BARU kemarin Oberbootsmannmaat (setara sersan kepala) Wilhelm Gödde merayakan Hari Natal bersama rekan-rekannya, hari berikutnya awak Scharnhorst –nama kapal tempur kebanggaan Kriegsmarine (Angkatan Laut Jerman)– itu terombang-ambing di perairan Nordkapp, Tanjung Utara, Norwegia. Di kegelapan malam dengan hawa dingin dari salju yang turun dan air laut yang membeku, Gödde hanya bisa menggantungkan nasibnya pada Yang Kuasa.
Gödde satu dari sedikit penyintas Scharnhorst yang tenggelam pada malam 26 Desember 1943 usai dikeroyok kapal-kapal armada Inggris dalam Pertempuran Tanjung Utara. Pertempuran itu jadi ajang terakhir bentrok antarkapal permukaan murni tanpa keterlibatan kapal selam dan pesawat udara di front Eropa.
Bersama sekitar selusin rekannya, Gödde mesti susah payah dan nyaris menyerah saat belum diselamatkan musuhnya, awak kapal perusak HMS Scorpion. Para awak Scorpion sudah mencoba menurunkan jaring dari lambung kapal namun Gödde dan rekan-rekannya sudah lebih dulu kehabisan tenaga untuk memanjatnya.
“Mereka kemudian mencoba melemparkan tali laso kepada saya tapi selalu meleset dari bahu kanan saya. Saya sudah tak punya tenaga untuk membuat simpul di bawah ketiak. Sekalinya bisa tersimpul, saya kehilangan pegangan lagi. Sudah empat kali gagal dan saya sebenarnya sudah menyerah karena saya pikir mereka juga takkan sabar. Pada percobaan yang kelima pun nyaris gagal lagi tapi tiba-tiba datang ombak besar yang mendorong saya sampai ke tepi dek. Seorang pelaut segera menarik saya ke dek kapal,” kata Gödde mengenang, dikutip Thomas Schmid dalam “The Battleship Scharnhorst (1936)” yang termaktub dalam buku The World of Battleship: The Design % Careers of Capital Ships of the World’s Navies, 1880-1990.
Gödde tercatat sebagai satu dari 36 penyintas Scharnhorst yang diselamatkan dua kapal perusak Inggris, yakni Scorpion –yang menyelamatkan 30 awak– dan HMS Matchless –menyelamatkan enam sisanya. Hanya 36 dari total 1.968 personil Scharnhorst yang selamat, nakhoda Scharnhorst Kapitan zür See Fritz Hintze dan komandan flotillanya Konteradmiral Erich Bey ikut tewas tenggelam bersama ribuan awak lainnya.
Gödde dan 35 rekannya yang jadi tawanan perang lantas dibawa ke tempat penawanan di Scapa Flow pada 2 Januari 1944. Ke-36 penyintas Scharnhorst itu lalu dibawa ke Kanada untuk mendekam di kamp-kamp tawanan Jerman lain.
Baca juga: Kapal Perang Jerman Karam di Sukabumi?
Penggempur Lincah
Scharnhorst dibangun di galangan Kriegsmarinewerft Wilhelmshaven pada Juni 1935 sebagai kapal kedua dari kelas Scharnhorst. “Kakak” kembarnya, Gneisenau, dibangun Deutsche Werke sebulan sebelumnya. Keduanya merupakan tipe kapal penggempur cepat yang mengombinasikan karakter kapal tempur berat dan kapal penjelajah nan lincah.
Menjelang Perang Dunia II, Kriegsmarine punya total empat kapal tempur baru. Selain Scharnhorst dan Gneisenau, dua lainnya berasal dari kelas-Bismarck, yakni Bismarck dan Tirpitz yang bobotnya lebih berat dari dua saudaranya di atas.
Mengutip Battleships of the Scharnhorst Class: The Scharnhorst and Gneisenau karya Gerhard Koop dan Klaus-Peter Schmolke, kapal yang mengambil nama seorang jenderal Prussia di masa Perang Napoleon, Gerhard Johann David von Scharnhorst, itu punya perisai pelinduk bak kapal tempur berat dan punya kecepatan bak penjelajah ringan. Kapal berbobot 38.700 ton itu dilindungi lapisan baja setebal 13,8 inci dan bisa melaju dengan kecepatan hingga 31 knot (57 kilometer per jam).
Baca juga: Bangkai-Bangkai Kapal Hitler Muncul di Danube
Soal persenjataannya, selain dilengkapi sembilan meriam utama SK C/34 berdiameter 11 inci, keduanya dipersenjatai 12 meriam pendukung kaliber 5,9 inci, 14 meriam antiserangan udara 4,1 inci, dan 16 meriam 1,5 inci. Scharnhorst juga dilengkapi masing-masing tiga tabung torpedo di tiap sisinya.
Meski kapal tempur, Scharnhorst dengan panjang 234,9 meter dan lebar 30 meter bisa mengangkut tiga pesawat pengintai Arado Ar 196A. Ia juga dipasok masing-masing satu radar Seetakt dengan daya jangkau 6-10 mil laut (11-19 kilometer) di atas meriam utama dan di atap anjungannya.
