Perempuan-Perempuan dalam Pelukan Hitler
Hitler akhirnya menikahi Eva Braun. Eva bukan satu-satunya perempuan dalam kehidupannya.
RUANGAN sedalam 30 kaki di bawah tanah Gedung Kekanseliran Jerman itu begitu muram. Tak ada hiasan meriah, tiada jam dinding, tamu-tamu kehormatan, apalagi katering mewah. Situasi di Führerbunker itu sunyi meski mirip neraka di luarnya karena Pertempuran Berlin (16 April-2 Mei 1945) tengah berkecamuk.
Entah tanggal 28 April malam atau 29 April dini hari, Adolf Hitler dan Eva Braun menanti dengan sabar kedatangan seseorang pejabat yang bakal mempersatukan mereka secara resmi. Hitler berbusana jas formal seperti biasanya, sementara Eva mengenakan gaun taffeta sutera hitam yang membuatnya tetap anggun. Sebagai saksi, hadir Menteri Propaganda Joseph Goebbels dan Ketua Partai Nazi Martin Bormann.
Orang yang dinanti, Walter Wagner, akhirnya hadir juga. Ia mesti melalui perjalanan mengerikan untuk mencapai Führerbunker. Bombardir tentara Uni Soviet kian hari kian merangsek ke Führerbunker. Wagner seorang pengacara yang juga kader Partai Nazi yang bekerja di kantor Kementerian Propaganda merangkap pejabat catatan sipil di pemerintah kota (pemkot) Berlin.
Mengutip sejarawan Ian Sayer dan Douglas Botting dalam Hitler and Women: The Love Life of Adolf Hitler, kebetulan Wagner satu-satunya orang yang bisa ditemukan di lingkungan pemkot Berlin. Ia dicari satu grup pasukan pengawal Hitler atas perintah Goebbels, yang mengatur pernikahan itu sebagai bentuk loyalitasnya kepada Hitler.
Baca juga: Anggar untuk Hitler
Saat sudah duduk di seberang meja kecil berhadapan dengan Hitler dan Eva, Wagner menjalankan tugasnya sebagai pemimpin upacara sekaligus pejabat pencatatan pernikahan. Setelah dengan singkat memeriksa dokumen keabsahan sejoli sebagai ras Arya murni, Wagner menuntun keduanya memasuki saat yang dinanti, sumpah setia sepasang pengantin.
Hitler menjawab “ya” atas pertanyaan pertanyaan Wagner apakah ia bersedia menjadi pasangan Eva dalam suka dan duka serta dalam kehidupan hingga maut menjemput.
“’Sekarang saya bertanya pada Anda, Nona Braun, apakah Anda bersedia memasuki pernikahan dengan mein Führer, Adolf Hitler?’ Wanita berusia 33 tahun itu tanpa ragu pula menjawab ‘ya.’ Momen paling dinantikan Eva Braun itu terjawab dengan hadiah cincin pernikahan yang dengan senang hati ia masukkan ke jarinya meski cincinnya kebesaran,” tulis Guido Knopp dalam Hitler’s Women.
Hitler dan Eva tak bisa membuat resepsi mengingat situasi mencekam di luar bungker. Sebagai bentuk “syukuran”, keduanya hanya menjamu sarapan sejumlah orang-orang terdekat di bunker itu. Kurang dari 40 jam hidup sebagai suami-istri, tepatnya pada 30 April 1945, Hitler membawa serta Eva menemui ajalnya dengan bunuh diri.
Pernikahan itu menutup rumor tentang orientasi seksual sang diktator Jerman Nazi itu apakah ia sosok yang straight atau seorang homoseksual. Soal homoseksual, saking bencinya, Hitler sampai mengirim lima hingga 15 ribu gay ke kamp-kamp konsentrasi. Bahkan salah satu kolega pendiri Partai Nazi, Ernst Röhm, turut dieksekusi pada aksi pembersihan Nacht der langen Messer atau “Malam Pedang Panjang” (30 Juni-2 Juli 1934).
“Homoseksualitas adalah wabah yang menular dan berbahaya,” cetus Hitler dikutip Richard J. Evans dalam The Third Reich in Power.
Eva tentu bukan satu-satunya perempuan yang jatuh ke pelukan Hitler. Ada “barisan” perempuan lain yang dekat dengan sang fuhrer, semisal Stefanie Isak. Gadis berdarah Yahudi asal Austria ini disebut-sebut jadi cinta pertama Hitler saat ia masih remaja. Ada pula Charlotte Lobjoie, yang mengklaim melahirkan putra keturunan Hitler, Jean-Marie Loret. Ada lagi Erna Hanfstaegl, kakak dari pengusaha yang dekat dengan Hitler, Ernst Hanfstaengl.
Ernst pernah mencoba mencomblangi Hitler dengan Martha Dodd, putri dari William Edward Dodd, duta besar AS untuk Jerman periode 1933-1937, dan Unity Freeman-Mitford, gadis asal Inggris bersimpati pada Fasisme dan Naziisme. Di awal kekuasaan Hitler, Unity dikenalkan pada Hitler lewat Magda Goebbels, istri Joseph Goebbels.
Baca juga: Hitler Seniman Medioker
Lalu, ada Leni Riefenstahl. Sineas muda jelita Jerman ini berusaha dekat dengan Hitler namun ditolak oleh sang diktator. Hitler saat itu belum tertarik terlibat hubungan intim dengan perempuan. Hatinya masih untuk dunia politik.
“Ketika perempuan Jerman atau perempuan asing yang pro-Nazi, seperti Unity Mitford misalnya, berkunjung dan bertemu Hitler, justru yang terjadi adalah Hitler menguliahi mereka tentang politik,” ungkap John Gunther dalam Inside Europe.
