Masuk Daftar
My Getplus

Darah Daging Fasisme Italia Menggebrak Eropa

Roma bikin heboh menjungkalkan Barca. Ibarat de javu lantaran Roma awalnya dilahirkan sebagai pendobrak hegemoni langganan juara.

Oleh: Randy Wirayudha | 20 Apr 2018
Daniele De Rossi memimpin kawan-kawannya lolos ke semifinal Liga Champions dengan menyingkirkan tim mapan Barcelona (Foto: asroma.com)

DALAM keadaan terdesak oleh pasukan Kartago di Perang Punic II, Jenderal Romawi Publius Scipio berhasil memanfaatkan faktor alam untuk membalik keadaan. Romawi akhirnya menang. Hingga berabad-abad kemudian, sejarah kebesaran Romawi tetap lestari.

Semangat itulah yang agaknya diadopsi anak-anak klub AS Roma di lapangan hijau kala menjalani babak lanjutan perempatfinal Liga Champions. Meski sudah berada di ujung tanduk akibat kekalahan dari Barcelona, Roma berhasil membalik keadaan dan memaksa raksasa Katalan itu pulang lebih awal. Kemenangan itu membuka kesempatan kedua bagi Roma untuk jadi raja Benua Biru setelah kegagalan mereka 34 tahun silam.

Dilahirkan Dedengkot Fasisme Italia

Advertising
Advertising

Roma bak bangkit dari kubur. Laju kencangnya di Liga Champions menggegerkan Eropa. Padahal, Roma termasuk tim yang melorot prestasinya akibat krisis keuangan dan skandal calciopoli yang melanda sepakbola Italia.

Tapi, allenatore Eusebio Di Fransesco tak pernah mau takluk kepada keadaan buruk itu. Perlahan tapi pasti, Roma merontokkan tim-tim langganan juara Eropa seperti kaum pekerja menjungkirkan kaum borjuis.

Usut punya usut, Roma ternyata dilahirkan untuk bikin gebrakan baru di sepakbola Italia era 1920-an. Ketika itu, persepakbolaan Italia masih didominasi klub-klub mapan dari utara macam Juventus dan duo Milan – AC Milan dan Inter Milan. Klub-klub kecil seakan hanya bisa menjadi sparring partner mereka tanpa hak untuk menang.

Ketimpangan itu membuat Benito Mussolini tak tinggal diam. Diktator fasis penggemar sepakbola itu lantas berupaya menggabungkan klub-klub kelas pekerja Roma jadi satu. Di Roma, kala itu sudah ada klub SS Lazio yang 27 tahun lebih tua dari AS Roma. Namun tim yang juga “bernafaskan” fasisme dari kalangan kelas menengah itu ogah diajak merger.

Alhasil, Mussolini akhirnya hanya berhasil menggabungkan tiga klub, SS Alba-Audace, Fortitudo-Pro Roma SGS, dan Football Club di Roma. Melalui politisi Italo Foschi yang menjadi Presiden pertama AS Roma, klub kelas pekerja ini resmi berdiri 7 Juni 1927.

Lewat AS Roma, menurut Louis Massarella dkk dalam The Rough Guides to Cult Football, Mussolini ingin mewujudkan impiannya memiliki klub yang merepresentasikan kejayaan Romawi. “Saya bersumpah memimpin negara kita ke jalan yang pernah dilalui kejayaan leluhur kita. Seperti Romawi Kuno yang berada di hadapan kita. Sepakbola adalah metafora yang sempurna untuk idealisme masyarakat fasisme,” cetus Mussolini yang dikutip Simon Martin dalam Sport Italia: The Italian Love Affair with Sport.

Maka, Roma diracik Italo Foschi dengan identitas yang lebih “Romawi” ketimbang Lazio dan klub-klub Italia lainnya. Warna merah marun dengan garis kuning emas jersey Roma merupakan warna kebanggaan Kekaisaran Romawi Kuno. Yang lebih penting, logo klub merupakan gambar Lupa Capitoline alias Serigala Ibukota lengkap dengan penggambaran kisah mitos dua pendiri Roma – Romulus dan Remus–  yang tengah menyusu pada sang serigala betina.

Hingga kini, hal itu terus menimbulkan gesekan antara fans fanatik Roma dan Lazio. Romanisti dan Laziali saling mengklaim bahwa merekalah pembawa gen yang sah kejayaan Romawi. “Kami mengusung nama kota, warna kebesaran dan simbol (Romawi). Bagaimana bisa mereka (Lazio) menolaknya sejak 1900. Kampungan!,” ketus seorang Romanisti yang dikutip Blair Newman dalam ulasannya di situs gentlemanultra.com, 30 November 2016.

Sementara, mantan kapten Lazio Tomasso Rocchi membalas: “Mereka punya warna (kebesaran) Roma, namun Roma tetaplah Lazio,” tandasnya dalam sebuah rekaman dokumenter ITV4.

Pasang Surut di Lapangan Hijau

Campo Testaccio menjadi markas pertama AS Roma. Sejak prestasi runner-up musim 1930-1931, Roma benar-benar jadi tim kesayangan Mussolini sampai diberi keistimewaan pindah kandang dari Testaccio ke Stadio del Partito Nazionale Fascista yang lebih besar.

Gelar Scudetto pertama Roma diraih pada 1942. Sayang, menurut Alberto Testa dan Gary Armstrong dalam Football, Fascism and Fandom, pencapaian itu diiringi nada-nada miring perihal “uluran tangan” Mussolini. Pasca-Perang Dunia II, Roma terpuruk dan nyaris tak pernah lagi bertengger di puncak klasemen sampai akhir musim. Itu berlangsung hingga awal 1980-an. Bahkan, pada musim 1950-1951 Roma merasakan terdegradasi dari Serie A.

Roma baru bisa merasakan scudetto kedua di musim 1982-1983. Di era itu mereka juga langganan juara Coppa Italia. Gelar scudetto ketiga baru mampir pada musim 2000-2001.

Pada 2011, Roma tak lagi dimiliki bos asal Italia, Franco dan Rosella Sensi. Pengusaha Amerika Thomas Richard DiBenedetto, juga pemilik Fenway Sports Group yang membawahi tim bisbol Boston Red Sox dan klub Liverpool, membeli saham mayoritasnya. DiBenedetto juga kemudian menjadi presidennya dan kemudian dilanjutkan rekannya, James Pallotta.

Peralihan kepemilikan itu menandakan era baru AS Roma. Dengan modal kesabaran dan kepercayaan, suntikan investasi Amerika ini memungkinkan dilakukannya perekrutan sejumlah pelatih dan pemain yang tak murah. Perlahan tapi pasti, hal itu mendongkrak hasil di lapangan hijau.

Baca juga: 

Klenik di Balik Final Italia vs Brasil
Battle of Belfast dan Kegagalan Italia Lolos ke Piala Dunia
Menggenjot Citra Fasis Lewat Sepakbola
Menang atau Mati! Ancaman Mussolini untuk Tim Azzurri

TAG

Sepakbola Italia Fasisme Mussolini Roma Romawi Eropa

ARTIKEL TERKAIT

Philippe Troussier si Dukun Putih Momentum Bayer Leverkusen Dua Kaki Andreas Brehme Petualangan Tim Kanguru Piala Asia Tanpa Israel Sisi Lain Der Kaiser Franz Beckenbauer Ingar-Bingar Boxing Day Sinterklas Terjun hingga Tumbang di Stadion Garrincha dari Pabrik Tekstil ke Pentas Dunia Getirnya Tragedi di Stadion Luzhniki