GEDUNG flat dan pub tiga lantai milik keluarga Dafner di Salzburger Vorstadt 15, kota Braunau am Inn, Austria pada sekira pukul 6 petang 20 April 1889 punya penghuni baru. Di salah satu kamar flat sewaanya, seorang penghuni bernama Klara Pölzl melahirkan Adolf Hitler.
Kelahiran Adolf kecil dirayakan dengan suka cita. Maklum, sejak dua tahun sebelumnya Klara dan suaminya, Alois Hitler Sr., dirundung nestapa bertubi-tubi. Adolf kecil tak pernah mengenal ketiga kakak kandungnya: Otto meninggal beberapa hari setelah lahir pada 1887, Gustav wafat pada 8 Desember 1887, dan Ida mangkat pada 2 Januari 1888 karena difteri.
Adolf kecil merupakan anak keempat dari pernikahan Alois dengan Klara, istri ketiga Alois. Jika ditarik dari garis keturunan ayah, Adolf adalah anak ketujuh Alois yang gemar berselingkuh. Klara, ibunda Adolf, sebelum dinikahi sebagai istri sah kedua merupakan selingkuhan Alois.
Baca juga: Akhir Hidup Si Pemeran Hitler
Silsilah ayah dan ibu kandung Adolf memang ruwet. Alois sang ayah lahir di Strones, Austria pada 7 Juni 1837 dengan nama baptis Alois Schicklgruber. Ia lahir dari rahim seorang perawan tua (usia 42 tahun) asal Döllersheim, Maria Anna Schicklgruber (beberapa sumber menyebut Marianne Schicklgruber dan Maria Schickalgruber).
Maria adalah putri tunggal pasangan petani Katolik taat, Johannes Schicklbgruber, dan Theresia Pfeisinger, perempuan kelahiran Strones, 15 April 1795. Karena ibu Maria sudah tiada sejak 1847, Maria jadi tulang punggung keluarga. Dia mengasuh Alois seorang diri seraya merawat ayahnya yang sudah renta. Tidak ada catatan lain tentang pohon keluarga Johannes maupun Theresia.
“Alois anak di luar ikatan pernikahan resmi. Tentang siapa ayah Alois, tidak ada bukti-bukti konklusif yang dapat menyebut dengan pasti. Marianne pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada keluarga Yahudi, Frankenberger. Terdapat rumor bahwa Alois adalah hasil hubungan gelap Marianne dengan anak majikannya yang baru berusia 19 tahun (Leopold Frankenberger, red),” tulis Agustinus Pambudi dalam Kematian Adolf Hitler.
Ketika Adolf Hitler sudah jadi tiran di Jerman, spekulasi bahwa Adolf punya darah Yahudi pernah dipertanyakan oleh penasihat hukum pribadi Hitler cum Gubernur Jenderal Pendudukan Polandia Hans Frank. Usai menganeksasi negeri kelahirannya pada 1938 pun Hitler memerintahkan satu grup pasukan khusus untuk mencari kebenaran akan rumor tersebut? Akan tetapi arsip yang ditemukan dari pencarian di Austria membantah rumor tersebut.
“Tidak ada (nama) Frankenberger yang tercatat di Graz selama periode (Maria bekerja), tidak pernah ada pula catatan yang mengatakan eksistensi Leopold Frankenberger dan pemukiman Yahudi di (negara bagian) Styria dinyatakan ilegal sejak 400 tahun ke belakang dan tetap belum dinyatakan legal sampai beberapa dekade ke depan setelah kelahiran Alois,” ungkap sejarawan Universitas Vienna Brigitte Hamann dalam Hitler’s Vienna: A Portrait of the Tyrant as a Young Man.
Baca juga: Adik Goering Anti-Nazi dan Penyelamat Yahudi
Ketika Alois berusia lima tahun, ekonomi keluarganya perlahan membaik usai Maria dipersunting saudagar Johann Georg Heidler pada 10 Mei 1842. Alois sendiri diurus pamannya, Nepomuk Hiedler. Alois pun jadi lebih dekat dengan Nepomuk ketimbang dengan Johann yang dianggap sebagai ayah toxic karena sering absen di rumah dan Johann punya sifat pemalas dan foya-foya.
Setelah Alois beranjak dewasa, pada 1876 ia mengubah nama belakangnya di sertifikat kelahirannya dengan mengambil nama keluarga Hiedler. Seiring waktu nama Alois bertransformasi menjadi Hitler.
Beberapa sumber menyebut bahwa Alois sendiri yang memilih varian penyebutan “Hitler” kendati ada sumber lain yang mengungkap bahwa nama Hitler didapat karena alasan teknis.
“Ayah kami adalah anak tidak sah Nona Schikalgruber dan ia membawa nama itu sampai dewasa. Pada 1876 nama belakang ayah kami, ‘Schikalgruber’, diubah secara resmi menjadi ‘Hiedler’. Akan tetapi karena kesalahan administrasi, nama belakangnya tercatat ‘Hitler’,” kenang Paula Hitler (saudari bungsu Adolf Hitler), dikutip sejarawan Universitas Appalachian, J. C. Boone dalam Hitler at the Obersalzberg: With Perceptions.
Baca juga: Empat Upaya Pembunuhan Hitler yang Gagal
Sebelum mengganti namanya, Alois sudah punya anak, dari hasil hubungan di luar nikah dengan Thekla Penz pada 1869. Anak itu bernama Theresia. Itu berarti Theresia terhitung sebagai kakak (satu ayah) tertua bagi Adolf Hitler.
Kehidupan Alois lebih dari kata berkecukupan. Penghasilannya sebagai pegawai bea cukai di perbatasan Austria-Jerman cukup besar. Tiga tahun sebelum pergantian namanya, Alois meminang Anna Glasl-Hörer, anak salah satu atasannya. Bersama perempuan kaya yang 14 tahun lebih tua darinya itu Alois tinggal di rumah sewa di kompleks Wisma Penginapan Pommer, Braunau am Inn.
Tak lama setelah menikahi Anna, Alois main serong dengan Franiska ‘Fanni’ Matzelsberger, gadis pelayan berusia 19 tahun di Wisma Pommer. Pada 1882 atau setahun sebelum Anna wafat, Fanni melahirkan anak hasil hubungan gelapnya dengan Alois. Anak itu dinamai Alois Matzelsberger.
Sebulan pasca-kematian Anna, Alois resmi mempersunting Fanni sebagai istri kedua. Anaknya, Alois Matzelsberger, secara sah menyandang nama ayahnya, Alois Hitler Jr. Setahun berselang, anak kedua Alois Sr.-Fanni lahir dan diberi nama Angela Hitler. Kelak, Angela melahirkan Geli Raubal yang justru dipacari Adolf Hitler ketika pria berkumis itu mulai mendaki karier politik.
Baca juga: Perempuan-Perempuan dalam Pelukan Hitler
Belum juga puas dengan Fanni, Alois Sr. punya selingkuhan lagi. Namanya Klara Pölzl. Alois Sr. mengenal Klara pada 1876 ketika Klara jadi pekerja domestik di rumah tangga Alois Sr. dengan istri pertamanya, Anna. Keberadaan Klara makin menambah sengkarut dalam pohon keluarga Adolf karena Klara merupakan cucu Nepomuk, paman Alois Sr.
Klara lahir pada 12 Agustus 1860 di Spital, Austria dari ayah bernama Johann Baptist Pölzl dan ibu Johanna Hiedler. Johanna adalah putri kedua pasangan Nepomuk Hiedler dan Eva Maria Decker. Artinya, Klara adalah sepupu tiri Alois Sr. Klara akhirnya dipersunting Alois Sr. secara resmi pada 1885.
Usai kedukaan berturut-turut yang menimpa tiga anak pertama hasil hubungannya dengan Klara, Alois Sr. bisa sedikit menghapus pedih dengan kelahiran Adolf.
Keluarga Toxic
Meski Alois Sr. terbilang kepala keluarga yang baik dalam mencari nafkah, toxic parenting ayah tirinya, Johann Hiedler, menurun pada Alois Sr. Ia seorang yang kasar kepada istri dan anak-anaknya.
“Sebagai pegawai pemerintah (bea cukai), ayah saya cukup memberi nafkah dengan pendapatan yang solid tapi keluarga kami jauh dari kata harmonis dan bahagia. Ayah seorang yang angkuh, keras soal kedisiplinan waktu, sama sekali bukan sosok humoris, temperamennya buruk. Ia lebih sering minum bir dan merokok lepas bekerja ketimbang membesarkan anak-anaknya. Ia terlihat lebih bahagia di luar rumah,” imbuh Paula.
