Kembali ke Dwifungsi ABRI?

Dwifungsi ABRI berakar historis sejak masa revolusi hingga berujung penolakan pada 1998. Setelah dihapuskan pada masa reformasi, kini dwifungsi dikhawatirkan kembali lewat revisi UU TNI.

Oleh: Martin Sitompul | 25 Mar 2025
Kembali ke Dwifungsi ABRI?
Jenderal Nasution dan Jenderal Soeharto. Penggagas dan pengguna Dwifungsi ABRI. (Repro "Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi")

DEWASA ini, publik mencemaskan kembalinya supremasi militer dalam kehidupan sipil sebagaimana era Orde Baru. Sinyalemen tersebut menguat setelah DPR akhirnya ketuk palu untuk merevisi Undang-Undang (UU) TNI. Lewat undang-undang baru tersebut, anggota militer aktif secara legal boleh menempati sejumlah jabatan sipil dengan tugas dan wewenang yang diperluas. Sebelumnya, dalam UU TNI 2004, peran militer dibatasi pada fungsi profesionalnya sebagai alat pertahanan negara. TNI juga dilarang untuk berbisnis dan terlibat politik praktis.

Sejarawan militer Genoveva Ambar Wulan turut buka suara atas kekisruhan terkait UU TNI yang baru disahkan DPR itu. Menurutnya revisi UU TNI membawa suatu dampak polemik karena Indonesia punya sejarah kelam mengenai peran ganda militer di masa Orde Baru berkuasa. Peran ganda yang lazim disebut Dwifungsi ABRI itu  telah memberikan satu kekuatan perpolitikan terpusat. Dan pada akhirnya, Dwifungsi ABRI menyumbangkan corak otoritarianisme selama rezim Orde Baru.

“Tentara itu dijadikan satu alat politik untuk membangun sebuah kekuatan. Itulah yang kemudian menjadi bentuk kekuasaan otoritarianisme pada masa Orde Baru. Sejarah itu kan tidak bisa kita hilangkan begitu saja. Masih menjadi kolektif memori bagi kita semua. Pengalaman seperti itu tentu tidak ingin berulang di dalam proses perjalanan Indonesia sekarang dalam tatanan politik demokrasi,” kata Ambar kepada Historia.id.

Advertising
Advertising

 

Dari Rahim Revolusi

Ambar menjelaskan akar historis Dwifungsi ABRI bercikal-bakal dari masa revolusi hingga kemudian berakhir dengan penolakan pada 1998. Pada masa revolusi, Ambar menganalogikan, hubungan tentara dengan rakyat ibarat ikan dan air dalam satu kolam. Strategi gerilya yang dijalankan TNI bakal berhasil ketika ada pemerintahan militer yang menopang kekuatan rakyat.

Dalam perang mempertahankan kemerdekaan, TNI sejatinya tidak cukup mampu menghadapi Belanda yang dilengkapi persenjataan dan pengorganisasian militer jauh lebih unggul. Itulah sebabnya setiap kantong gerilya terdapat pemerintahan militer untuk mengatur koneksi erat antara rakyat dengan tentara. Kebersatuan antara rakyat dan tentara inilah yang dirumuskan dalam konsep Perang Pertahanan Semesta.

“Perang gerilya tanpa rakyat enggak mungkin bisa jalan. Baik logistik maupun medan-medan pertempuran yang harus dipahami dalam gerilya kan rakyat setempat berperan penting dalam memberikan informasi. Masa revolusi bisa dimaknai sebagai cikal-bakal peran tentara dalam sosial-politik. Tetapi jiwa zamannya tentu berbeda. Saat itu menghadapi musuh bersama, yaitu Belanda,” terang Ambar.

Baca juga: Dari Jalan Tengah ke Dwifungsi ABRI

Perkembangan peran sosial-politik militer tercermin lagi pada dekade 1950-an. Hal itu didorong oleh instabilitas pemerintahan parlementer seperti silih bergantinya kabinet dalam waktu singkat hingga terjadinya pemberontakan di sejumlah daerah. Lewat konsep “Jalan Tengah” yang dicetuskan KSAD Jenderal Abdul Haris Nasution, tentara mulai masuk ke ranah sipil hingga merambah ke sektor-sektor ekonomi. Itu terlihat dari banyaknya perwira TNI yang duduk dalam Dewan Nasional maupun jadi pimpinan dalam perusahaan-perusahaan negara.

Keterlibatan tentara dalam penyelenggaraan negara juga didukung oleh Presiden Sukarno untuk meretas jalan kembali ke sistem pemerintahan presidensial dan UUD 1945. Dengan terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka kekuasaan berada ditangan presiden dengan tentara sebagai alat kekuatan politik. Periode inilah yang disebut dengan masa Demokrasi Terpimpin.

“Bung Karno juga membangun kekuatan terpusat yang kemudian otoriter. Oposisi-oposisi yang menghalangi kepemimpinannya dilibas, seperti PSI (Partai Sosialis Indonesia) dibubarkan, Masyumi dibubarkan, terakhir HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) pun dibubarkan,” ujar Ambar.