Namun, ada dua perempuan yang pernah menjadi pacar Hitler. Sebelum Eva yang menjadi cinta-mati Hitlar, ada Geli Raubal.
Geli Raubal
Angela Maria “Geli” Raubal tak lain adalah keponakan tiri Hitler. Gadis kelahiran Linz, Austria pada 4 Juni 1908 itu merupakan putri Leo Raubal dan Angela Hitler. Angela merupakan anak kedua Alois Hitler Sr. dari istri keduanya, Franziska Matzelsberger. Usia antara Hitler dan Geli terpaut 19 tahun. Geli mulai dekat dengan Hitler sejak 1925 ketika ibunya, Angela, dipekerjakan Hitler sebagai pengurus rumah tangga di kediaman Hitler di Berghof.
“Geli seorang gadis yang sangat menarik hati Hitler dengan rambut pirang dan kepribadian yang sangat ceria. Geli juga salah satu dari perempuan pertama yang bergelar akademik di Akademishes Gymnasium, Linz, pada Juni 1927. Tiga tahun sebelumnya (1924) ketika ia dan kakaknya mengunjungi sang paman di penjara Landsberg, di situlah pertamakali mereka bertemu, dan bahkan pertamakali pula Hitler mencium Geli,” sebut Volker Ullrich dalam Hitler: Ascent, 1889-1939.
Hitler lalu turut mengajak Geli pindah dari Linz ke Munich untuk tinggal bersama di apartemen mewahnya di Prinzregentenplatz 16. Tetapi romantisme Geli dengan Paman Dolf, panggilan Geli untuk Hitler, tak berumur panjang. Cekcok sering terjadi di antara mereka sejak medio 1930. Hitler curiga Geli ada “main” dengan sopirnya, Emil Maurice.
Buntutnya, Hitler memecat Emil dan juga tak lagi memberi Geli kebebasan bergaul. Geli disekap di kamarnya yang terkunci dari luar. Hanya Hitler yang boleh masuk ke kamarnya. Lama-kelamaan, Geli pun jengah tak lagi tahan jadi “burung dalam sangkar”.
“Pada 17 September 1931, para tetangganya mendengar cekcok antara Hitler dan Geli. Pertengkaran itu terkait keberatan Hitler akan keinginan Geli pulang ke Wina. Geli disebutkan teriak kepada Hitler dari kaca jendela saat ia hendak pergi menuju mobilnya. ‘Jadi kamu tak mengizinkan saya pergi ke Wina?’, di mana Hitler menjawab dengan marahnya: ‘Tidak!’” ungkap Frank McDonough dalam Hitler and the Rise of the Nazi Party.
Itu jadi pertemuan terakhir Hitler dengan Geli. Pada 18 September, Geli ditemukan tergolek tak bernyawa. Hingga kini masih jadi misteri apakah ia dibunuh, bunuh diri atau tak sengaja memicu pelatuk pistol ketika memainkannya dalam amarah akibat pertengkarannya. Hitler yang di tanggal itu sedang berperjalanan ke Nürnberg, dilaporkan langsung hancur hatinya.
Eva Braun
Berambut pirang dan berwajah cantik khas Bavaria adalah salah satu daya tarik Eva Anna Paula Braun yang bikin Hitler kepincut. Eva lahir pada 6 Februari 1912 sebagai anak kedua dari Friedrich Braun dan Franziska Kronberger.
Eva pertamakali bertemu Hitler ketika sudah menginjak usia 23 tahun. Eva saat itu jadi asisten fotografer resmi Partai Nazi Heinrich Hoffmann. Pertemuan itu terjadi di studio foto milik Hoffmann di Munich pada Oktober 1929.
“Eva menceritakan pertemuan hari itu pada kakaknya, Gretl. ‘Bosku datang bersama seorang pria dengan kumis yang lucu dan jas hujan berwarna terang. Aku melirik dengan sudut mata tanpa menolehkan kepala dan mengetahui bahwa dia tertegun menatap kakiku’,” sambung Knopp lagi.
Perlahan tapi pasti, benih-benih cinta di dada Hitler kepada Eva timbul meski saat itu Hitler masih memiliki Geli Raubal. Hubungan asmara Hitler-Eva baru benar-benar kentara pada 1932 atau setahun setelah Hitler move on pasca-kematian Geli.
Baca juga: Jojo Rabbit, Satir Pemuda Hitler
Setelah Bormann memastikan latarbelakang Eva sebagai ras Arya murni, Hitler bersedia menjadikannya pendamping terakhirnya meski tak kunjung mengikatnya dengan tali pernikahan. Bagi Hitler yang baru naik takhta pada 1933, pernikahan justru akan mendegradasi reputasinya. Ia butuh pendamping yang tak lain sekadar untuk dijadikan “boneka”.
“Hitler pernah berkata pada arsiteknya, Albert Speer: ‘Seorang pria yang cerdas mestilah memilih pendamping yang sederhana dan bodoh. Bayangkan jika saya punya pendamping yang mencampuri pekerjaan saya! Di waktu senggang saya ingin kedamaian dan ketenangan…saya takkan pernah menikah!’” dikutip Knopp.
Tetapi, Hitler akhirnya menelan ludahnya sendiri. Ketika ia tak lagi merasa bisa mempertahankan Jerman-Nazi, ia memilih meresmikan Eva menjadi istri sahnya. Sebagai pendamping terakhir, Eva bersedia mengikuti suaminya ke alam baka dengan menelan pil sianida.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar