BARU sekira pukul 11 pagi saat diktator fasis Italia Benito Mussolini baru melangkahkan kakinya masuk lift di kediaman pribadinya, Palazzo Venezia, Roma, Italia pada 7 Agustus 1941. Tetiba saja seorang pejabat bawahannya datang tergesa-gesa dengan membawa kabar pahit.
“Duce, ada kecelakaan (pesawat) di Pisa! Putra Anda Bruno terluka dan kondisinya kritis,” kata pejabat itu, dikutip Richard Collier dalam Duce! The Rise and Fall of Benito Mussolini.
Bruno yang dimaksud adalah anak ketiga Mussolini dari istri keduanya, Rachele Guidi. Mussolini terdiam dengan tatapan hampa. Ia keluar lagi dari lift untuk merapat ke pejabat itu dan bertanya dengan setengah berbisik. “Apakah dia tewas?” Tetapi sang pejabat pembawa kabar buruk itu belum bisa memastikan.
Mussolini lantas buru-buru ke Rumahsakit Santa Chiara di Pisa, tempat putranya dirawat. Namun meski tim dokter sudah melakukan perawatan sebaik mungkin, nyawa Bruno tak tertolong. Dia mengembuskan nafas terakhir pada usia belia, 23 tahun.
Baca juga: Si Jago Udara di Bawah Panji Swastika
Sejak saat itu Mussolini berubah. Kematian Bruno sang anak kesayangan membuat Il Duce berbubah, terutama saat berinteraksi dengan keluarganya.
“Ada (Benito) Mussolini sebelum kematian Bruno dan ada Mussolini setelahnya. Tragedi itu mengubahnya menjadi sosok yang berbeda. Sosok yang tatapannya hampa dan seringkali membuat kita iba padanya,” kenang putra bungsu sang diktator, Romano Mussolini, dalam memoarnya, Il Duce Mio Padre (terj. My Father: Il Duce).
Rachele sang ibu mendiang juga terguncang. Namun dukanya tak pernah seberlarut-larut suaminya. “Yang paling membuat saya terpukul adalah Il Duce yang tenggelam dalam diam yang menyiksa, ibarat ia sudah berubah menjadi batu.”
Baca juga: Sang Pilot "Mengudara" untuk Selamanya
Penerbang yang Mabuk Popularitas
Lahir di kota Milan pada 22 April 1918, Bruno merupakan anak sah keempat Mussolini dari rahim Rachele –yang merupakan istri kedua Mussolini, sebagai anak ketiga. Kendati Vittorio yang merupakan putra sulung, Bruno nyatanya jadi putra favorit Mussolini karena ketika Bruno lahir, Mussolini menyaksikan langsung persalinannya.
Faktor lain yang membuat Mussolini lebih mengasihinya ketimbang putra pertamanya, Benino Albino Mussolini (dari istri pertamanya, Ida Dalser), adalah karena Bruno sejak kecil merupakan anak yang rentan sakit. Di usia satu tahun Bruno pernah mengidap difteri, kemudian disusul asma.
Tetapi, Brunolah yang mengikuti jejak ayahnya di dunia jurnalistik. Bruno bahkan sudah sering belajar menulis artikel sejak usia 12 tahun. Ia juga tumbuh jadi sosok remaja flamboyan yang hobi tinju, bergaul dengan banyak gadis, dan menggandrungi dunia seni, otomotif, serta dirgantara.
“Bruno adalah putra favorit Duce, di mana mereka sering berduet menyanyikan lagu-lagu opera,” sambung Collier.
Baca juga: Sengkarut Pohon Keluarga Hitler
Minat Bruno pada kedirgantaraan seakan mengikuti jejak kakaknya, Letnan Vittorio, untuk belajar jadi penerbang langsung di Regia Aeronautica Italiana atau Angkatan Udara (AU) Italia. Medio 1935, Bruno lulus sekolah dan pelatihan terbang hingga menjadi pilot AU Italia termuda di usia 17 tahun dengan pangkat sersan udara.
Pada Perang Italia-Ethiopia Kedua (1935-1937), Sersan Bruno Mussolini bersama kakaknya bertugas di Skadron Pembom ke-14 “La Disperata”. Bruno beberapakali ikut misi pemboman dengan pesawat pembom Caproni. Ia haus akan petualangan dan terobsesi popularitas.
