Menggenjot Citra Fasis Lewat Sepakbola
Hampir mustahil memisahkan politik dan sepakbola di Italia. Mussolini mempelopori tradisi itu.
SEBAGAI seorang fasis, Benito Mussolini memanfaatkan betul kesempatan saat mendapat kepercayaan dari Raja Victor Emmanuel III untuk menjabat perdana menteri. Il Duce, demikian dia menjuluki dirinya, mengubah hampir semua aspek pemerintahan dan kebijakan sesuai doktrin fasisme.
Namun, Mussolini punya cara jitu menyatukan rakyat Italia di bawah panji “fascio”: lewat sepakbola. Sang diktator yang fans klub SS Lazio itu memang hobi menonton sepakbola. “Mossolini rutin menonton (laga-laga Lazio) di tribun stadion. Il Duce bahkan membangun stadion baru (Stadio Olimpico) untuk Lazio, menggantikan stadion lama, Stadio del Partito Nazionale Fascista,” tulis Franklin Foer dalam Mussolini’s Team.
Bak ketiban durian runtuh, Mussolini berkesempatan mempopulerkan fasisme ke khalayak dunia lewat Piala Dunia 1934. Mussolini langsung bergerak cepat melobi petinggi FIFA. Hasilnya, Italia ditetapkan jadi tuan rumah event empat tahunan itu dalam pertemuan para petinggi FIFA di Stockholm, Swedia, 9 Oktober 1932.
“Demi menyukseskan Piala Dunia 1934, pemerintah Italia mengucurkan dana 3,5 juta lira,” singkap David Goldblatt dalam The Ball is Round: A Global History of Football.
Mussolini bahkan turun tangan sendiri dalam komite persiapannya. Dia pribadi yang memilih delapan lokasi penyelenggaraan: Bologna, Firenze, Genoa, Milan, Napoli, Trieste, Roma, dan Turin –tempat stadion yang menyandang nama Mussolini, Stadio Benito Mussolini, berada.
Rakyat kelas pekerja dimanjakan dengan disediakannya tiket keretaapi gratis menuju stadion. Pemerintah juga memberikan ribuan tiket dengan harga murah meriah.
Campur tangan Mussolini tak hanya sampai situ, tapi juga merambah ke internal Gli Azzurri (timnas Italia). “Dia ikut berbicara dengan pelatih timnas Victorio Pozzo untuk memastikan Italia menurunkan tim terbaik,” tulis Fernando Fiore di buku The World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacle in the World.
Berbekal keleluasaan memanfaatkan “diaspora” berlandaskan kebijakan dwi-kewarganegaraan dari Mussolini, Pozzo memanggil lima pemain oriundi (orang yang lahir dan menetap di Amerika Selatan tapi berasal dari keturunan para imigran Italia). Satu diambil dari Brasil: Anfilogino Guarisi. Empat lainnya dari Argentina: Raimundo Orsi, Enrique Guaita, Luis Monti, Attilio DeMaria. Dua nama terakhir ikut memperkuat timnas Argentina di Piala Dunia 1930.
Pozzo “memanggil paksa” kelima oriundi tersebut dan menyamakan tugas membela timnas Italia selayaknya wajib militer. “Jika mereka rela mati untuk Italia, maka mereka bisa bermain sepakbola untuk Italia,” cetus Pozzo dikutip Clemente Angelo Lisi dalam A History of World Cup: 1930-2010.
Agenda besar Mussolini berjalan mulus. Polesan doktrin fasisme lewat sepakbolanya ikut menentukan keberhasilan Italia merebut Piala Dunia 1934. Di final, Italia menang 2-1 atas Cekoslovakia.
Namun, kontroversi menyelimuti partai final. Mussolini dituding meramu match-fixing demi kemenangan Italia. Sehari sebelum final, Mussolini mengundang Ivan Eklind, wasit asal Swedia yang ditunjuk memimpin laga final, untuk makan malam.
“Eklind diduga sudah disuap dan kemudian memang terbukti bahwa dia dan Mussolini, makan malam bersama di malam sebelum final untuk membicarakan taktik dalam tanda kutip,” sebut Kevin E. Simpson dalam Soccer under Swastika.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar