Menang atau Mati! Ancaman Mussolini untuk Tim Azzurri
Dilema timnas Italia di Piala Dunia. Menang bukan perkara gampang, kalah berarti mati.
KEMENANGAN dan mempertahankan trofi Piala Dunia menjadi harga mati untuk Gli Azzurri (julukan timnas Italia). Pesan bernada ancaman dilayangkan Il Duce, pemimpin fasis Italia Benito Mussolini, kepada tim besutan allenatore Vittorio Pozzo di Piala Dunia 1938 yang digelar di Prancis.
Pada Piala Dunia 1934 yang digulirkan di “rumah sendiri”, Mussolini bangga. Trofi Jules Rimet yang diraih tim Italia dijadikannya alat penegas propaganda doktrin fasisme, tidak hanya untuk menyatukan rakyatnya tapi juga kepada dunia. (Baca: Menggenjot Citra Fasis dengan Sepakbola).
Pengaruh politik begitu kuat menyesaki masa di ambang pintu Perang Dunia II itu. Austria yang jadi salah satu kekuatan sepakbola Eropa 1920-1930-an batal ke Prancis lantaran negeri mereka dicaplok Adolf Hitler, diktator Nazi-Jerman rekan Mussolini, medio Maret 1938.
Meski bersahabat dekat, Mussolini menyimpan persaingan pada Hitler. Mussolini yang lebih dulu merintis ideologi ekstrem kanan dari Hitler tak ingin trofi Jules Rimet direbut tim lain, apalagi Jerman. Rekan fasis mereka lainnya, Spanyol, urung tampil gara-gara Perang Saudara.
“Italia sebagaimana rekan-rekan Jerman mereka, tak ingin gagal di lapangan sepakbola maupun medan perang,” ungkap Phil Ball dalam Morbo: The Story of Spanish Football.
Italia berangkat ke Prancis tidak lagi mengandalkan pemain oriundi (keturunan Italia yang lahir di Amerika Selatan), yang beberapa di antaranya seperti Enrique Guaita memilih kabur ke Amerika Selatan demi menghindari wajib militer. Pelatih kepala Pozzo justru “berjudi” dengan membawa pemain-pemain muda. Hanya Giuseppe Meazza dan Giovanni Ferrari di tim itu yang merupakan veteran Piala Dunia 1934.
“Tim Azzurri mesti menjawab keraguan terkait kemenangan mereka empat tahun sebelumnya, apakah mampu menang jika bukan tuan rumah dan bermain di tempat lain. Mereka juga harus membuktikan bahwa tim mereka punya kemampuan mumpuni, mengingat banyaknya tuduhan pengaturan skor atau suap dalam kemenangan mereka di 1934,” tulis Tim Harris dalam Sport: Almost Everything You Ever Wanted to Know.
Di Prancis 1938, La Nazionale (julukan lain tim Italia) juga tampil beda. Mereka mengganti seragam biru langit-putih empat tahun sebelumnya dengan seragam hitam-hitam khas “Fascio”. Para pemain juga selalu melakukan hormat ala fasis jelang kickoff.
Toh, Italia mulus melewati fase demi fase. Mereka menyingkirkan Norwegia 2-1, tuan rumah Prancis 3-1, serta Brasil 2-1 di semifinal. Pada partai puncak, mereka bersua Hungaria yang sedang menanjak jadi salah satu tim adiwisesa Eropa.
Tahu bahwa para pemainnya akan meladeni lawan berat, Mussolini mengirim telegram berisi ancaman: “Vincere o morire!” yang artinya “Menang atau mati!” Ancaman itulah yang mungkin membuat para pemain mati-matian di final hingga menang 4-2. Nyawa mereka pun masih utuh sepulangnya ke Italia.
“Saya mungkin membiarkan terjadinya empat gol ke gawang saya, namun setidaknya saya menyelamatkan nyawa mereka,” kenang kiper Hungaria Antal Szabo, yang tak menyesal timnya kalah dari Italia di final Piala Dunia 1938, sebagaimana dikutip Diane Bailey dalam Great Moments in World Cup History.
Tapi benarkah tim Italia tampil disertai ancaman pertaruhan nyawa pada laga final di Stade Olympique de Colombes, Paris, 19 Juni 1938 itu? “Beberapa orang menafsirkan bahwa pesan telegram itu tidak secara harfiah. Pesan ‘Menang atau Mati’ mungkin hanya sebagai ungkapan dengan cara ekstrem oleh Mussolini untuk menyatakan: ‘Lakukan yang terbaik!’,” lanjut Bailey.
Bertahun-tahun kemudian, bantahan datang dari Pietro Rava, salah satu punggawa Italia di Piala Dunia 1938. Dia menyanggah timnya mendapat telegram ancaman mati itu dari Mussolini. “Tidak, tidak, tidak. Itu tidak benar. Dia (Mussolini) mengirim telegram hanya untuk mendoakan kami, bukan ancaman menang atau mati,” kata Rava kala diwawancara Simon Martin dari The Guardian pada 2001.
Lepas dari benar-tidaknya telegram ancaman yang memunculkan beragam versi itu, Rava dkk diundang Mussolini ke Palazzo Venezia di Roma pasca-kemenangan mereka. Setiap pemain diguyur bonus 8000 lira dan masing-masing sekeping medali emas fasis.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar