ORANG-orang kiri mengalami kepedihan selepas peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Dibunuh. Diperkusi. Ditahan atau dibuang ke Pulau Buru. Namun, ada segelintir yang selamat dan tetap berkiprah di dunia politik selama Orde Baru. Salah satunya Sahamad Sudjonomantan anggota Komite Pusat Partai Angkatan Comunis Muda (Acoma).
Dalam masa-masa kritis itu, Sahamad Sudjono mengambil keputusan penting yang menentukan jalan hidupnya. Dia keluar dari Sarekat Tani Indonesia (Sakti), organisasi massa di bawah Acoma, dan bergabung dengan Persatuan Rakjat Tani (Perta).
Perta sendiri adalah organisasi massa di bawah Partai Murba. Didirikan pada 1952 sebagai organisasi sempalan Sarekat Tani Indonesia (Sakti) setelah terjadi konflik internal. Namun, menyusul pembubaran diri Partai Murba, sejak November 1965 Perta bergabung dengan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Sekber Golkar, didirikan pada 20 Oktober 1964 oleh Angkatan Darat, merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada di bawah pengaruh politik tertentu. Pasca-1965, Sekber Golkar bertransformasi sebagai “partai” utama pendukung Orde Baru.
Sahamad Sudjono selamat karena bergabungnya Perta dengan Sekber Golkar. Di awal Orde Baru, dia terpilih sebagai anggota Majelis Permusyawaran Rakyat Sementara (MPRS) dan kemudian Dewan Perwakilan Rakyat- Gotong Royong (DPR-GR).
Pembuat Film
Sosok Sahamad Sudjono memang tak seterkenal Ibnu Parna. Informasi mengenai dirinya dan kiprahnya dalam politik pun amat terbatas. Data singkatnya termuat dalam dokumen Konstituante.
Sahamad Sudjono lahir di Batutulis, Bogor, pada 15 Agustus 1923. Dia hanya lulusan sekolah rakyat (volkschool). Di usia 17 tahun, dia bekerja di studio film “Persafi” di Jakarta.
Persafi, singkatan dari Perserikatan Ahli Film Indonesia, didirikan oleh pemerintah pendudukan Jepang setelah mengambil-alih perusahaan film NV Multi Film. Persafi bertugas membuat film-film cerita untuk propaganda Jepang.
Pada masa itu Sahamad juga ikut latihan ketentaraan yang diberikan oleh Jepang. Latihan itu menjadi bekal baginya saat mengangkat senjata melawan tentara Inggris dan Belanda di Bogor, Banten, dan Jakarta.
Pada 1947, Sahamad kerja sebagai buruh PPBM (Panitia Pembagian Beras dan Makanan) Banten, lagi-lagi selama setahun. Ia tinggal di Tangerang. Di sana, untuk kali pertama dia berkenalan dengan komunisme dan bergabung ke dalam onderseksi (cabang) PKI setempat.
Sahamad kembali bergerilya. Pada Januari 1949, dia ditangkap tentara Belanda dan dijebloskan di Penjara Glodok. Dia dibebaskan pada 10 Oktober di tahun yang sama. Pada 1950 hingga 1951, Sahamad menjadi wakil pimpinan umum Yayasan Situpelang, sebuah yayasan di bawah naungan Kementerian Sosial.
Pada awal 1950-an, Sahamad mulai aktif di dunia politik. Dia memutuskan pindah dari PKI yang beraliran Stalinis ke Acoma yang bercorak Trotskis. Bahkan, pada 10 Agustus 1952, dia duduk sebagai anggota Comite Pusat (CP) partai tersebut.
Sahamad juga bergabung dan duduk sebagai anggota Dewan Organisasi (DO) Sarekat Tani Indonesia (Sakti), organisasi massa di bawah Acoma. Dalam struktur Sakti yang dipimpin oleh Sidik Kertapati, dia duduk sebagai sekretaris bagian Pemuda.
Acoma didirikan pada Juni 1946 oleh Ibnu Parna, eks aktivis Pesindo yang dekat dengan Tan Malaka. Ibnu Parna memimpin organisasi ini, yang berseberangan dengan PKI. Upaya rekonsiliasi pernah diupayakan oleh Acoma tapi gagal. Maka, pada 8 Agustus 1952, lahirlah sebuah resolusi yang menandai berdirinya Partai Acoma.
Selain menjadi partai, Ibnu Parna mengubah nama dari “Angkatan Communis Muda” menjadi “Angkatan Communis Indonesia” dengan tetap mempertahankan singkatan Acoma. Perubahan ini ditentang oleh Sidik Kertapati, yang kemudian dipecat. Sidik tetap pada organisasi yang lama, Akoma, pimpinan Juliarso di Yogyakarta yang kemudian melebur dengan PKI.
Perseteruan juga terjadi di tubuh Sakti. Dalam kongres ketiga di Bogor pada Januari 1954, Ibnu Parna bersaing dengan Sidik Kertapati, ketua Sakti berdasarkan hasil kongres kedua di Bandung dua tahun sebelumnya.
“Dua jago yang bertarung itu kemudian menguasai Sakti,” catat Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 5: 1950-2007.
Sakti di bawah Sidik Kertapati berfusi dengan Barisan Tani Indonesia (BTI), yang di bawah pengaruh kuat PKI, pada Juni 1955. Sedangkan para loyalis Ibnu Parna tetap mempertahankan Sakti di bawah kepemimpinan baru, Sahamad Sudjono.
Sebagai partai politik, Acoma mempersiapkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) DPR dan Konstituante. Untuk tanda gambar, Acoma memilih Semar dengan tangan mmeberi salam “Merdeka”. Hasil pemilu lumayan: Acoma memperoleh masing-masing satu kursi. Ibnu Parna yang maju dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat terpilih sebagai anggota DPR. Dia juga lolos sebagai anggota Konstituante tapi tampaknya menyerahkan kursi tersebut untuk Sahamad Sudjono.
Mendukung Pancasila
Di dalam Konstituante, Sahamad Sudjono masuk dalam Fraksi Pekerja. Tugas utama Konstituante adalah menyusun Undang-undang Dasar. Salah satu pembahasan yang alot dalam sidang-sidang Konstituante adalah mengenai dasar negara. Perdebatan dalam pemandangan umum menarik perhatian masyarakat.
“Perhatian masyarakat terhadap sidang ini besar sekali dan banyak penonton harus dipersilahkan keluar sidang karena tidak ada tempat,” catat Indonesia Raja edisi 2 Desember 1957 mengulas pemandangan umum babak kedua yang membicarakan dasar negara.
Ruang sidang bergemuruh pada malam 29 November 1957. Ada tiga pembicara yang memproleh kesempatan untuk menyampaikan pandangan mengenai dasar negara, yakni Buya Hamka (Masyumi), Njoto (PKI), dan Sahamad Sudjono (Acoma).
Hamka dalam pidato selama hampir satu setengah jam mati-matian membela Islam agar menjadi dasar negara. Islam sebagai dasar negara tidak akan merugikan umat beragama lain. Toh, Islamlah yang diperjuangkan oleh para pahlawan seperti Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol. Hamka menjamin, jika Islam dipilih sebagai dasar negara, semua agama dapat hidup bersama-sama.
Dua pembicara lain menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Njoto beralasan “demi keutuhan dan demi kesatuan berkeyakinan, untuk melenyapkan sisa-sisa kolonialisme feodalisme dan untuk melaksanakan tuntutan-tuntutan kemerdekaan kita. Dikatakannya Pancasila tidak akan pilih kasih, karena sebagian besar golongan menerimanya. Adapun Sahamad menyokong Pancasila sebagai dasar negara karena “sesuai dengan pribadi bangsa Indonesia, terjaminnya kemerdekaan beragama, dan lain-lain.”
Dalam kesempatan lain, Sahamad merangkum tiga aliran atau pendapat dalam Konstituante mengenai dasar negara. masing-masing mengehendaki Sosial-Ekonomi, Islam, dan Pancasila dijadikan dasar negara. Menurut Sahamad, hal itu wajar. Sudah menjadi hak dan kewajiban bagi tiap-tiap golongan atau aliran dalam negara demokrasi untuk memperjuangkan secara mutlak dasar - dasar ideologinya atau memenangkan ideologinya.
Sahamad kemudian mengemukakan penilaian atas ketiga aliran tersebut, sebagaimana terekam dalam Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante (1958).
Pendapat bahwa Sosial-Ekonomi dijadikan dasar negara kurang tepat. Sebab, Sosial-Ekonomi adalah haluan corak daripada struktur ekonomi suatu negara. Jadi bukan dasar negara.
“Memang betul, Sosial-Ekonomi itu membawa pengaruh yang besar bagi dasar negara. Kita kenal Sosial-Ekonomi yang liberalistis/kapitalistis dan sosialistis. Dari dasar ekonomi tersebut kita dapat mengetahui haluan daripada negara,” ujar Sahamad.
