Masuk Daftar
My Getplus

Bangkit dari Kubur

Dua kali jatuh, Parma kembali bangkit. Tak pernah menyerah untuk menggapai kejayaan.

Oleh: Randy Wirayudha | 28 Nov 2018
Parma melonjak ke posisi enam di pekan ke-13 Serie A 2018-2019, mengangkat asa nostalgia masa jaya era 1990-an (Foto: parmacalcio1913.com)

INI bukan tajuk film horor. Ini lembaran perjuangan sebuah klub sepakbola asal Italia yang pernah jaya sampai pentas Eropa lantas terjun ke jurang kebangkrutan dan kini dengan kucuran air mata, darah, dan peluh berusaha bangkit dari kuburnya, yakni Parma Calcio 1913.

Kebangkitan Parma jelas membahagiakan Rengga Aven Januadi, wakil ketua Parmagiani Indonesia, komunitas fans Parma di Indonesia, dan para fans Parma lain. Dengan kembalinya Parma ke papan atas Serie A, ada asa besar dari para anggota Parmagiani Indonesia melihat klub yang mereka cintai bisa kembali mentas di Eropa.

“Harapan dan target awal kalau bisa bertahan dan lolos dari degradasi. Tapi kalau permainan bisa terus konsisten seperti ini, tidak mustahil Parma bisa kembali berjaya untuk dua atau tiga tahun ke depan. Kalau boleh saya prediksi untuk musim ini akan tetap di 10 besar,” ujar Rengga kepada Historia.

Advertising
Advertising

Jatuh-Bangun Parma

Bagi penggila bola zaman now, nama Parma mungkin terdengar asing. Maklum, klub yang berbasis di Kota Parma itu lama absen dari Serie A. Padahal, Parma merupakan klub yang melahirkan banyak bintang legendaris Italia macam Gianluigi Buffon, Fabio Cannavaro, atau Gianfranco Zola. Dalam ulasannya bertajuk “The Rise, Fall and Rise Again of Parma” yang dimuat Football-Italia, 3 November 2018, Anthony Barbagallo menyebut Parma sebagai tim tersukses Italia keempat di Eropa setelah AC Milan, Inter Milan, dan Juventus.

Baca juga: Buffon diusir wasit di ujung kariernya bersama Juventus

Sebagai sebuah klub, Parma berembrio dari Verdi Football Club yang lahir pada Juli 1913. Situs resmi klub menyebutkan, Verdi FC didirikan untuk memperingati satu abad kelahiran komposer kenamaan asal Parma, Giuseppe Verdi. Pada 16 Desember 1913, klub berganti kepemilikan dan berganti nama menjadi Parma Football Club.

Nama lengkap klub berubah-ubah seiring pergantian pemilik, mulai dari Parma AS (Associazione Sportiva), AC (Associazione Calcio) Parmense, Parma AC (Associazione Calcio), Parma FC S.p.A., dan terakhir Parma Calcio 1913 S.r.l sampai sekarang.

Sejak pertamakali promosi ke Serie A pada musim 1990-1991, Parma sulit menyandingkan diri dengan sejumlah klub besar macam Inter Milan, AC Milan, Juventus, atawa AS Roma di panggung domestik. Paling banter tiga kali menang Coppa Italia (1991-1992, 1998-1999, 2001-2002), satu Supercoppa Italiana (1999), dan sekali jadi runner-up Serie A (1996-1997).

Tapi, Parma punya gigi di pentas Eropa. Klub asal region Emilia-Romagna itu punya capaian juara Piala Winners (1992-1993), dua Piala UEFA (kini Europa League) 1998-1999, dan satu Piala Super Eropa (1993).

Masa-masa indah itu harus berakhir pada 2004. Parma bangkrut setelah Parmalat SpA –perusahaan produsen susu, jus, dan saus pasta pimpinan Calisto Tanzi– selaku pemilik 98 persen sahamnya terbelit skandal finansial –dikenal sebagai Skandal Parmalat– sejak bangkrut pada Desember 2003. Kendati begitu, Parma masih mampu tampil apik dan finis di urutan kelima Serie A musim 2003-2004.

Bangkrut sejak April 2004, Parma berjalan tertatih-tatih. “Klub kembali dibangun tanpa pemilik selama hampir tiga tahun untuk mempertahankan posisi mereka di Serie A sampai musim semi 2008,” ujar Leonard Jägerskiöld Nilsson dalam World Football Club Crests.

Baru pada 2007 Parma diambilalih pengusaha Tommaso Ghirardi namun kehilangan tempatnya di Serie A setelah degradasi pada akhir musim 2014-2015. Selain degradasi, Parma bangkrut lagi dengan utang 218 juta euro, termasuk utang gaji pemain dan staf sebesar 63 juta euro.