Alhasil, Adolf dan Paula lebih dekat pada ibunya. Terlebih Adolf kecil sering sakit-sakitan dan pemalu saat bergaul dengan sebayanya. Jiwa pemberontaknya sudah tumbuh sejak kecil akibat hampir saban hari ia dihardik, bahkan dipukuli oleh ayahnya.
“Sejak kecil pembawaannya (Adolf) mau menang sendiri, tidak mau menerima kritik orang lain. Di sekolah ia tergolong malas dan tidak suka diatur. Saat main perang-perangan, sudah tampak kepiawaiannya memimpin, mengancam, dan memaksa,” sambung Agustinus.
Baca juga: Berebut Takhta Hitler
Ketika Alois Sr. mengajak keluarganya pindah ke Passau di Bavaria, Jerman, kebiasaannya minum-minum dan sikap kerasnya terhadap anak-anaknya tak pernah hilang. Terlebih ketika Adolf menolak tuntutan ayahnya untuk lebih rajin di sekolah agar bisa meneruskan jejaknya jadi pegawai pemerintah.
“(Adolf) Hitler hampir setiap hari dipukuli ayahnya. Kebiasaan ayahnya yang mabuk-mabukan membuat hubungan ayah-anak itu bertambah buruk. Saat Adolf menyatakan ingin mengejar jalan hidup sebagai seniman, ayahnya yang lebih ingin putranya jadi pegawai, bereaksi seperti biasa, memukuli putranya,” tulis James Wilson dalam Hitler’s Alpine Headquarters.
Baca juga: Hitler Seniman Medioker
Adolf baru bisa bebas mengekspresikan minatnya pada seni setelah ayahnya tiada pada 1903. Tak peduli sekolahnya terbengkalai, Adolf membulatkan tekad untuk jadi seniman dengan belajar di Wina, Austria ketimbang jadi aparatur sipil negara di Jerman.
“Hitler tidak pernah berprestasi dalam pelajaran. Satu-satunya kepandaiannya hanya menggambar. Sedangkan kesenangannya adalah membaca buku-buku dan majalah bergambar. Adolf keluar dari sekolah pada umur 16 tahun. Ia berkeinginan jadi seniman. Ibunda Adolf memang tak berharap banyak mengenai keberhasilan akademik putranya. Menjadi seniman satu-satunya peluang yang realistis,” lanjut Agustinus.
Wina menjadi “pelabuhan” Hitler mewujudkan ambisinya jadi seniman. Ia menekuni bidang seni lukis, arsitektur, dan seni musik di sana.
“Di Wina juga Hitler mulai terekspos retorika-terorika rasisme. Tokoh seperti Walikota Wina, Karl Lueger, pun cenderung mendukung paham antisemit dan nasionalisme. Paham-paham itu tersebar luas sampai ke Distrik Mariahilf, di mana Hitler tinggal,” tambah Hamann.
Baca juga: Ketika Mimpi Hitler Tak Terwujud
Kegemaran lamanya membaca majalah-majalah bergambar beralih ke bacaan-bacaan politis. Hitler menjadi pembaca setia suratkabar Deutsches Volksblatt yang cenderung rasis terhadap orang-orang Yahudi, dan buku-buku karya Charles Darwin, Friedrich Nietzsche, Gustave Le Bon, hingga Arthur Schopenhauer.
“Setelah kakak saya pergi ke Wina, saya jarang mendengar kabarnya, kecuali sekadar dari surat-suratnya. Saya juga menyadari bahwa antisemitisme mulai menjalar secara kuat di sana. Adolf juga mulai mencintai buku. Dari waktu ke waktu dalam suratnya, ia selalu merekomendasikan banyak buku kepada saya,” lanjut Paula.
Hitler yang merupakan veteran Perang Dunia I berpangkat kopral mulai masuk ke politik. Klimaksnya, ia menjadi kanselir Jerman pada 30 Januari 1933. Sosok yang tumbuh di lingkungan keluarga toxic itu lantas jadi dalang perang terdahsyat di abad ke-20 yang menumbalkan puluhan juta nyawa. Hitler akhirnya bunuh diri di bunkernya di Berlin pada 30 April 1945.
“Nasib kakak saya sangat memengaruhi diri saya. Apapun yang terjadi, ia tetap kakak saya. Kematiannya menimbulkan duka yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata bagi saya, sebagai adiknya,” tandas Paula.
Baca juga: Konflik Keluarga dalam Perang Dunia