Mengenai Islam sebagai dasar negara, Fraksi Acoma tidak dapat menerima. Sebab, dasar ini memberi kesempatan bagi golongan atau orang-orang Islam yang sempit dan tidak sehat untuk memusuhi golongan non-agama dengan alasan mereka memusuhi agama.
“Fraksi Angkatan Communis Indonesia (Acoma) percaya kalau Islam Revolusioner tidak akan memusuhi golongan non-agama, sekalipun terhadap Communis yang benar-benar dalam praktiknya menjalankan dasar-dasar Communisme. Karena kaum Communis seperti halnya juga golongan Islam berkepentingan menentang bentuk/corak penindasan dan pemerasan terhadap umat manusia,“ ujar Sahamad.
“Maka untuk membendung gejala-gejala yang tidak sehat yang mudah mempengaruhi golongan Islam yang sehat untuk memusuhi golongan non-agama, dasar Islam menurut pendapat Fraksi Angkatan Communis Indonesia (Acoma) adalah sempit untuk dijadikan dasar negara yang akan mencerminkan pertumbuhan dan bakat demokrasi di Indonesia sekarang ini walaupun dalam alasan-alasannya ‘Islam menghormati tiap-tiap kepercayaan keyakinan dan agama lainnya’.”
Sahamad kemudian mengemukakan kembali pendirian Acoma bahwa pada tingkatan sekarang hanya Pancasila-lah yang dapat dijadikan dasar negara, sesuai dengan realisasi Revolusi 17 Agustus 1945.
“Fraksi Angkatan Communis Indonesia (Acoma) pada taraf penyelesaian Revolusi Nasional ini tetap mempertahankan dan membela Pancasila sebagai dasar negara, dengan catatan...”
Sahamad kemudian memberikan catatan: menempatkan Pancasila di atas garis revolusi serta Pancasila yang tidak terpisah dari dua unsur. Pertama, negara Republik Indonesia adalah sebuah benteng penyusunan kekuatan rakyat semesta, ke luar dan ke dalam untuk menjamin hidup dan penghidupan hingga secara minimal tiap keluarga memiliki satu rumah, cukup makan dan pakaian, serba waras dan berpendidikan. Kedua, pembangunan yang mengutamakan perindustrian dan pertanian negara sebagai basis ekonomi nasional.
Hingga 1959, Konstituante belum berhasil menyelesaikan tugas utamanya mengenai dasar negara dan membentuk Undang-Undang Dasar (UUD) baru.
Pertentangan politik mendapat perhatian dari Presiden Sukarno. Bahkan, pada pidato 21 Februari 1957, Presiden Sukarno menyampaikan konsepsi mengenai penerapan Demokrasi Terpimpin, yang juga mengarah pada penyederhanaan partai-partai.
Sahamad Sudjono mendukung konsepsi presiden. “Kita harus melepaskan diri dari imperialisme dan kapitalisme, berjuang menyelesaikan revolusi nasional,” Merdeka, 28 Agustus 1958. “Tentang penyederhanaan partai-partai, pembicara menyatakan persetujuannya dan pembicara menyetujui pelaksanaan demokrasi terpimpin,”
Dalam pembukaan sidang pleno Konstituante pada 22 April 1959, Presiden Sukarno memberikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali kepada UUD 1945. Maka, diadakanlah pemungutan suara untuk menentukan Indonesia kembali ke UUD 1945.
Dalam pemandangan umum di sidang Konstituante, Sahamad mendukung anjuran pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945 sebagai jalan keluar dari kesulitan yang dialami oleh Konstituante maupun masyarakat atau negara umumnya. Pendirian Sahamad tergambar dalam buku Naskah-Persiapan Undang-undang Dasar 1945 (1960) yang disusun oleh Muhammad Yamin.
“Pendirian saya itu saudara Ketua,” kata Sahamad, “ialah saya dapat menyetujui anjuran pemerintah itu, dan bersama itu dari mimbar ini saya demi persatuan nasional menyerukan pula pada Majelis Konstituante ini untuk dengan suara bulat menyetujui serta menerima anjuran pemerintah itu.”
Sahamad juga menyampaikan adanya maksud dan kehendak dari semua fraksi dalam Konstituante mengenai perubahan dan penyempurnaan UUD 1945. Namun, dengan tidak mengecilkan serta menghormati kehendak-kehendak tersebut, “kita tangguhkan untuk diajukan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat nanti.”
Keputusan diambil melalui pemungutan suara. Dari tiga kali pemungutan suara, mayoritas anggota menginginkan kembali ke UUD 1945, tapi terbentur jumlah yang tidak mencapai 2/3 suara keseluruhan. Setelah voting ketiga, serempak para fraksi memutuskan tidak akan lagi mengikuti sidang Konstituante setelah reses 3 Juli 1959. Keadaan gawat inilah yang mendorong Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Konstituante dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk MPRS. Sahamad Sudjono bersama Harun Umar menjadi anggota MPRS sebagai wakil dari Sakti pada 14 November 1960. Di dalam MPRS, mereka masuk sebagai wakil golongan karya.
Sebelumnya, Sahamad pernah duduk di Dewan Perancang Nasional (Depernas), badan yang dibentuk untuk membantu Presiden Sukarno dalam merancang, mengawasi, dan menilai program Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Sahamad duduk sebagai anggota Seksi Sandang Depernas, yang dibentuk pada Sidang Pleno Depernas di Bandung pada 5 Desember 1959. Karena volume kerja yang berat, Seksi Sandang dibagi dalam tiga kelompok kerja. Sahamad masuk dalam kelompok kerja Rami. Masa kerjanya hingga 26 Februari 1960.
Masuk Golkar
Pada 3 Desember 1960, Acoma mengubah dirinya menjadi lembaga pendidikan politik. Siasat ini diambil agar tetap bisa bertahan setelah gagal mencapai jumlah anggota yang disyaratkan pemerintah untuk bertahan sebagai partai politik.
Sisa-sisa anggota Sakti yang setia dengan Ibnu Parna juga tetap eksis. Sakti tak hanya mempertahankan bentuk aslinya sebagai serikat tani, tapi juga dipercaya mengelola badan percetakan dan penerbitan majalah Acoma, Mingguan Pekerdja. Saat itu Sahamad bukan lagi ketua umum Sakti. Ia digantikan oleh Soetrisno BS.
Riwayat Acoma tamat pasca-G30S. Acoma bukan hanya dilarang. Bahkan, catat Harry A. Poeze, rumah Ibnu Parna yang juga menjadi kantor Komite Pusat Acoma di Jalan Kasin Kulon No. 26 Malang dirusak dan dibakar oleh massa karena terdapat papan dengan emblem palu-arit. Ibnu Parna sangat terpukul. Dia masuk rumah sakit, semabuh kembali, tapi akhirnya meninggal dunia sekitar tahun 1968.
Sakti bernasib mujur. Sakti di bawah Soetrisno BS menyelamatkan diri dengan bergabung ke dalam Sekber Golkar pada November 1965. Dengan begitu, lepaslah segala ikatan dengan Acoma.
Hal serupa dilakukan oleh Perta, yang setelah pembubaran diri Partai Murba memilih bergabung dengan Sekber Golkar. Keinginan Perta disambut baik oleh Sekber Golkar. “Golkar juga terus-menerus mempertanyakan fitnah yang menyerang Perta sebagai organisasinya Ch. Saleh dan sebagai bagian dari PM [Partai Murba] yang terlarang,” catat Poeze.
Saat itu Sahamad sudah tak terlibat di Sakti. Dia memilih keluar dari Sakti dan beralih ke Perta. Harun Umar, rekannya di Sakti, lebih dulu masuk Perta dan bahkan jadi ketua umumnya per April 1966. Sebagai wakil dari Perta, Sahamad Sudjono dan Harun Umar tetap duduk sebagai anggota MPRS.
Bergabungnya Sakti dan Perta ke dalam Sekber Golkar tak lepas dari peran Angkatan Darat. Pada 1957, Angkatan Darat membentuk Badan-dadan Kerjasama (BKS) dengan sipil. Salah satunya BKS Tani-Militer (Tamil). Setelah peristiwa 1965, BKS Tamil mendekati organisasi-organisasi massa (ormas) tani dan bahkan menggabungkan mereka menjadi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). HKTI kemudian berada di bawah Golkar, yang juga dibentuk oleh Angkatan Darat.
Pada 1968, Sahamad Sudjono dan Harun Umar diberhentikan sebagai anggota MPRS menyusul pengangkatan mereka sebagai anggota DPR-GR. Posisi mereka di MPRS digantikan oleh Abdu1 Hamid dan Zubir Moekty; masih dari wakil Perta.
Sahamad tetap menjadi anggota DPR-GR dari Fraksi Karya Pembangunan hingga 1971 saat pemilihan umum kedua dilaksanakan. Setelah itu tak ada informasi tersedia mengenai kehidupan dan karier Sahamad Sudjono.*
Penulis adalah mahasiswa S1 Ilmu Sejarah di Universitas Gadjah Mada dan kontributor Kaltim Kece.