“Kebangkrutan Parma murni karena dari pihak klub kurang pintar mengelola, terutama pada kebangkrutan kedua karena klub terlalu banyak meminjamkan pemain ke klub lain sehingga tidak dapat membayar pajak dari pemain itu sendiri. Akhirnya berakibat kebangkrutan. Parma sampai harus turun ke Serie D,” ujar Rengga.

Parma harus memulai lagi dari kasta terendah, Serie D, di musim 2015-2016 berdasarkan Statuta FIGC (induk sepakbola Italia) Pasal 52 NOIF (Norme Organizzative Interne della FIGC). Perjuangan makin berat lantaran mayoritas pemainnya pilih hengkang.

Namun, kapten Alessandro Lucarelli, satu-satunya pemain lama yang tersisa, berhasil “membimbing” rekan-rekannya untuk terus menjalankan roda perjuangan Parma. Dia berhasil. Dari Serie D, Parma promosi ke Serie C pada musim 2016-2017. Setahun berikutnya Parma kembali promosi ke Serie B. Pada musim 2018-2019, tim berjuluk Ducali itu comeback ke Serie A. Di giornata (pekan pertandingan) ke-13, Minggu (25/11/2018), berbekal kemenangan 2-1 atas Sassuolo di kandang sendiri, Stadio Ennio Tardini, Parma nangkring di urutan keenam alias jatah terakhir zona Eropa (Europa League).

Atas loyalitas dan jasa besar Lucarelli, klub memberi penghormatan padanya dengan memensiunkan nomor punggung 6 –nomor punggung Lucarelli– ketika sang bintang pensiun 27 Mei 2018 lalu. “Lucarelli sosok pemimpin, kapten yang sesungguhnya di dunia nyata. Belum ada yang seloyal dia. Bermain tanpa digaji dan bersedia main di divisi terbawah hanya untuk membawa Parma kembali ke habitat aslinya, Serie A,” sambung Rengga.

Kesetiaan Parmagiani

Dinamika Parma dengan prestasinya yang yahud, terutama di kancah Eropa, menarik banyak orang untuk menggemarinya. Tak hanya di Benua Biru, tapi juga sampai ke Indonesia.

Pada 12 Juli 2009, beberapa fans Parma membentuk Parmagiani Indonesia, yang kini punya lebih dari 400 anggota resmi. “Para founder: Ivan, Gama, Adit, Kamsis, sepakat membentuk komunitas dan menjaring para anggota lewat media sosial Facebook. Maka muncullah grup Facebook Parmagiani Indonesia. Nama Parmagiani diambil dari kata ‘Parmigiano’, artinya warga Kota Parma. Kita modifikasi jadi Parmagiani,” jelas Rengga.

Rengga kemudian bergabung ke dalamnya di tahun yang sama. “Saya sudah suka dengan Parma sejak 1998. Mungkin bisa dibilang pas era kejayaan Parma sebelum pabrik susu Parmalat (pemilik Parma) bangkrut. Di mana Parma  diperkuat banyak pemain bintang seperti Buffon, Cannavaro, (Lilian) Thuram, Juan Verón, sampai duet (Enrico) Chiesa-(Hernán) Crespo,” ujar Rengga.

Para fans Parma tentu merasa down kala Parma terlempar ke Serie D dan harus berjuang ekstra untuk kembali ke Serie A. Tapi sebagaimana Lucarelli, mereka tetap setia. “Loyalitas kami tak pernah luntur. Kami tak pernah melewatkan laga-laga Parma via live streaming dari Serie D, lalu naik ke kasta Serie C, lalu naik kasta Serie B dan sampai sekarang penantian kami berbuah hasil karena Parma naik kasta tertinggi Serie A. Magnificent Seven (Milan, Inter, Juventus, Fiorentina, Lazio, AS Roma, Parma) era 90-an is back,” kata Rengga.

Baca juga: AS Roma menggebrak hegemoni tim langganan jawara Eropa

Acara-acara nonton bareng (nobar) dan kegiatan futsal laiknya komunitas-komunitas fans lain jadi rutinitas kala berkumpul. Antusiasme dan kecintaan mereka pada Parma ternyata dilirik klub. Pada Oktober 2015, perwakilan Parmagiani diundang ke homebase Parma untuk bertemu Lucarelli.

“Pada laga terakhir Serie D saat Parma melawan Sammaurese, desain (ban) kapten yang dipakai Lucarelli adalah buatan kami dari Parmagiani Indonesia,” terang Rengga.

TAG

Sepakbola

ARTIKEL TERKAIT

Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Geliat Tim Naga di Panggung Sepakbola Mula Bahrain Mengenal Sepakbola Enam Momen Pemain jadi Kiper Dadakan Memori Manis Johan Neeskens Kenapa Australia Menyebutnya Soccer ketimbang Football? Kakak dan Adik Beda Timnas di Sepakbola Dunia Yang Dikenang tentang Sven-Göran Eriksson Empat Pelatih Asing yang Diapresiasi Positif Negeri Besutannya