HOTEL Fairmont, penginapan bintang lima di bilangan Senayan, Jakarta Selatan, jadi tempat bagi Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR merapatkan revisi Undang-Undang (UU) TNI akhir pekan lalu. Karena publikasinya tidak masif, rapat ini terkesan dilakukan sembunyi-sembunyi dan tergesa-gesa. Aktivitas Panja Komisi I ini baru diketahui setelah digeruduk ormas dari Koalisi Masyarakat Sipil yang nekat masuk ke ruang rapat.
Revisi UU TNI lantas memantik perhatian publik belakangan ini. Dari undang-undang yang direvisi, muncul kekhawatiran masyarakat akan pengembalian supremasi militer sebagaimana era Orde Baru lewat konsep Dwifungsi ABRI. Gelagat ke arah dwifungsi tercermin dari sejumlah peraturan perundangan yang memungkinkan perwira militer aktif menempati jabatan strategis di institusi sipil.
Dwifungsi ABRI bermula dari prakarsa Jenderal Abdul Haris Nasution pada paruh kedua 1950-an. Nasution yang saat itu KSAD memperkenalkan konsep “Jalan Tengah” untuk memperluas peran politik tentara di luar urusan militer. Situasi seperti terjadinya pemberontakan di sejumlah daerah bergolak kian memuluskan gagasan Nasution. Lewat pemberlakuan Undang-Undang Darurat Perang (SOB), panglima militer setempat menjadi penguasa perang daerah. Selain itu, banyak juga perwira militer berstatus aktif yang jadi pimpinan di perusahaan-perusahaan negara hasil dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada paruh kedua 1950.
Baca juga: Kala Tentara Menguasai Negara
Turut campurnya militer dalam institusi sipil inilah yang disebut Nasution dengan “Jalan Tengah”. Otoritas tentara jadi meluas karena turut mengampu jabatan sipil seperti anggota Dewan Nasional, menteri, hingga merambah ke sektor ekonomi. Untuk kali pertama, Nasution menyatakannya saat Dies Natalis pertama Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang tahun 1958.
“Yang paling baik buat posisi TNI dalam perkembangan negara sekarang, ialah menempuh jalan tengah seperti yang sekarang ini telah mulai dilaksanakan sebagai garis kebijaksanaaan, baik oleh panglima tertinggi, pemerintah, maupun pimpinan angkatan perang. Yaitu membuka kesempatan yang luas bagi tokoh-tokoh militer sebagai perseorangan, untuk turut serta secara aktif menyumbangkan tenaganya di luar bidang militer, yaitu menentukan kebijaksanaan negara pada tingkat-tingkat yang tertinggi seperti dalam bidang-bidang finansial-ekonomi,” kata Nasution seperti dikutip Salim Said dalam harian Pos Indonesia, 13 November 1958.
Dalam disertasinya yang diterbitkan, Tumbuh dan Berkembangnya Dwifungsi, Salim Said menyebut konsep jalan tengah yang digagas Nasution mendapat dukungan pakar hukum tata negara Mr. Djoko Sutono. Djoko Sutono pula yang meyakinkan Nasution mengenai pentingnya pemberlakuan kembali UUD 1945, agar secara konstitusional TNI memperoleh peran politik. Selain menjadi penasihat Presiden Sukarno, Djoko Sutono adalah sahabat Nasution. Dari relasi itu, mudah menebak peran Djoko Sutono dalam mendorong Nasution dan Sukarno kembali ke UUD 1945. Nama “Jalan Tengah” sendiri, seturut wawancara Salim dengan Nasution, bahkan lahir dari buah pikiran Djoko Sutono.
Baca juga: Ada Nasution di Balik Dekrit Presiden
Menurut Salim Said, yang semula dituntut Nasution bukanlah keterlibatan militer sebagai organisasi, melainkan sebagai perseorangan yang menjadi eksponen organisasi tentara. “Ini tentu jelas berbeda dengan Dwifungsi di kemudian hari yang menekankan peranan lemabaga TNI, bukan peranan eksponen atau atau perseorangan sebagaimana yang dimaksudkan Nasution dalam pidato bersejarah tersebut,” catat Salim Said.
Konsep Jalan Tengah Nasution kemudian dilembagakan menjadi Dwifungsi ABRI dalam Seminar Angkatan Darat II di Bandung pada Agustus 1966. Dalam Dwifungsi ABRI, peran militer tak terbatas lagi pada urusan pertahanan dan keamanan. Namun, legitimasi peran ABRI sebagai sebuah kekuatan sosial-politik telah melekat sebagai peran tambahan di tengah masyarakat. Lagi-lagi dalam transisi menuju era Orde Baru, situasi menuntut partisipasi ABRI dalam kehidupan sipil.
