Masuk Daftar
My Getplus

Menyatukan Umat Muslim Dunia Lewat Konferensi Islam Asia Afrika

Konferensi Islam Asia Afrika I diselenggarakan sepuluh tahun setelah Konferensi Asia Afrika. Presiden Sukarno menyebut konferensi ini sebagai lonceng kematian bagi neo-kolonialisme dan imperialisme.

Oleh: Amanda Rachmadita | 06 Mar 2025
Momen penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika yang diselenggarakan di Bandung pada 6 hingga 10 Maret 1965. (Arsip Koleksi Yayasan Idayu/Perpustakaan Nasional Republik Indonesia).

SEPULUH tahun setelah Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 18–24 April 1955, perhatian publik dunia kembali tertuju ke Indonesia. Puluhan delegasi dari berbagai negara di Asia dan Afrika menginjakan kaki di bumi Parahyangan untuk menghadiri Konferensi Islam Asia Afrika I yang diselenggarakan pada 6–10 Maret 1965.

Pudjiastuti Sudewo menulis dalam skripsinya, “Konferensi Islam Asia Afrika I” di Universitas Indonesia tahun 1989, gagasan Konferensi Islam Asia Afrika I diberikan oleh Presiden Sukarno. Hal ini disebabkan sebagian besar rakyat di Asia dan Afrika beragama Islam, sehingga perlu adanya kerjasama umat Islam dari dua benua tersebut agar dapat lebih memainkan peran dalam membina persatuan dan perdamaian di Asia dan Afrika.

“Gagasan Presiden Sukarno ini berdasarkan atas perasaan ikut bertanggungjawab, baik kepada agama Islam maupun kepada nasib umat Islam di benua Asia dan Afrika. Melihat perkembangan situasi politik internasional, penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika I bertujuan terutama untuk menyatukan seluruh kekuatan Islam, terutama di benua Asia dan Afrika sesuai dengan ajaran Islam, dan untuk menentang imperialisme dan kolonialisme,” tulis Pudjiastuti.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Tekad Sukarno di Konferensi Asia-Afrika

Penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika I sebagai realisasi Dasasila Bandung hasil dari Konferensi Asia Afrika. Untuk mewujudkan pertemuan ini, KH Ahmad Sjaichu, yang menjabat wakil ketua DPR-GR, mendapat tugas dari pemerintah untuk membahas gagasan Sukarno tentang penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika I. Ahmad Sjaichu mendekati delegasi dari Yaman, Irak, Syria, dan Pakistan yang menyatakan setuju dan menyarankan Konferensi Islam Asia Afrika I diadakan di Indonesia.

Pemerintah mengadakan pertemuan di Jakarta pada 7 Desember 1963 untuk menetapkan dasar dan tujuan Konferensi Islam Asia Afrika I. Beberapa di antaranya yaitu mempererat kerjasama dan solidaritas di antara umat Islam negara-negara di Asia dan Afrika yang sejalan dengan prinsip-prinsip Dasasila Bandung; mengusahakan agar umat Islam menjadi potensi di negara masing-masing dalam upayanya untuk mencapai kemerdekaan, bebas dari pengaruh imperialisme dan kolonialisme, untuk mencapai kemakmuran dan keadilan yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa; mempersatukan umat Islam, agar dapat bersama-sama menumbangkan imperialisme dan kolonialisme bagi perdamaian dunia; membahas soal-soal yang bertalian dengan dakwah (penyiaran Islam), tarbiyah (pendidikan), dan tsaqofah Islamiyah (kebudayaan Islam); serta memperjuangkan agar umat Islam yang merupakan golongan minoritas di negaranya bisa mendapatkan perlindungan dan kebebasan dari pemerintahnya masing-masing.

Hasil pertemuan itu juga menetapkan sebelum Konferensi Islam Asia Afrika I diselenggarakan tahun 1965, para penyelenggara akan lebih dahulu mengadakan Konferensi Pendahuluan Konferensi Islam Asia Afrika pada pertengahan tahun 1964. Konferensi pendahuluan ini diikuti oleh sponsor dari negara-negara peserta dengan sedapat mungkin memperhatikan perkembangan Islam dan letak geografis negara tersebut. Biaya penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika I akan ditanggung oleh pemerintah Indonesia, yang diperoleh dari bantuan-bantuan pemerintah dan masyarakat. Adapun biaya keberangkatan dan kepulangan para delegasi ditanggung oleh negara masing-masing.

Pudjiastuti mencatat, pada 12 Februari 1964, pemerintah Indonesia membentuk susunan panitia nasional Konferensi Islam Asia Afrika I. Pertemuan panitia nasional menetapkan Konferensi Pendahuluan Konferensi Islam Asia Afrika akan diadakan di Jakarta pada 6–14 Juni 1964, sedangkan Konferensi Islam Asia Afrika I akan digelar di Bandung pada 6–14 Maret 1965.

Baca juga: 

Sumbangsih Indonesia untuk Asia-Afrika

Dua bulan berselang, 14 April 1964, panitia nasional mengirim delegasi yang dipimpin oleh KH Ahmad Sjaichu ke beberapa negara di Asia dan Afrika seperti Arab Saudi, Pakistan, Republik Persatuan Arab, Maroko, hingga Tunisia untuk ikut mensukseskan penyelenggaraan Konferensi Pendahuluan Konferensi Islam Asia Afrika dan Konferensi Islam Asia Afrika I.

Selain Ahmad Sjaichu, utusan lain adalah H. Harsono Tjokroaminoto, H. Sofjan Siradj, H. Marzuki Djatim, dan Drs. Hardi. Mereka membawa surat pribadi Presiden Sukarno kepada Raja Arab Saudi Faisal, Presiden Pakistan Ayub Khan, Presiden Republik Persatuan Arab Gamal Abdul Nasser, Raja Maroko Hassan II, serta Presiden Tunisia Habib Bourguiba.

“Utusan Indonesia dalam kunjungan ini menerangkan bahwa Konferensi Islam Asia Afrika I dilandasi oleh semangat Bandung dan ajaran Islam, guna membawa bangsa-bangsa, terutama di benua Asia dan Afrika, mencapai masyarakat yang adil dan makmur di bawah ridho Tuhan Yang Maha Esa, serta menentang segala bentuk penindasan,” tulis Pudjiastuti.

Di tengah perjalanan kembali ke tanah air, para delegasi singgah di Irak, Nigeria, Thailand, dan Filipina untuk mengundang negara-negara tersebut menghadiri Konferensi Pendahuluan Konferensi Islam Asia Afrika dan Konferensi Islam Asia Afrika I.

Undangan itu disambut baik oleh para pejabat negara yang dikunjungi delegasi Indonesia. Surat kabar Duta Masjarakat, 10 Februari 1965, melaporkan bahwa Ahmad Sjaichu yang mengemban misi muhibah ke beberapa negara berhasil mengajak sejumlah negara untuk ikut ambil bagian dalam Konferensi Islam Asia Afrika I. Sekembalinya ke Indonesia, ia melaporkan kepada Presiden Sukarno bahwa 25 negara telah menyatakan minat dan kesiapannya untuk mengikuti konferensi. Selain itu, pihak panitia penyelenggara juga menginformasikan enam negara di luar Asia Afrika akan menghadiri Konferensi Islam Asia Afrika I sebagai peninjau.

Sementara itu, Pudjiastuti menyebut hingga Februari 1965, panitia penyelenggara telah menerima jawaban dari 37 negara yang bersedia hadir dalam Konferensi Islam Asia Afrika I, di mana 33 negara sebagai peserta dan empat negara sebagai peninjau.

Baca juga: 

Polemik Panitia Ramah Tamah Konferensi Asia-Afrika

Siti Baroroh Baried, peserta Konferensi Islam Asia Afrika I, melaporkan dalam Suara ‘Aisyiyah, No. 2, 1965, sejumlah anggota organisasi Islam Indonesia turut hadir dalam Konferensi Islam Asia Afrika I.

“Dengan menempati gedung MPRS, konferensi ini sifatnya non-govermentel, artinya peserta-pesertanya bukannya mewakili pemerintahnya masing-masing, tetapi mewakili partai politik Islam ataupun organisasi massa Islam. Delegasi Indonesia terdiri dari wakil-wakil Muhammadiyah, Dja’miatul Washlijah, Gasbiindo, Perti, PSII dan Partai NU sekaligus menjadi penyelenggara KIAA. Delegasi Muhammadiyah berjumlah 7 orang, 5 pria dan 2 wanita, di antaranya adalah penulis sendiri,” jelas Siti Baroroh Baried.

