Thaksin Shinawatra, dari Polisi, Perdana Menteri hingga Penasihat Danantara

Thaksin Shinawatra ditunjuk sebagai anggota dewan pengawas BPI Danantara. Mantan perwira polisi ini sempat menjabat perdana menteri Thailand. Digulingkan oleh kudeta militer dan menjadi pelarian di luar negeri serta divonis bersalah telah melakukan korupsi.

Oleh: Amanda Rachmadita | 25 Mar 2025
Thaksin Shinawatra, dari Polisi, Perdana Menteri hingga Penasihat Danantara
Potret yang diambil pada bulan Desember 2005 ini menampilkan Thaksin Shinawatra yang kala itu menjabat sebagai perdana menteri Thailand ketika melakukan kunjungan ke Pentagon, Amerika Serikat. (United States Department of Defense/Wikimedia Commons).

BADAN Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) mengumumkan susunan lengkap pengurus lembaga tersebut pada Senin, 24 Maret 2025. Pengumuman ini menarik perhatian publik karena terdapat tokoh asing sebagai dewan penasihat Danantara. Salah satunya Thaksin Shinawatra, seorang politikus dan pengusaha yang pernah menjabat perdana menteri Thailand pada 2001–2006.

Thaksin meraih kekuasaan pada 2001 di tengah-tengah optimisme nasional Thailand. Dia berhasil memenangkan pemilihan umum dengan meyakinkan di bawah “konstitusi rakyat” yang baru disetujui pada 1997. Konstitusi ini dipandang paling demokratis di Thailand, termasuk memuat jaminan atas hak-hak sipil dan serangkaian lembaga independen untuk menegakkannya, meskipun pada saat yang sama memperkuat kekuasaan eksekutif untuk mengurangi ketidakstabilan akibat pemerintahan koalisi yang lemah dan konflik faksi.

Partai Thai Rak Thai (TRT-Thais Love Thais) yang didirikan dan dipimpin Thaksin berkampanye dengan slogan “pemikiran baru, tindakan baru”, menjanjikan lebih banyak reformasi untuk melindungi kepentingan masyarakat miskin di pedesaan, memperkuat dinamisme ekonomi yang terhambat oleh dampak krisis ekonomi yang melanda sejumlah wilayah Asia tahun 1997, dan memperluas peluang demokrasi.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Antara Temasek, 1MDB, dan Danantara

Akan tetapi, pemerintahan Thaksin bukan berarti luput dari kontroversi. Kepemimpinan pengusaha yang pernah masuk daftar orang terkaya di dunia versi Forbes tahun 2001 itu juga diwarnai dengan korupsi dan kronisme. Pria yang pernah dianggap sebagai “angin segar” dalam perpolitikan Thailand itu akhirnya harus melepaskan jabatan perdana menteri dan menjadi pelarian di luar negeri.

Selain kebijakan-kebijakannya saat menjabat perdana menteri, latar belakang keluarga Thaksin serta rekam jejaknya sebagai polisi juga menarik untuk ditelusuri.

Sebagai keturunan pedagang Tioghoa yang menetap di Thailand sejak akhir abad ke-19, keluarga Shinawatra berkembang menjadi pengusaha terkemuka di Chiang Mai. Meski begitu, tidak semua anggota keluarga ini berkonsentrasi pada perdagangan. Menurut Pasuk Phongpaichit dan Christopher John Baker dalam Thaksin: The Business of Politics in Thailand, dari generasi ketiga dan seterusnya, beberapa orang menjadi aparat penegak hukum.

“Dalam tatanan sosial tradisional, karier resmi memiliki prestise lebih tinggi daripada perdagangan. Dibandingkan dengan birokrasi sipil di mana kemajuan sangat bergantung pada patronase dan koneksi, militer menawarkan lebih banyak kesempatan untuk naik jabatan melalui pencapaian pribadi. Selain itu, setelah tahun 1938, para jenderal angkatan darat menduduki kursi perdana menteri selama empat puluh dua dari lima puluh tahun berikutnya, menambah kekuasaan, kemewahan, dan hak istimewa para perwira tinggi,” tulis Phongpaichit dan Baker.

Tak sedikit pula anggota keluarga Shinawatra yang masuk dalam dunia politik. Pada saat Thaksin lahir tanggal 26 Juli 1949, pamannya akan menjadi anggota dewan kota, ayahnya menjadi anggota parlemen Chiang Mai, dan pamannya yang lain menjadi anggota parlemen dan wakil menteri.

Baca juga: 

Tiga Investasi Sukarno

Thaksin sendiri awalnya berencana menjadi polisi, oleh karena itu dia melanjutkan studi di Akademi Kepolisian. Pada 1973, dia menyelesaikan studinya sebagai lulusan terbaik dari 90 taruna polisi. Dia menghabiskan enam bulan bertugas sebagai Polisi Patroli Perbatasan sebelum mengambil beasiswa untuk belajar peradilan pidana di Eastern Kentucky University di Amerika Serikat.

