Masuk Daftar
My Getplus

Rossoblù Jawara dari Masa Lalu

Bologna pernah nyaris bangkrut dan melulu berkutat jadi tim semenjana. Padahal di masa lalu acap jadi langganan juara.

Oleh: Randy Wirayudha | 08 Apr 2024
Skuad Bologna FC 1909 yang seolah bangkit dari kubur (bolognafc.it)

SEPAKBOLA di Eropa tak pernah kehabisan kejutan. Musim ini, giliran tim-tim yang dianggap “gurem” dan ditangani pelatih-pelatih muda bikin kejutan. Jika di La Liga Spanyol ada Girona FC yang ditukangi Míchel Sánchez (48) dan di Bundesliga Jerman ada Bayer Leverkusen yang dibesut Xabi Alonso (42), di Serie A Italia ada Bologna FC 1909 yang diasuh Thiago Motta (41).

Inovasi dan konsistensi jadi kunci Motta membawa Bologna untuk tak lagi dianggap klub semenjana. Pada Serie A musim lalu, I Rossoblù (julukan Bologna) finis di urutan kesembilan. Kini menjelang musim 2023-2024 berakhir dengan menyisakan tujuh laga pamungkas, Bologna tak hanya berpeluang merebut jatah tiket Champions League dengan finis di urutan keempat tapi juga masih punya kans untuk melonjak bahkan ke posisi runner-up.

Saat tulisan ini dimuat, Bologna masih kokoh di urutan keempat klasemen dengan 58 poin pada giornata ke-31. Ia selisih tiga angka dari AS Roma di urutan kelima. Mengingat konsistensi Bologna, termasuk ketika berhadapan dengan tim-tim raksasa, bukan hal yang mustahil Motta bisa membawa kesuksesan lebih musim ini butat tim jawara dari masa lalu itu.

Advertising
Advertising

“Mari memulainya dengan fakta di mana kita bicara tentang Roma. Tidak ada yang membayangkan situasi ini sejak awal musim. Kami bermain dengan performa positif dan kami pantas untuk menang. Tapi alangkah baiknya untuk tidak melulu fokus melihat klasemen,” ujar Motta kepada TuttoMercatoWeb, Minggu (7/4/2024).

Baca juga: Momentum Bayer Leverkusen

Konsistensi menjadi salah satu kunci keberhasilan Bologna meski tak satupun pemain bintang menghiasi skuadnya. Konsistensi dimaksud meliputi dalam disiplin pertahanan agar tak memberikan tim lawan hadian penalti, konsisten dalam serangan ofensif yang tajam, dan konsistensi passing yang akurat.

Bukti paling nyata terlihat saat Bologna menang di enam pekan berturut-turut sejak 3 Februari-3 Maret 2024. Itu belum termasuk beberapa kali sukses jadi batu sandungan tim-tim besar: menahan imbang Juventus (1-1) pada 27 Agustus 2023, Inter Milan (2-2) pada 7 Oktober 2023, dan AC Milan (2-2) pada 27 Januari 2024.

Thiago Motta Santon Olivares yang membawa perubahan di Bologna (bolognafc.it)

Kunci sukses lainnya adalah inovasi Motta dengan meracik formasi 2-7-2. Strategi ini sebenarnya biasa, seperti formasi 4-2-3-1 atau 4-1-4-1 namun berbeda cara pandang posisi pemain. Eks-gelandang Barcelona, Inter Milan, dan Paris Saint-Germain (PSG) itu punya cara pandang berbeda yang sedikit rumit dan ekstrem dengan istilah formasi 2-7-2 racikannya karena baginya, kiper dianggap sebagai gelandang dan penyerang bisa dianggap sebagai bek. Motta melihat formasinya dari sudut pandang vertikal, bukan horizontal seperti pelatih lain pada umumnya.