Seperti halnya Konferensi Asia Afrika, Konferensi Islam Asia Afrika I juga menarik perhatian publik baik di dalam maupun luar negeri. Antropolog Jim Sykes menulis dalam Sounding the Indian Ocean, banyak ahli menggambarkan Konferensi Islam Asia Afrika 1965 (Bandung 2.0) sebagai puncak dari lima belas tahun “pencarian identitas budaya Islam”. Konferensi yang dihadiri oleh 107 delegasi dari 33 negara, 4 peninjau, dan 40 delegasi serta 21 penasihat dari Indonesia “yang mewakili spektrum penuh komunitas Islam di Indonesia pada saat itu,” mengukuhkan “posisi Indonesia sebagai pusat kebangkitan dan kejayaan Islam”.

“Tujuan konferensi ini tidak hanya memperkuat solidaritas dan kerjasama di antara umat, tetapi juga untuk mendiskusikan ‘hal-hal yang berhubungan dengan dakwah, pendidikan (tarbiyah), dan budaya (tsaqofah),” tulis Sykes.

Secara khusus, ada beberapa hal yang menjadi fokus bahasan dalam Konferensi Islam Asia Afrika I. Pertama, mengembangkan budaya masyarakat Asia-Afrika yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kedua, membangun program pertukaran budaya antara masyarakat Islam di kawasan Asia-Afrika dengan tujuan untuk memperkuat kerjasama dan ukhuwah Islamiyah. Ketiga, mengintensifkan penerapan ajaran Islam dan mengembangkan bacaan Al-Qur’an yang berkualitas di kalangan masyarakat Asia-Afrika. Keempat, mendorong pengembangan perpustakaan Islam. Kelima, mempromosikan penggunaan bahasa Arab lisan sebagai bahasa persatuan di antara umat, di samping bahasa nasional masing-masing negara. Keenam, mengupayakan pendirian pusat-pusat kebudayaan Islam, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Baca juga: 

Enampuluh Tahun KAA Membahas Palestina

Menjadi momentum untuk menggalang kekuatan umat muslim Asia Afrika, Presiden Sukarno dalam pidato penutupan Konferensi Islam Asia Afrika I yang diselenggarakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, pada 14 Maret 1965, mengatakan bahwa resolusi-resolusi yang dibahas dalam konferensi internasional tersebut akan menandai kebangkitan dunia Islam di era modern.

“Jangan remehkan kebangkitan ini, jangan diperkecil artinya kebangkitan ini, jangan dianggap kebangkitan umat Islam sedunia ini sebagai sesuatu hal yang boleh dilupakan atau satu hal yang boleh dikesampingkan… Kebangkitan umat Islam sedunia ini adalah juga lonceng kematian daripada seluruh imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme. Jangan diperkecil ini, jangan dikira kita ini main-mainan… Dunia Islam telah bangkit, dunia Islam telah bergerak,” kata Sukarno.

“Kita tidak berdiri sendiri, let us march forward, mari kita berjalan terus. Ever onward, ever onward, no retreat, never retreat, demikianlah semboyan kita sebagai Muslimin, sebagai umat yang menjalankan semua hukum Islam, sebagai umat yang ingin menjelaskan apa yang diperintahkan oleh agama Islam, yaitu membebaskan diri kita dari semua ikatan-ikatan, agar supaya Islam bisa tumbuh subur dan mekar menjadi satu agama the leading religion among mankind,” tambah Bung Karno.*

TAG

konferensi islam asia afrika

ARTIKEL TERKAIT

Jenderal Nasution Menyaksikan Dwifungsi Kebablasan Riwayat Bupati Pertama Jombang Di Balik Markas CIA di Tiga Kota Kembali ke Dwifungsi ABRI? Thaksin Shinawatra, dari Polisi, Perdana Menteri hingga Penasihat Danantara Kritik Terhadap Dwifungsi ABRI Kala Berkidung Berujung “Awan Mendung” Dari Jalan Tengah ke Dwifungsi ABRI Lagi, Ribuan Arsip JFK Dirilis ke Publik Bayang-bayang Ali-Baba dalam UU Minerba