Sekembalinya ke Thailand pada 1975, ayah Thaksin baru saja terpilih kembali sebagai anggota parlemen untuk Chiang Mai bersama Prida Atthanathabut dari fraksi lokal yang sama (kini disebut Santichon). Prida yang kemudian ditunjuk sebagai menteri di masa pemerintahan Kukrit Pramoj meminta Thaksin menjadi stafnya. Kendati berstatus sebagai pengawal polisi, Thaksin lebih banyak bekerja sebagai sekretaris. Dia menulis pidato parlemen dan membantu dalam negosiasi antara menteri dan aktivis mahasiswa. Dia juga kerap bertindak sebagai kurir untuk pengiriman pembayaran dari dana rahasia pemerintah untuk memastikan mitra koalisi memberikan suara dengan cara yang benar dalam divisi DPR. Setelah pemerintahan Kukrit jatuh pada Januari 1976, Prida kehilangan jabatan menterinya. Thaksin kemudian bertugas di kantor polisi di wilayah Bangkok.

Thaksin kembali ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi doktoral di Sam Houston State University di Huntsville, Texas. Setelah menyelesaikan studinya, dia kembali ke Thailand dan bertugas di kantor perencanaan kepolisian. Selanjutnya, dia pindah ke pusat pengumpulan informasi kepolisian. Dia juga mengajar di berbagai lembaga pendidikan kepolisian.

Ketertarikan Thaksin terhadap teknologi komputer mendorongnya untuk bisnis penyewaan komputer IBM ke kantor-kantor pemerintah pada 1981. Harold E. Smith, Gayla S. Nieminen, dan May Kyi Win menulis dalam Historical Dictionary of Thailand, Second Edition, jaringan kerabatnya yang luas dan rekan-rekannya di layanan sipil membantu kesuksesan bisnis Thaksin. Setelah meninggalkan Departemen Kepolisian tahun 1988, dia memulai usaha baru berbasis teknologi, termasuk jaringan telepon seluler, sistem paging, dan layanan televisi berbayar atau TV kabel. Satelit komunikasi pertama di Thailand ditanggung oleh Thaksin pada 1973, diikuti dengan pendirian tiga satelit lainnya. Thaksin juga membuka perusahaan bisnis di empat negara Asia Tenggara. Konsesi pemerintah pertama pada 1989 diikuti oleh lima konsesi lainnya dalam waktu dua tahun. Melalui ekspansi bisnisnya, Thaksin menciptakan konglomerasi besar dan menjadi salah satu orang terkaya di Thailand.

Baca juga: 

Mengurai Akar Kejahatan Korupsi

Thaksin mengalihkan perhatiannya ke politik nasional pada 1994, ketika dia diminta untuk menjadi menteri luar negeri dan menjabat selama tiga bulan hingga jatuhnya pemerintahan. Tahun berikutnya, dia mengambil alih kepemimpinan Palang Dharma Party setelah memenangkan kursi legislatif di Bangkok. Saat partai ini masuk ke dalam koalisi pemerintahan Perdana Menteri Banharn Silpa-archa pada 1995, Thaksin menjabat sebagai wakil perdana menteri. Dua tahun berselang, dia menjabat wakil perdana menteri untuk kedua kalinya di bawah kepemimpinan Chavalit Yongchaiyudh tahun 1997.

Menurut Thitinan Pongsudhirak dalam “The Tragedy of the 1997 Constitution”, termuat di Divider Over Thaksin: Thailand's Coup and Problematic Transition, Thaksin berkuasa pada Januari 2001 ketika Partai Thai Rak Thai (TRT) yang dipimpinnya memenangkan 248 kursi dari 500 kursi. Partai ini menyerap partai-partai kecil, dimulai dengan Seritham, diikuti oleh New Aspiration Party, dan akhirnya Chart Pattana. Thaksin berkampanye dengan platform populis yang semakin melambungkan namanya, dan membentuk koalisi yang kuat yang menjamin kemenangannya dalam pemilu tahun 2001.

“Thaksin adalah orang yang menarik untuk menjadi perdana menteri karena dia memiliki platform partai yang baru –fokus populis pada kesenjangan antara desa dan kota– dan dia mampu mengatasi faksi-faksi untuk pertama kalinya. Dalam politik Thailand, faksi biasanya memiliki pengaruh yang lebih besar daripada partai. Thaksin mampu mengatasi hal ini dengan berhubungan langsung dengan para pemilih,” tulis Pongsudhirak.

Di sisi lain, Phongpaichit dan Baker berpandangan bahwa keberhasilan Thaksin dalam pemilu sebagian dapat dikaitkan dengan konstitusi, yang mengubah sistem pemilu dengan tujuan mengurangi fragmentasi partai-partai politik dan ketidakstabilan koalisi. Namun, Thaksin memperbesar tren ini dengan memasukkan politisi-politisi lama, membangun plaftrom partai yang menarik bagi kekuatan-kekuatan sosial yang tergerak oleh krisis, dan berinvestasi pada kampanye yang lebih profesional dan mahal.