“Seminar Kedua Angkatan Darat merumuskan Kembali doktrin terdahulu yang menetapkan fondasi-fondasi pertahanan nasional, fungsi-fungsi militer, dan pembinaan fungsi-fungsi non-militer. Dalam seminar itu dirumuskan juga sebuah doktrin Perang Rakyat Semesta,” ulas Bilveer Singh dalam Dwifungsi ABRI: Asal-usul, Aktualisasi dan Implikasinya bagi Stablitas dan Pembangunan.
Baca juga: Fraksi ABRI Riwayatnya Dulu
Sejak 1966, menurut Singh, fungsi sosial-politik angkatan bersenjata dilaksanakan melalui kekaryaan atau fungsionaris. Terlihat dari berjubelnya tentara yang bertugas di luar kedinasan angkatan bersenjata, baik di legislatif maupun eksekutif. Yang paling menyolok, banyak pejabat PKI maupun yang terafiliasi dengan PKI kemudian digantikan oleh perwira militer. Penyabotan posisi sipil itu mula-mula dibenarkan dengan alasan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh pembersihan orang-orang komunis dan golongan Sukarnois setelah G30S.
Selain itu, pemerintah rezim Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto berorientasi kepada pemulihan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Untuk mewujudkannya, stabilitas keamanan dalam negeri jadi syarat mutlak. Untuk itu pula, diperlukan peran sosial-politik TNI dalam kerangka dwifungsi.
“Tapi, ketika Soeharto makin mengkonsolidasikan kekuasaanya, para perwira militer yang tidak diinginkan di lingkaran kekuasaan terpaksa harus dicarikan tempat pada jabatan-jabatan sipil. Di samping itu, penempatan seorang perwira di jabatan sipil juga merupakan suatu cara Soeharto membagi hadiah kepada orang yang berjasa atau loyal kepadanya,” ungkap Salim Said.
Baca juga: Jenderal Widodo Disingkirkan Soeharto
Dwifungsi ABRI memuncak ketika invasi militer ke dalam wilayah yang tadinya merupakan domain kaum sipil berlangsung semakin deras dan dominan. Seiring waktu, makin banyak saja posisi-posisi dalam pemerintahan yang jatuh ke tangan militer. Pada 1977, misalnya, 53,5 persen posisi tinggi negara. Belum lagi para perwira militer yang pos di parlemen sebagai anggota Fraksi ABRI. Pada 1981, dalam laporannya Rapat Pimpinan (Rapim) ABRI di Ambon, Letjen TNI M. Kharis Suhud menyebut angka 8025 sebagai jumlah personel TNI yang ditugas-karyakan di posisi-posisi strategis.
“Mereka yang dikaryakan itu antara lain menduduki jabatan: Duta Besar 28 (dari 63 jabatan Duta Besar yang tersedia), Konsul Jenderal 4 (dari 16 jabatan Konsul yang tersedia), Gubernur 18 (dari 27 jabatan gubernur yang harus diisi), Bupati 130 (dari 241 jabatan bupati yang harus diisi), Sekretaris Jenderal Departemen 14 (dari 19 jabatan yang tersedia), Direktur Jenderal 18 (dari 61 kursi Direktur Jenderal yang tersedia), Inspektur Jenderal 15 (dari 19 kursi Inspektur Jenderal yang harus diisi), Kepala Lembaga 8 (dari 18 lowongan yang tersedia), Asisten Menteri 21 (dari 25 jabatan yang tersedia),” catat Salim Said mengutip data Pelaksanaan Kebijaksanaaan Kekaryaan ABRI 1980/1981 dan Kebijakan Tahun 1981/1982 terbitan Dephankam.
Kritik terhadap pelaksanaan dwifungsi yang pada praktiknya banyak menyimpang itu sebenarnya mulai disuarakan oleh para purnawirawan TNI dalam Forum Studi dan Kominikasi (Fosko) TNI. Alih-alih mendapat akomodasi, kritikan mereka dibungkam sedemikian rupa. Baru memasuki dekade 1990-an, kelompok sipil mulai gerah menyaksikan dominasi militer. Relevansi Dwifungsi ABRI pun digugat.
Baca juga: Markas Para Jenderal Oposan
“Setelah 52 tahun ABRI mengayomi rakyat, masih saja ada yang mempertanyakan Dwifungsi ABRI. Di antara mereka adalah praktisi, politisi, LSM, pakar dan malah ada yang anonim,” demikian diwartakan Berita Yudha, 5 Oktober 1997.
Reformasi 1998 yang menumbangkan rezim Orde Baru Soeharto sekaligus tibanya ajal bagi praktik dwifungsi ABRI. Agenda reformasi menuntut penghapusan dwifungsi karena terbukti melanggengkan otoritarianisme selama Orde Baru berkuasa. Sementara itu, profesionalisme TNI yang jauh dari hingar-bingar politik terus digadang. Namun kini, setelah 27 tahun reformasi, Dwifungsi ABRI kembali menghantui lewat revisi UU TNI yang baru saja disahkan DPR hari ini.