NAMA Sintong Panjaitan melejit setelah sukses menumpas aksi teroris pembajak pesawat Garuda DC-9 “Woyla” di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand. Sintong yang waktu itu berpangkat letnan kolonel merupakan komandan Grup IV/Sandiyudha Kopassandha (kini Kopassus). Bersama 30 anak buahnya, Sintong memimpin operasi anti-teror untuk menyelamatkan para sandera pembajakan.
“Kita datang di sini untuk menyelamatkan nyawa sandera. Jadi naywa sandera lebih berharga dibanding dengan nyawamu dan nyawaku, karena kita sudah menjadi tentara,” kata Sintong kepada anak buahnya sebagaimana dituturkan Hendro Subroto dalam biografi Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.
Penyerbuan pesawat Garuda Woyla pada dini hari 31 Maret 1981 itu berlangsung singkat. Seluruh penumpang yang disandera berhasil diselamatkan. Tiga pembajak ditewaskan seketika menyusul kemudian dua orang lagi. Di antara kelima pembajak, pemimpinnya diketahui bernama Mahrizal. Namun, di luar mereka, Imran bin Muhammad Zein disebut-sebut sebagai dalang di balik aksi pembajakan pesawat Garuda Woyla tersebut.
“Imran dengan jelas terbukti menyetujui dan otak dari rencana pembajakan yang berhasil. Kelompok Mahrizal sempat membajak Garuda DC 9 Woyla dengan minta tebusan berupa uang jutaan Dolar AS serta dibebaskannya kelompok Imran yang ditahan akibat penyerangan Cicendo,” sebut Berita Yudha, 15 Maret 1982.
Baca juga: Pembajak Pesawat Garuda Woyla Tuntut Tebusan 1.5 Juta Dolar Amerika
Imran adalah pemimpin kelompok Jamaah Imran dan mendaku dirinya sebagai imam kelompok tersebut. Jamaah Imran dikenal sebagai kelompok radikal yang anti-Pancasila dan hendak mendirikan negara Islam di Indonesia. Sebagai imam dari kelompoknya, Imran hendak menuntut balas begitu mengetahui aksi pembajakan Mahrizal dkk. ditumpas oleh pasukan Kopassandha. Untuk itu, Imran mengincar Sintong, komandan pasukan anti-teror yang menewaskan rekan-rekannya, sebagai target pembunuhan.
Alih-alih menyerahkan diri, menurut pakar intelijen Ken Conboy, Imran justru merecanakan aksi teror selanjutnya. Pada 2 April 1981, Imran mengumpulkan para pengikutnya yang tersisa. Bersama mereka, Imran berkomplot untuk membunuh Sintong. Salah satu pengikutnya bernama Hisyam diminta Imran melamar jadi pembantu di rumah Sintong di Asrama Kopassandha Cijantung, Jakarta Timur. Dengan demikian, orang suruhan Imran itu bisa menyusup untuk memuluskan upaya pembunuhan Sintong.
“Dua hari kemudian, mereka melakukan pengintaian terhadap rumah Sintong di pinggiran selatan Jakarta. Namun, sebelum mereka dapat melakukan balas dendam, pihak berwenang berhasil menangkapnya,” catat Conboy dalam bukunya The Second Front: Inside Asia's Most Dangerous Terrorist Network.
Baca juga: Teroris Membajak Pesawat Garuda
Pada pekan terakhir April 1981, Imran mulai menjalani masa tahanan. Hari-hari dihabiskannya menjalani persidangan. Motif Imran untuk menghabisi Sintong terkuak di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Imran sebenarnya ingin melakukan balas dendam secara langsung kepada Sintong karena telah berhasil menggagalkan aksi pembajakan rekan-rekannya. Seperti diberitakan Berita Yudha, 2 Februari 1982, Imran mengatakan, gambar atau wajah komandan anti-teror itu dikenalnya lewat media ibukota.
“Sedianya saya sendiri yang akan membunuhnya dengan pergi ke rumah calon korban di Cijantung,” aku Imran.
“Lalu,” tanya Hakim Ketua Soebandi.
“Gagal karena saya keburu ditangkap,” jawab Imran.
Baca juga: Target Pembunuhan Jamaah Imran
Pengadilan mendakwa Imran bersalah atas perbuatan tindak pidana subversif. Pada 1982, Imran divonis hukuman mati. Dia menghadap regu tembak pada tahun berikutnya.
Sementara itu, Sintong ketiban pulung. Menurut Hendro Subroto, Menteri Hankam/Panglima ABRI Jenderal TNI M. Jusuf memutuskan semua anggota Tim Antiteror Kopassandha dalam operasi Woyla mendapat kenaikan pangkat luar biasa satu tingkat lebih tinggi. Begitu pula dengan Sintong yang juga mengalami kenaikan pangkat luar biasa dari letnan kolonel menjadi kolonel. Selain itu, Sintong juga menerima tanda kehormatan Bintang Sakti dari Presiden Soeharto. Sampai saat ini, Sintong masih menikmati masa-masa purnawirawannya dengan pangkat terakhit letnan jenderal.