“Krisis 1997 memengaruhi semua orang. Bisnis dan kelas menengah perkotaan pada awalnya mempercayai Partai Demokrat untuk menanganinya. Namun, ketika krisis semakin dalam dan berkepanjangan, Partai Demokrat dianggap tidak efektif, terlalu tunduk pada IMF, dan terlalu condong ke arah globalisasi. TRT memanfaatkan peluang yang ada. Partai ini berfokus pada dua segmen terbesar masyarakat Thailand –pengusaha kecil-menengah dan masyarakat pedesaan. Partai ini menanyakan kepada kedua kelompok itu apa yang mereka inginkan dari negara, mengubah hasilnya menjadi platform pemilihan umum, dan berkampanye di atas platform ini… Setelah berkuasa, Thaksin dan partainya memberikan janji-janjinya lebih dari yang diharapkan oleh para pendukungnya… Banyak pengusaha berharap bahwa kesuksesan bisnis Thaksin menjadi tanda bahwa dia akan mampu menghidupkan kembali ledakan ekonomi di awal tahun 1990-an,” tulis Phongpaichit dan Baker.

Baca juga: 

Mental Korupsi Pejabat Pribumi

Setelah berhasil memenangkan pemilu nasional, Thaksin ditunjuk sebagai perdana menteri oleh Raja Bhumibol Adulyadej pada 9 Februari 2001. Namun, masa jabatan Thaksin hampir berakhir ketika Komisi Anti Korupsi Nasional yang independen menuntutnya pada 3 April 2001 di hadapan Mahkamah Konstitusi dengan tuduhan menyembunyikan aset dalam deklarasi kekayaan yang diwajibkan. Meski begitu dia dibebaskan dengan suara 8 berbanding 7 di awal Agustus 2001.

Menurut Pongsudhirak, pembebasan Thaksin pada 3 Agustus 2001 dianggap sebagai kemunduran konstitusi 1997. Sebab, hal ini melanggar semangat reformasi –bukan hanya isi dari konstitusi itu sendiri, tetapi juga semangat dari konstitusi. Hal ini membuka jalan bagi politisasi dan penetrasi konstitusi oleh para pengacara Thaksin untuk menguasai lembaga-lembaga independen di bawah konstitusi –menempatkan pengacara dan sekutunya di Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pembarantasan Korupsi Thailand (NCC), Mahkamah Konstitusi, bahkan Kantor Anti-Pencucian Uang. Sementara lembaga-lembaga lain seperti Komisi Penasihat Ekonomi dan Sosial Nasional (NESAC) dan NHRC dipinggirkan atau diabaikan.

“Konstitusi menjadi terganggu setelah Agustus 2001. Konstitusi ini kemudian mengalami krisis karena telah disandera oleh Thaksin, dimonopoli olehnya,” tulis Pongsudhirak.

Pada 2006, Thaksin menjual perusahaan telekomunikasi milik keluarganya dengan nilai hampir $2 miliar, dan pertanyaan-pertanyaan terkait kesepakatan bebas pajak tersebut menimbulkan protes besar-besaran. Dihadapkan dengan desakan pengunduran diri, dia membubarkan parlemen pada akhir Februari 2006 dan mengadakan pemilu pada April 2006. Meski partainya memenangkan suara mayoritas, pemilu tersebut diboikot oleh partai-partai oposisi utama, sehingga Mahkamah Agung menyatakan hasil pemilu tidak sah. Thaksin tidak naik ke tampuk kekuasaan tetapi tetap bertanggungjawab atas pemerintahan sementara, dan pemilu diadakan kembali pada pertengahan Oktober 2006. Akan tetapi, sebulan sebelum pemilu diadakan kembali, yakni pada September 2006, ketika sedang melakukan perjalanan ke luar negeri, Thaksin digulingkan dari pemerintahan oleh kudeta militer. Hal ini membuatnya menjadi pelarian di luar negeri.

Baca juga: 

Empat Kasus Korupsi Besar pada Awal Orde Baru

Pemerintah Thailand membekukan aset Thaksin pada Juni 2007. Di tahun berikutnya, dia dituduh melakukan korupsi. Thaksin diadili secara in absentia, dan pada Oktober 2008 dinyatakan bersalah atas tuduhan korupsi. Dia dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Thaksin yang lebih banyak tinggal di Dubai dan Inggris ditunjuk oleh pemerintah Kamboja sebagai penasihat ekonomi khusus pada November 2009. Beberapa bulan berselang, pada Februari 2010, Mahkamah Agung Thailand memutuskan bahwa pemerintah akan menyita sekitar 60 persen dari total aset Thaksin sebagai bagian dari hukuman yang dijatuhkan kepada sang mantan perdana menteri.*

TAG

danantara thaksin shinawatra thailand

ARTIKEL TERKAIT

Daeng Mangalle dan Konspirasi Melawan Raja Thailand Hari-hari Pangeran Paribatra di Jawa Selayang Pandang Tim Gajah Perang Arena Sejarah Kun Khmer "Kembaran" Muay Thai Aryono, Ayutthaya, dan Adelaide: Testimoni untuk Aryono Kala Budak Dibebaskan Dari Merpati Putih untuk Gajah Putih Kisah Panji di Thailand Kritik Terhadap Dwifungsi ABRI Kala Berkidung Berujung “Awan Mendung”