“Pada 1936 Bruno sudah dianugerahi medali perak untuk keberaniannya di Kampanye Ethiopia. Pada 1937, bersama Letkol Attilo Biseo, ia mengukir rekor terbang yang mengesankan, bertaruh nyawa selama Istres-Damaskus-Paris Air Race, di mana dengan pesawat Savoia-Marchietti, ia keluar sebagai juara ketiga,” lanjut Romano.
Baca juga: Alkisah Jago Udara yang Di-Grounded Gegara Sepakbola
Selepas perang, Bruno mulai mengukuhkan dirinya sebagai jago udara Italia. Sempat beberapa bulan ikut terjun ke Perang Saudara Spanyol, Bruno yang sudah menyandang pangkat letnan mengincar rekor kecepatan udara dengan melakoni sejumlah rekor terbang.
Pada 8 Juli 1937, Bruno memecahkan rekor dengan pesawat pembom Savoia-Marchetti SM79 “Sparviero”. Rutenya melintasi kota Fiumincio-Antignano-Ansedonia dengan kecepatan 423 kilometer per jam. Rekor itu lantas ia pecahkan sendiri lagi pada 21 Juli, juga dengan pesawat yang sama dengan kecepatan 430 km per jam via rute Vesuvius-Santa Marinella-Monte Cavo.
Pada 20-21 Agustus 1937, Bruno bersama Biseo meraih juara ketiga dalam perlombaan Istres-Damaskus-Paris Air Race. Namun yang paling membuat Il Duce bangga adalah misi terbang lintas Atlantik pada 24 Januari 1938 dengan rute Guidonia-Dakar-Rio de Janeiro.
“Pada 24 Januari, Letnan Bruno berangkat dari (lapangan terbang) Guidonia pada pukul 6.45 pagi dengan rute selatan Atlantik. Tiga pesawat Savoia-Marchetti yang berangkat diterbangkan Letnan Mussolini, Kolonel Biseo dan Kapten Mocatelli melaju dengan rekor kecepatan terbang dengan rute melintasi Sahara menuju Brasil dengan satu kali pemberhentian di Dakar,” tulis suratkabar The Advertiser, 25 Januari 1938.
Baca juga: Hermann Goering, Sang Tiran Angkasa Nazi Jerman
Bruno pun pulang dengan hadiah promosi pangkat kapten. Selanjutnya, ia merencanakan misi terbang dengan tujuan Jepang pada September 1939. Tetapi rencana itu digagalkan oleh invasi Jerman ke Polandia yang membuka Perang Dunia II.
Kapten Mussolini pun berpindah-pindah tempat tugas, mulai dari Skadron Stormo Bombardemento Terrestre Grottaglie hingga memimpin Skadron ke-274 yang berbasis di Pangkalan Udara (Lanud) San Giusto, Pisa. Namun karena ayahnya penguasa, Bruno maupun Vittorio acap berlaku seenak perutnya saking populer sebagai putra Mussolini dan pencetak rekor terbang.
“Saat sedang tidak bertugas, Mussolini bersaudara itu sering berfoya-foya siang dan malam. Bersama teman-temannya, mereka sering pesta makan malam ditemani gadis-gadis dan menghabiskan banyak botol sampanye mahal hingga mabuk. Para atasan mereka tak berani memberi hukuman. Satu-satunya pihak yang berani mengadukan skandal itu adalah para pemimpin korps pendeta dan uskup militer yang melaporkannya kepada perwakilan Vatikan,” tulis Margherita Sarfatti, jurnalis cum salah satu selingkuhan Mussolini dalam My Fault: Mussolini As I Knew Him.
Pada 7 Agustus 1941, Kapten Mussolini menjajal purwarupa pesawat Piaggio P.108 “Bombardiere”. Purwarupa pesawat pembom berat bermesin empat itu sudah sempat terbang dengan mulus saat percobaan perdananya pada November 1939. Pesawatnya didesain dengan mengembangkan –sistem terbang, mesin, dan persenjataan yang lebih baik– “saudara tuanya”, pesawat pembom Piaggio P.50.
Baca juga: Cini Berani Kritik Mussolini
Pesawat sepanjang 22,3 meter dan lebar sayap 32 meter itu alutsista anyar dengan 6-7 awak yang mampu mengapung hingga ketinggian 10,5 km. Ditenagai empat mesin 18 silinder Piaggio P.XXI RC38 berpendingin udara, Bombardier mampu melaju dengan kecepatan maksimal 475 km per jam.
Sebagai pembom berat, Bombardiere sanggup mengangkut 3.500 kg bom. Untuk melindungi dirinya, Bombardiere dilengkapi enam senapan mesin Breda-SAFAT kaliber 12,7 mm dan sepasang senapan mesin kaliber 7,7 mm buatan pabrikan serupa.
Ketika menjajal Bombardiere, Kapten Mussolini berangkat dari Lanud San Giusto, Pisa sekira pukul 8.50 pagi dengan ditemani lima awak. Tak diketahui rute penerbangannya. Ia bertindak sebagai kopilot. Meski yang menerbangkannya, Kapten Mussolini anehnya tak mengenakan helm.
Pesawat maupun awak semua dalam kondisi baik selama penerbangan. Menjelang fase pendaratan sekira pukul 10 pagi, pesawat terbang terlalu rendah hingga kemudian mengalami crash landing tak jauh dari Lanud San Giusto. Bombardiere terbelah antara badan dan kokpitnya.
Baca juga: Pesawat Messerschmitt dan Tiga Senjata Jerman yang Mengubah Dunia
Pilot Letnan Francesco Sacconi dan teknisi Angelo Trezzini tewas di tempat. Empat awak lainnya termasuk Kapten Mussolini mengalami luka. Kapten Mussolini mengalami luka paling parah lantaran tak mengenakan helm. Meski kemudian dilarikan ke Rumahsakit Santa Chiara, nyawa Kapten Mussolini tak tertolong.
“(Benito) Mussolini terbang ke Pisa didampingi Kepala Staf AU Italia Jenderal Francesco Pricolo. Sesampainya di Rumahsakit Santa Chiara, ia berdiri begitu lama di samping jenazah putranya. Meratap dan mengenang masa-masa bahagia sejak Bruno menjadi pilot termuda di Italia pada usia 17 tahun. Lalu ia juga sempat mengunjungi lokasi kejadian dengan ditemani istrinya, Donna Rachele, Vittorio, Edda, serta Gina, istri Bruno,” tulis majalah Time, 18 Agustus 1941.
Jenazah Kapten Mussolini lantas dibawa ke Predappio dengan keretaapi khusus. Mendiang lantas dimakamkan di pemakaman keluarga di San Casiano, Predappio, tak jauh dari tempat kelahiran Il Duce. Upacaranya diramaikan barisan berseragam hitam dan para penerbang AU Italia. Benito Mussolini juga menerbitkan buklet Parlo con Bruno yang berisikan kisah-kisah heroisme putranya, kendati tewasnya Kapten Mussolini bukan dalam misi perang.
“Saya berterimakasih kepada para hadirin yang telah berkenan memberikan penghormatan terakhir kepada seorang prajurit Italia,” ujar Il Duce kepada para pelayat.
Baca juga: Membidik Pesawat Panglima Perang Asia Timur Raya
Lepas penguburan, Mussolini memerintahkan dibuat investigasi untuk mencari penyebab kecelakaan putranya. Pasalnya sejumlah rumor berseliweran, beberapa di antaranya menyebutkan bahwa pesawat Kapten Mussolini disabotase. Rumor lain, Kapten Mussolini disebutkan dalam keadaan mabuk ketika menerbangkan pesawatnya.
“Bruno menjadi korban dari kebiasaan buruknya (skandal indispliner dan foya-foya). Pada 7 Agustus 1941 itu, seperti biasanya dalam keadaan mabuk, ia menerbangkan pesawat percobaan untuk melakoni tes terbang. Peringatan dari kru darat yang mencoba mencegahnya juga diabaikan. Ia jatuh dan membunuh dirinya sendiri serta para krunya. Dia bukan tewas dalam peperangan tetapi dianugerahi Medaglia d’Oro per Valore Aeronautica,” imbuh Sarfatti.
Berbeda dari sejumlah rumor, investigasi resmi cenderung menunjuk kesalahan teknis dan kesalahan desain sebagai penyebab kecelakaan itu. “Kecelakaannya disebabkan fungsi pengalih bahan bakar yang tidak laik, di mana jarak antara mesin-mesin dan posisi pilotnya terpisah jauh,” demikian bunyi investigasi.
Baca juga: Satir Penerbang Bengal dalam Catch-22