“Sejak awal musim kita sudah membicarakan Bologna karena mereka tim yang begitu menarik dan kita selalu melihat potensi mereka. Motta selalu mampu mengidentifikasi setiap pemainnya yang ia butuhkan. Ia selalu percaya diri dan ingin para pemainnya fokus pada permainan individu namun dengan sudut pandang yang lebih luas dalam hal kolektivitas tim,” terang jurnalis Forbes Sport, David Ferrini, dilansir One Football, 29 Maret 2024.

Maka, Motta bak jadi pawang bagi harimau yang lama tertidur. Bologna punya prospek cerah untuk bangkit dan kembali mengukir reputasinya sebagaimana di era 1920-an. Di era itu, Bologna langganan juara pentas tertinggi di Italia. Menariknya,  saat itu juga dibesut pelatih muda asal Austria, Hermann Felsner alias Ermanno Fellsner.

Baca juga: Geger PSG

Pendiri Serie A yang Langganan Juara

Sepakbola sudah merambah kawasan Emilia-Romagna di Italia utara, utamanya kota Bologna, sejak akhir abad ke-19. Namun berkat prakarsa Emilio Arnstein-lah kota itu akhirnya punya klub resmi yang dibanggakan.

Bersama seorang saudaranya, Arnstein yang berasal dari keluarga Yahudi terpelajar asal Austria, membawa pengaruh sepakbolanya ke Bologna saat datang dari Trieste pada 1908. Sebelumnya, pada 1906 ia juga menginisiasi berdirinya klub sepakbola yang teroganisir di Trieste, Black Star FC.

“Walaupun faktanya klub sempat kesulitan merekonstruksi fakta-fakta (sejarah) secara mendetail karena hampir semua dokumentasinya hilang. Terlepas dari itu ingatan akan para pendirinya masih eksis. Salah satunya tentang Emilio Arnstein asal Austria yang jatuh cinta pada sepakbola selama ia studi pendidikan tinggi di Praha dan Wina,” kata buku Il Mezzo Secolo del Bologna, 1909-1959 yang dirilis klub pada 1959.

Buku yang merupakan catatan kolektif ingatan para mantan pendiri dan arsip-arsip yang tersisa tentang 50 tahun berdirinya klub itu juga mengisahkan bagaimana Arnstein memprakarsai berdirinya Bologna FC pada 3 Oktober 1909. Prakarsanya diwujudkannya setelah mendapat dukungan tokoh lain, seperti Carlo Sandoni, Louis Rauch, Guido Dela Valle, Enrico Penaglia, Sergio Lampronti, dan Leone Vincenzi. Saat disepakati berdirinya klub pada tanggal itu di rumah minum bir Ronzani, Rauch didapuk menjadi presiden pertamanya dan Arnstein sekadar jadi anggota dewan penasihat.

Baca juga: Klub Antah Berantah Como 1907

Para pendiri dan skuad pertama Bologna pada 1909 (bolognafc.it)

Setelah klub berdiri dan jajaran petingginya sudah berbagi posisi, urusan mencari pemain jadi langkah pertama yang paling vital. Arnstein pula yang punya peran menonjol saat mencari para pemuda lokal yang “gila” bola. Ia menemukannya di Lapangan Prati di alun-alun Piazza d’Armi, Caprara. Di sana, banyak pelajar acap menggelar permainan sepakbola.

Rauch dan Arnstein pun mengajak mereka untuk jadi pemainnya. Di antara mereka yang membentuk skuad pertama Bologna adalah Gradi bersaudara, Rauch sang presiden klub yang ikut merangkap sebagai pemain, dan Antonio Bernabéu yang tak lain adalah kakak dari legenda Real Madrid yang kelak namanya diabadikan menjadi nama stadion, Santiago Bernabéu.

“Antonio dan adiknya (Santiago) berpisah setelah ibunya wafat pada 1909. Santiago tetap di Spanyol dan bergabung ke tim muda Real Madrid. Antonio pindah ke Bologna untuk melanjutkan studi di Collegio di Spagna (kampus untuk mahasiswa Spanyol, red.). Saat studi inilah ceritanya mulai jelas, di mana Antonio kemudian ikut bermain dengan seragam rossoblù (merah-biru),” tulis Giuliano Musi dkk. dalam 100 Storie per 100 Anni.

Mulai Maret 1910, Bologna pun memulai petualangannya di kompetisi lokal, Group Veneto-Emiliano, lalu promosi ke Lega Nord atau liga lokal Italia Utara dan Prima Divisione yang mempertemukan para tim mapan Lega Nord dan Lega Sud. Pasca-Perang Dunia I, Bologna jadi tim yang cukup disegani di Prima Divisione dengan raihan gelar liga pertamanya pada musim 1924-1925.

Baca juga: Di Balik Derby della Madonnina

Bologna di era 1930-an yang menjadi masa-masa kejayaannya (bolognafc.it)

Sukses Bologna itu berkat tangan dingin Felsner di kursi kepelatihan. Ia datang dari Austria dan mulai melatih Bologna saat baru berusia 31 tahun (lahir 1 April 1889). Hingga kini, ia dicatat dalam sejarah klub sebagai legenda yang mengantarkan gelar demi gelar ke lemari trofi klub: enam scudetto (titel Serie A) 1928-1929, 1935-1936, 1936-1937, 1938-1939, dan 1940-1941, satu trofi Coppa Italia 1937, serta dua gelar Mitropa Cup 1932 dan 1934. Di era itu pula Bologna jadi satu dari sekian klub yang ikut mendirikan format Serie A Italia pada 1928.

“Felsner mengantarkan Bologna kepada nyaris semua kesuksesan, termasuk scudetto (titel Serie A) pertama klub. Metodenya tergolong inovatif untuk masanya. Para pemain dilatih metode-metode dasar (kontrol melatih bola di dinding, sensitivitas kaki saat dribble). Sebagai eks-guru dan instruktur olahraga, Felsner juga paham pentingnya latihan fisik dan pionir dalam hal menghadirkan staf fisioterapis untuk memijat pemain. Ia juga melatih mindset profesionalisme pemain bahwa sepakbola adalah pekerjaan utama, bukan lagi sampingan,” terang Luca Baccolini dalam Breve Storia di Bologna.

Namun, pasca-Perang Dunia II prestasi Bologna perlahan mulai menurun. Terkecuali kemenangan scudetto pada musim 1963-1964 dan juara Coppa Italia pada 1969-1970, 1973 dan 1974, Bologna justru kemudian terpuruk dan acap bolak-balik di kasta Serie C1 dan Serie B pada 1980-an hingga 1990-an.

Alasannya, banyak para pemain andalannya dibajak banyak klub mapan. Padahal di era 1990-an dan 2000-an Bologna juga banyak mengirim pemainnya ke skuad timnas Italia. Di antaranya Roberto Baggio, Roberto Mancini, Giuseppe ‘Beppe’ Signori, dan Gianluca Pagliuca. Bahkan pada 2010 Bologna nyaris gulung tikar di ujung kebangkrutan. Bologna baru bisa kembali mencicipi pentas Serie A pada 2015 setelah ditopang konsorsium pemilik baru, BFC 1909 Lux Spv S.A.

Baca juga: Klub yang Bangkit dari Kubur

Searah jarum jam: Roberto Mancini, Roberto Baggio, Giuseppe 'Beppe' Signori, dan Gianluca Pagliuca (bolognafc.it)

TAG

italia sepakbola

ARTIKEL TERKAIT

Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Geliat Tim Naga di Panggung Sepakbola Mula Bahrain Mengenal Sepakbola Enam Momen Pemain jadi Kiper Dadakan Memori Manis Johan Neeskens Kenapa Australia Menyebutnya Soccer ketimbang Football? Kakak dan Adik Beda Timnas di Sepakbola Dunia