pesawat-pesawat Tu-16 AURI rutin melakukan penerbangan provokatif dan intimidatif di udara Malaysia dengan menyeberangi perbatasan.
“Pada bulan-bulan pertama tahun 1964 angkatan udara Sukarno terus ikut mengganggu pasukan Inggris dan Malaysia. Bahkan ketika perundingan gencatan senjata sedang berlangsung di Tokyo, para pesawat tempur dan pembom Indonesia semakin gencar melakukan serangan di kota-kota Sarawak. Pada 2 Februari, pesawat pembom Tu-16 Badger Indonesia terbang pada ketinggian 1.000 kaki di atas Labuan, Brunei, dan Sabah, diikuti oleh pesawat lain pada akhir bulan tersebut,” tulis Roger Anett dalam Borneo Boys: RAF Helicopters Pilots in Action Indonesian Confrontation 1962-66.
Apa yang ditulis Roger merupakan fakta umum di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan. Kolonel Udara (purn.) Pramono Adam merupakan salah satu saksi matanya. Pilot heli Mi-4 dan Mi-6 AURI itu ditugaskan di perbatasan saat Konfrontasi. Dia mengetahui kondisi hari-hari di perbatasan dan kerap mendengar deru Tu-16 AURI di angkasa Kalimantan.
“Waktu Konfrontasi, (di) Kalimantan Barat, setiap jam 12 siang hampir setiap hari Tu itu ke Kuching. Jam 12 siang. Kuching geger itu dengan Tu masuk situ, kita dengerin pakai radio. Kita pas di perbatasan itu nge-liat itu, Tu-nya datang ke situ, saya rada ayem ya, ‘Masih ada Tu yang sampai ke sini.’ Tidak hanya di Kuching, tapi masuk ke Australia, di tengah-tengah padang pasirnya didropin sampah itu. Mereka (Australia, red.) nggak tau. Ternyata Indonesia mampu sampai sini, kami nggak mampu. Maka mereka terus beli F-111 untuk mengimbangi. Tapi sebelum itu entah berapa ton itu dilemparin di sana. Nggak ada yang bisa protes,” ujar Pramono kepada Historia beberapa tahun silam.
Namun, kisah Tu-16 di Indonesia hanya terjadi pada masa singkat. Pasca-G30S, Indonesia mendekat ke Blok Barat, terutama Amerika. Sebagai imbalan atas sokongan militer yang diberikan pada Indonesia, Amerika mensyarakatkan Indonesia menghentikan pemakaian alutsista-alutsista buatan Soviet.
“Jadi apapun yang masih ada, kalau berbau Rusia, China itu scrap sudah. (Saya, red.) Didatangi (orang) dari Mabes, (lalu bilang) ‘Stop, jangan dipakai lagi semuanya!’ Nggak lama (dari) itu ya terus dipereteli semua. Lha Tu (Tupolev) pun sama, begitu. Padahal itu masih terbang semua. Termasuk pesawat-pesawat saya di sini. Saya baru memperbaiki satu yang paling bagus, engine-nya baru, rotornya baru, rodanya baru, saya baru nerbangkan 68 jam,” kata Pramono.
Alhasil, Tu-16 dan hampir semua alutsista Indonesia buatan Soviet pun “sirna”. Seperti heli Mi-4 dan Mi-6 yang dipiloti Pramono, semua pesawat Tu-16 Indonesia pun tinggal cerita.