SUKATANI, band punk asal Purbalingga, sempat menjadi pemberitaan nasional beberapa waktu lalu. Lagu “Bayar Bayar Bayar”-nya yang mengkritik Kepolisian membuat band yang digawangi Alectroguy (gitaris dan produser) dan Twister Angel (Novi Chitra Indriyati) itu mesti berurusan dengan aparat keamanan hingga membuat video permintaan maaf.
Hal itu memicu keprihatinan banyak kalangan. Kebebasan berekspresi yang dijamin undang-undang, dalam praktiknya ternyata belum benar-benar terwujud.
Berkaca pada sejarah, ekspresi seni di negeri ini memang selalu ada batas. Dalam beberapa kasus, batas berkesenian itu kerap berdasarkan selera dan kebutuhan yang berkuasa. Di era 1960-an, Koes Bersaudara pernah ditahan setelah penampilan mereka membawakan lagu-lagu pop Barat di sebuah acara. Ketika itu pop Barat dilarang lantaran negara sedang berseberangan dengan negara-negara Barat. Mereka dipenjara selama tiga bulan, namun tak menaruh dendam kepada Presiden Sukarno yang melarang musik pop Barat.
Di era kepresidenan Soeharto, tidak ada masalah dengan musik pop Barat. Bahkan, musik pop Barat berkembang pesat di era pemerintahan yang condong ke Barat itu. Koes Plus pun bisa menikmati masa jayanya di era ini.
Meski sebagian golongan tak menyukai genre-genre musik asal Barat, pemerintah sama sekali tidak menjadikannya masalah. Namun, tidak dengan penampilan ataupun gaya hidup yang mengikutinya. Maka ada masa ketika musik rock diperbolehkan tapi rambut gondrong, yang merupakan ciri penampilan rocker, dilarang dan dirazia semasa awal Orde Baru.
Di era itu pula kebebasan berkreasi –sebagaimana kebebasan berekspresi dan berpolitik– amat dibatasi. Maka banyak karya seni ataupun senimannya “dicekal”. Iwan Fals mungkin merupakan musisi yang paling diawasi penguasa. Lagu-lagunya yang lugas menggambarkan kondisi sosial, bahkan politik, kerap membuat merah telinga penguasa. Dua lagunya, “Bento” dan “Bongkar”, menjadi yang paling monumental tentang perlawanan terhadap ketidakadilan di masa itu.
Lagu “Bento” yang merupakan kolaborasi bersama band Swami dari album Swami (1989) itu amat populer. Buku Tidak Bebas Berekspresi, Kisah tentang Represi dan Kooptasi Kebebasan Berekspresi (2008:40) terbitan Institut Studi Arus Informasi menyebut album itu laku satu juta copy dan berada di posisi 8 dalam 150 album terbaik Indonesia versi majalah Rolling Stone Indonesia.
“Bento” bukan bicara tentang makanan Jepang, namun merujuk pada segolongan orang kaya dan berbahaya yang berkuasa pula di bawah naungan Orde Baru. Ada yang menyebut “Bento” singkatan dari Benci Soeharto, Benny Soeharto, bahkan Benteng Soeharto.
“Pada baris ketiga, disebutkan bahwa orang-orang memanggil Bento sebagai bos eksekutif. Eksekutif merupakan lembaga yang melaksanakan undang-undang, seperti presiden dan perdana menteri. Oleh sebab itu dapat kita tafsirkan bahwa Bento merupakan seorang Presiden. Di baris terakhir bait pertama dinyatakan bahwa Bento merupakan tokoh papan atas, atas segalanya. Hal ini semakin menguatkan bahwa Bento adalah seorang penguasa, lebih tepatnya seorang presiden yang membawahi segalanya,” tulis Eti Setiawati dan Roosi Rusmawati dalam Analisis Wacana: Konsep, Teori, dan Aplikasi.
Apapun tafsiran orang soal singkatan itu, “Bento” tak disukai penguasa. Lagu tersebut dianggap mengkritisi golongan yang disebut Setiawan Djody sebagai Bento. Bento, kata Djody, berjumlah hanya 20 orang dan suka menebar dan mengarahkan kebencian kepada orang Tionghoa.