 

Mencurigai Revisi UU TNI

Dari konsep Jalan Tengah ke Dwifungsi ABRI, menurut Ambar, prosesnya berjalan setahap demi setahap. Memasuki Orde Baru, dwifungsi dirumuskan dalam Seminar Angkatan Darat II pada Agustus 1966. Untuk pertama kali terminologi Dwifungsi ABRI diperkenalkan yang memberi dasar legal pelembagaan peran sosial-politik militer di samping peran profesional pertahanan-keamanan. Namun kemudian, Dwifungsi ABRI mengalami kebablasan karena begitu dominannya peran sosial-politik militer di masa puncak Orde Baru. Lewat UU No. 20 1982, Dwifungsi ABRI tidak sekadar dilembagakan saja, melainkan ditetapkan menjadi doktrin.

“Jadi Doktrin ABRI tahun 1982 itu secara resmi adalah Dwifungsi ABRI. Padahal saat Seminar Angkatan Darat tahun 1966, doktrinnya Catur Darma Eka Karma,” imbuh Ambar.

Baca juga: Lini Masa Dwifungsi ABRI

Dengan demikian, kekuasaan Orde Baru disokong atas tiga kekuatan politik utama: ABRI, Birokrat, dan Golongan Karya (Golkar). Ketiga kekuatan politik itu saling menopang satu sama lain untuk tujuan stabilitas dan pembangunan ekonomi. ABRI sendiri memainkan peran sebagai stabilisator dan dinamisator melalui doktrin Dwifungsi ABRI.

Di pengujung Orde Baru, terasa Dwifungsi ABRI kian merajalela dan eksesif. ABRI berkembang tidak dalam fungsi militer, melainkan condong ke sosial politik. Seperti terlihat dengan adanya Fraksi ABRI di DPR dan semua kekaryaan sipil hampir didominasi oleh tentara. Dari lurah hingga gubernur yang ditempati pejabat berlatar belakang militer jadi pemandangan lumrah.

Ketika reformasi bergulir, desakan untuk penghapusan Dwifungsi ABRI menguat. Tuntutan reformasi pada akhirnya membubarkan Dwifungsi ABRI. Namun, kini Dwifungsi ABRI dikhawatirkan kembali setelah revisi UU TNI mengundang lagi partisipasi militer dalam kehidupan sipil.

“Kekhawatiran itu masuk akal,” tandas Ambar, “sejarah telah memberikan pelajaran bahwa ketika tentara masuk ke dalam sipil maka ini akan berkembang ke arah bentuk pemerintahan otoritarianisme.”

Di luar fungsi pertahanan keamanan, menurut Ambar, secara proporsional militer boleh saja ambil bagian dalam fungsi sipil tertentu yang membutuhkan kompetensi tentara, seperti mitigasi dan evakuasi kebencanaan.

Baca juga: Kritik Terhadap Dwifungsi ABRI

Sementara itu, menurut pengamat politik Insan Praditya Anugrah, UU TNI yang baru jelas memperluas keterlibatan militer di lembaga-lembaga negara yang sebelumnya tidak dapat dimasuki. Seperti misalnya perluasan lingkup tugas TNI di wilayah perbatasan dan membantu tugas pemerintah di daerah. Begitu juga dengan aturan mengenai keterlibatan militer dalam operasi militer selain perang yang sebelumnya harus melibatkan DPR. Kini, aturan itu tidak memerlukan lagi izin DPR namun hanya perlu peraturan pemerintah atau presiden. Keterlibatan militer di ranah siber juga menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi sipil. Sebab, militer memiliki sifat dasar koersif dan tidak menyukai dinamika yang merupakan sifat dasar demokrasi.

“Kita boleh mencurigai revisi UU TNI 2025 ini merupakan langkah awal untuk memperluas peranan militer tidak hanya di institusi formal namun juga di kehidupan masyarakat,” kata Insan.

Untuk mendukung supremasi sipil dalam negara demokratis, proporsi peran militer sambung Insan, hendaknya dibatasi fungsi pertahanan-keamanan. Jangan sampai militer mengambil peran mengatur keamanan, sosial, budaya, ekonomi, apalagi politik. Karena itu pula harus ditegaskan bahwa polisi adalah aparat sipil yang tidak boleh memiliki pendekatan koersif kepada masyarakat.

“Semakin sering militer menindak apapun yang terjadi dalam dinamika masyarakat maka secara psikologis menempatkan masyarakat sebagai objek yang diatur di bawah kendali militer,” tutupnya.

Baca juga: Kala Tentara Menguasai Negara

TAG

dwifungsi abri

ARTIKEL TERKAIT

Thaksin Shinawatra, dari Polisi, Perdana Menteri hingga Penasihat Danantara Kritik Terhadap Dwifungsi ABRI Kala Berkidung Berujung “Awan Mendung” Dari Jalan Tengah ke Dwifungsi ABRI Lagi, Ribuan Arsip JFK Dirilis ke Publik Bayang-bayang Ali-Baba dalam UU Minerba Sintong Panjaitan jadi Incaran Imam Imran Trotskis yang Masuk Golkar Delegasi Srilanka Curi Perhatian dalam Konferensi Islam Asia Afrika Corak Militeristik dari Masa ke Masa