“Sayangnya Jerman memang tidak bisa membangun kapal yang lebih besar dari kelas-Scharnhorst karena terikat Perjanjian Angkatan Laut Inggris-Jerman 1935. Dua kapal kelas ini merepresentasikan kompromi politis yang memainkan peran besar di masa itu,” tulis Koop dan Schmolke.
Perjanjian itu membuat Kriegsmarine lebih banyak menyalurkan anggarannya untuk membangun u-boot atau kapal selam (kasel). Ketika Perang Dunia II pecah, kawanan-kawanan kasel (wolfpack) Jerman itulah yang lebih sering mencatatkan kemenangan dengan menenggelamkan konvoi-konvoi kapal Sekutu ketimbang kapal-kapal permukaan Jerman.
Namun, bukan berarti Scharnhorst tak punya andil dalam memblokade maupun mencegat rute konvoi-konvoi Sekutu. Sejak mulai beroperasi pada 7 Januari 1939, Scharnhorst sudah ikut patroli pada November 1939 ke perairan utara Norwegia, termasuk Laut Barents.
Scharnhorst bersama Gneisenau dan beberapa kapal perusak turut diminta menjadi pendukung gempuran dalam Operasi Weserübung kala Angkatan Darat Jerman menginvasi Denmark dan Norwegia pada 9 April-10 Juni 1940.
Baca juga: Bencana di Penyeberangan Danau Ladoga
Namun di hari pertama invasi itu, Gneisenau dan Scharnhorst sudah mendapat perlawanan dari kapal penjelajah Inggris HMS Renown. Baik Scharnhorst maupun Gneisenau mampu melarikan diri dengan keunggulan kecepatan yang dimiliki walau dengan bayaran yang cukup mahal: radar Scharnhorst mengalami malfungsi kena satu tembakan Renown.
Dalam Operasi Juno pada 8 Juni 1940, Scharnhorst bersama Gneisenau ikut memberi serangan kejutan untuk menghajar dan menenggelamkan kapal induk Inggris HMS Glorious di Laut Norwegia. Pun di Operasi Berlin pada 8 Maret 1941, Scharnhorst ikut “mengacak-acak” Konvoi SL 67 Sekutu di perairan Cape Verde.
Pada awal Agustus 1942, Scharnhorst mulai ditugaskan di perairan Norwegia. Mengingat Bismarck sudah ditenggelamkan pada 27 Mei 1941, ditambah lagi Tirpitz dan Gneisenau rusak berat dan harus direparasi dalam waktu lama, Scharnhorst jadi tulang punggung blokade rute konvoi Sekutu di Laut Arktik yang acap mondar-mandir dari Amerika Serikat atau Inggris menuju Uni Soviet.
Pencegatan Berujung Jebakan Maut
Operasi Osfront dicanangkan Panglima Kriegsmarine, Großadmiral Karl Dönitz, mulai November 1943. Operasinya digulirkan secara koordinatif antara Kriegsmarine dan Luftwaffe (AU Jerman) yang berbasis di Altafjord, Norwegia. Pelaksanaannya dipercayakan pada Konteradmiral Erich Bey yang berada di Scharnhorst sebagai kapal komando. Ia hanya ditemani lima kapal perusak: Z29, Z30, Z33, Z34, dan Z38.
Stephen W. Roskill dalam The Offensive Part I, 1st June 1943-31st May 1944 mencatat, Bey mulai mempersiapkan skadronnya seiring laporan dari sebuah pesawat pengintai AU Jerman tentang adanya Konvoi Sekutu JW 55B yang berangkat dari Loch Ewe, Skotlandia pada 20 Desember. Konvoi itu tentu dikawal armada Inggris di bawah komando Laksamana Sir Bruce Fraser yang membagi dua kekuatannya menjadi Gugus Tugas 1 dan Gugus Tugas 2.
Baca juga: Karl Doenitz, Panglima "Singa" Suksesor Hitler
Gugus 1 dipimpin Laksamana Madya Robert Burnett, diperkuat kapal penjelajah HMS Belfast sebagai kapal komando, serta HMS Norfolk dan HMS Sheffield. Sedangkan Gugus 2 berkekuatan kapal tempur HMS Duke of York yang juga menjadi kapal komando, kapal penjelajah HMS Jamaica, kapal perusak HMS Savage, Scorpion, dan Saumarez, serta satu kapal perusak Norwegia HNoMS Stord yang dipimpin langsung oleh Fraser.
“Fraser tentu tahu keberadaan Scharnhorst dan berusaha tak memancingnya keluar. Maka ketika rutenya mulai masuk ke wilayah berbahaya pada 23 Desember, konvoinya yang dikawal ketat Gugus 1 diperintahkan berlayar ke arah timur, 250 mil laut dari lepas pantai utara Norwegia, sementara Gugus 2 memisahkan diri langsung menuju Murmansk dengan kecepatan tinggi,” tulis Roskill.
Bey sendiri baru mendapat kepastian info lanjutan pada malam Natal, 25 Desember, dari laporan radio salah satu kasel Jerman. Tak ingin kecolongan momen, Bey langsung memerintahkan Scharnhorst dan kelima kapal perusaknya berangkat dari Altafjord.
Tetapi niat Bey mencegat dan memberi kejutan gagal karena ia tak menemukan konvoi di koordinat sesuai laporan kasel. Bey juga tak bisa meminta bantuan lanjutan pesawat pengintai AU Jerman gegara badai salju. Bey hanya bisa mengandalkan pada instingnya untuk mencari di mana konvoi itu. Bey lantas memerintahkan semua kapal perusaknya berpencar ke arah selatan. Tapi makin jauh mereka berlayar, makin hilang kontak antarkapal.
Baca juga: Kawanan Serigala Laut Jerman Berburu Mangsa
Sementara Fraser yang kapalnya punya radar lebih canggih justru tahu keberadaan kapal-kapal Jerman. Fraser pun mulai mengonsolidasikan kekuatannya dengan Burnett yang mengomando Gugus 1. Tanpa disadari, keadaan mulai berbalik bagi Bey, dari yang niatnya ingin mencegat kini malah berpotensi dijebak dan dikeroyok.
“Pada pukul 9 pagi (26 Desember), Belfast yang pertama mendeteksi Scharnhorst di radarnya. Kapal Inggris itu langsung mendekat ke jarak tembak untuk membuka salvo-salvo pertama. Scharnhorst terkena dua kali tembakan dari jarak 12 kilometer. Salah satunya merusak kendali radar Seetakt yang terpasang di atas meriam utama. Alhasil Scharnhorst hanya bisa membalas tembakan berbekal sasaran pancaran cahaya meriam Belfast,” lanjutnya.
Menjelang siang, Bey memutuskan Scharnhorst melarikan diri dengan keunggukan kecepatannya ketimbang menghadapi lebih banyak kapal musuh. Tapi nahas, ia justru mengarah ke kapal-kapal musuh dari Gugus 1. Setelah susah payah bermanuver hingga petang, Scharnhorst tetap gagal keluar dari jebakan.
Kapal Sheffield, Norfolk, Duke of York, Belfast, dan Jamaica sudah siap “menggilir” Scharnhorst dengan salvo-salvo mereka. Begitu berganti malam, kapal-kapal itu menembakkan lusinan peluru suar agar sasaran empuknya itu terlihat lebih jelas.
“Tiba-tiba peluru-peluru suar yang sudah seperti pohon Natal berterbangan mengarah pada kami. Kami diliputi api dari peluru suar pada semua sisi. Scharnhorst sudah seperti makanan siap saji di atas piring. Duke of York segera menembaki kami dengan meriam-meriam besarnya,” kenang Gödde yang bertugas di tiang sinyal Scharnhorst.
Baca juga: Midway, Adu Kekuatan Dua Armada
Sementara, Bey hanya bisa memerintahkan Scharnhorst terus bermanuver pendek sembari memberi tembakan balasan yang kurang akurat gegara kehilangan radarnya. Tujuan manuver, untuk memperlebar jarak tembak dari satu kapal musuh ke kapal musuh lainnya.
Pada pukul 18.10, salah satu tembakan Duke of York berhasil menembus lapisan baja Scharnhorst hingga merusak salah satu ruang uapnya. Kecepatan kapal Jerman itu pun berkurang jauh dari 24 knot menjadi 10 knot. Scharnhorst pun makin rentan serangan torpedo kapal-kapal perusak Inggris.
“Ke manapun kami bermanuver, di situ ada musuh. Kami berusaha mendobrak kepungan ke arah selatan menuju daratan Norwegia. Tetapi kemudian kami terkena banyak torpedo dan kena tembakan lagi yang membuat dek depan menganga,” lanjutnya.
Kendati begitu, korban dari Inggris juga berjatuhan. Beberapa tembakan Scharnhorst berhasil menghantam Duke of York, Saumarez, dan Savage walau tak mengalami rusak berat.
“Kami akan bertempur sampai peluru meriam terakhir ditembakkan!” seru perintah terakhir Bey.
Baca juga: Kebanggaan Armada Jepang Karam di Midway
Tetapi Scharnhorst kian lemah. Pada pukul 19.15, lapisan bajanya sudah tak lagi mampu membendung lusinan tembakan meriam dan terakhir, 19 torpedo dari empat kapal perusak Inggris. Ia lumpuh dan 30 menit kemudian terbalik dan tenggelam.
“Tenggelamnya Scharnhorst menjadi kemenangan besar Sekutu di wilayah Arktik dan lebih jauh, membuat keseimbangan dalam perang lautan menguntungkan Sekutu. Dengan hancurnya Scharnhorst dan kapal tempur Jerman lainnya rusak, untuk pertamakalinya Sekutu merasa konvoinya lebih aman dari ancaman kapal permukaan Jerman. Pertempuran ini juga jadi pertempuran antarkapal permukaan tanpa bantuan udara yang terakhir di front Eropa,” ungkap Richard Heogh dalam The Longest Battle: The War at Sea 1939-1945.