“Padahal para Bento itulah yang menyelewengkan dana negara sampai triliunan rupiah,” terang Setiawan Djody dalam Reformasi & Elemen-Elemen Revolusi.
Djody merupakan pengusaha sekaligus pemusik. Produser Swami dan pemimpin band Kantata Takwa yang setelah 1980-an kritis terhadap pemerintahan Soeharto itu juga beberapa kali berkolaborasi dengan Iwan Fals.
Sebelum “Bento” dan “Bongkar, ada lagu yang membuat Iwan harus diperiksa aparat, yakni “Mbak Tini”. Lagu itu berkisah tentang seorang pelacur yang membuka warung kopi di pinggir jalan dan mempunyai suami seorang supir truk bernama Soeharyo. Dalam sebuah konser di Pekanbaru, Iwan pernah terpeleset lidah mengucapkan Soeharto untuk Soeharyo.
Alhasil, Iwan mesti berurusan dengan aparat. Selain diinterogasi 12 hari oleh Korem 031, Iwan terpaksa mendekam dalam tahanan selama dua minggu dan setelah bebas, wajib lapor selama dua bulan. Lagun yang dianggap menghina Presiden Soeharto itu pun dilarang.
Namun, bukan hanya Iwan yang –lirik lagu-lagunya lugas dan keras– pernah berurusan dengan aparat. Musisi-musisi kalem macam Bimbo pun pernah dicekal. Pada 1977, Bimbo merilis lagu “Tante Sun”, yang menggambarkan ibu-ibu pejabat yang doyan ke salon, arisan, rapat, dan berbisnis. Lagu kalem itu kemudian dipermasalahkan karena dianggap menyindir ibu-ibu pejabat Orde Baru.
“Protes kami lain, karena kami tidak perlu kata-kata kotor,” terang Sam Bimbo, seperti dicatat Anas Syahrul Alimi & Muhidin M. Dahlan dalam 100 Konser Musik Indonesia.
Bimbo pun harus menanggung risiko akibat lagu “Tante Sun” –yang juga menjadi judul sebuah film yang dimainkan Bimbo dengan sutradara Budi Schwarzkrone. Menurut Tatang Sumarsono dalam Sajadah Panjang Bimbo: 30 Tahun Perjalanan Kelompok Musik Religius, “Tante Sun” dilarang muncul di TVRI. Larangan itu baru dicabut pada awal Oktober 1977. Tante Sun.
“Di era kekuasaan Orde Baru yang sangat represif terhadap kritik seni, lagu-lagu bernada kritik sosial tidak jarang dicekal, disensor tidak boleh ditayangkan di televisi atau dilarang dimainkan di panggung karena dianggap dapat mengganggu stabilitas politik,” terang Alex Palit dalam God Bless and You Rock Humanisme.
Meski begitu, sikap represif Orde Baru tak berhasil membuat kapok para seniman. Toh, masalah tak semata datang dari lirik lagu-lagu yang mereka buat. Jangankan musisi yang mengkritik, musisi yang tidak mau ikut membantu Golkar saja bisa kena masalah juga. “Raja Dangdut” Rhoma Irama pernah mengalaminya. Dia dicekal setelah menjadi juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan enggan ikut membantu kampanye Golkar.
“Pencekalan tersebut mengakibatkan izin konser Rhoma Irama bersama Soneta Group dipersulit, lagunya tidak boleh diperdengarkan di RRI dan tidak boleh tampil di TVRI,” tulis Anas Syahrul Alimi dan Muhidin M. Dahlan.
Sepuluh tahun lebih Rhoma dicekal, dari 1977 hingga 1988. Akibatnya, di era itu dia hanya bisa membuat dan main film.
Setelah Reformasi, kebebasan berekspresi dan berkreasi jauh lebih terjamin. Pencekalan terhadap sebuah karya musik maupun penyanyinya boleh dibilang tidak ada lagi. “Pencekalan” justru datang dari kalangan masyarakat tertentu, bukan lagi penguasa formal (pemerintah). Seperti yang terjadi pada saat kemunculan Inul Daratista dengan “Goyang Ngebor”-nya atau saat kemunculan “Black metal” alias “Satanic metal” di tanah air, akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Akankah Sukatani menjadi yang terakhir mengalaminya?