Langit masih gelap ketika sekelompok kecil orang sibuk mempersiapkan proyek prestisius di Lapangan terbang Marienehe, Rostock, Jerman pada 27 Agustus 83 tahun silam. Selain tidak ingin diketahui publik, persiapan sengaja dilakukan di pagi buta agar keamanan lebih terjaga. Maklum, kesiagaan di Jerman telah ditingkatkan seiring negeri itu hendak menyerang Polandia, yang membuka Perang Dunia II.
Di antara yang sibuk menjelang pukul 04 pagi itu, ada Erich Warsitz, seorang test-pilot perusahaan pembuat pesawat Heinkel Flugzeugwerke. Dia mengecek segala kesiapan pesawat yang akan dipilotinya. Lantaran penerbangannya bakal menjadi penerbangan perdana untuk sebuah jenis pesawat, pengecekan dilakukan ketat. Warsitz pun dibuatnya jadi gelisah.
“Menjadi perokok berat, saya akan menyalakan beberapa batang rokok tambahan sebelum penerbangan seperti itu, dan itu dipakai terutama ketika, menetap di kokpit setelah sinyal siap, mesin diperiksa untuk terakhir kalinya dan seseorang akan berteriak: “Berhenti, matikan, ada katup yang longgar di sini!” Kemudian saya harus turun lagi. Ini membuat seseorang gelisah!” ujar Warsitz sebagaimana dikutip anaknya, Lutz Warsitz, dalam The First Jet Pilot: The Story of German Test Pilot Erich Warsitz.
Baca juga: Pesawat Sukhoi Rasa Minyak Sawit
Kendati telah sukses menerbangkan beberapa pesawat prototipe, Erich gelisah karena akan menerbangkan pesawat Heinkel He-178, pesawat dengan mesin jet yang belum ada sebelumnya. Belum memiliki acuan, penerbangan Erich bakal dijadikan acuan bagi para pilot sesudahnya.
“He 178 adalah jenis pesawat yang benar-benar baru mulai dari badan hingga mesin,” kata Erich.
He-178 yang ditenagai mesin turbojet He-S3B merupakan pesawat buatan Heinkel Flugzeugwerke. Pesawat itu lahir dari hasrat Ernest Heinkel, aviator sekaligus pendiri Heinkel Flugzeugwerke, akan kecepatan yang berpadu dengan hasrat akan penciptaan mesin jet milik insinyur bernama Hans Pabst von Ohain.
“Ketertarikan saya pada propulsi pesawat dimulai pada musim gugur 1933 ketika saya masih menjadi mahasiswa jurusan Fisika di Universitas Georgia Augusta Gottingen di bawah Prof. R. Pohl dengan minor dalam mekanika terapan di bawah Prof. Ludwig Prandtl. Getaran kuat dan kebisingan dari mesin piston baling-baling memicu minat saya pada penggerak pesawat. Saya merasakan kehalusan alami dan keanggunan terbang sangat diganggu oleh mesin bolak-balik dengan baling-baling. Tampak bagi saya bahwa diperlukan proses aliran termodinamika yang stabil. Proses seperti itu tidak akan menghasilkan getaran. Juga, mesin yang didasarkan pada proses seperti itu mungkin bisa lebih ringan dan lebih kuat daripada mesin bolak-balik dengan baling-baling karena kondisi aliran yang stabil akan memungkinkan aliran massa yang jauh lebih besar dari media kerja per penampang. Karakteristik ini menurut saya paling penting untuk mencapai kecepatan terbang yang lebih tinggi. Saya membuat perkiraan kinerja untuk beberapa jenis mesin aliran stabil dan akhirnya memilih konfigurasi turbin gas khusus yang tampak bagi saya sebagai sistem propulasi ringan dan sederhana dengan risiko pengembangan rendah,” kenang Ohain dalam testimoninya di kata pengantar buku Elements of Propulsion: Gas Turbines and Rockets karya Jack D. Mattingly asal Department of Mechanical Engineering di Seattle University.
Baca juga: Lika-liku Pesawat T-50
Dengan “dijembatani” Profesor Robert Wichard Pohl, fisikawan sekaligus mentor Ohain di kampus, kerjasama Heinkel-Ohain pun dimulai. Sebagai bentuk keseriusan, Heinkel langsung membangun aula khusus untuk proyeknya bersama Ohain, “Special Development”, di dekat Wasserhalle pada akhir 1936. Proyek ini sekaligus mengobati kekecewaan Heinkel terhadap proyek sebelumnya yang digarap bareng Reichsluftfahrtministerium (RLM/Reich Air Ministry): pesaawat berpendorong roket Heinkel He-176.
Proyek Special Development dikerjakan dengan kerahasiaan tinggi agar tidak diketahui pihak lain, termasuk RLM. Dalam proyek ini, Heinkel-Ohain didukung tim Wilhelm Gundermann, insinyur andalan Heinkel Flugzeugwerke, Max Hahn yang ahli mesin mobil, dan Erich Warsitz selaku test pilot yang punya banyak pengetahuan di bidang pesawat. Dalam perjalanan, Walter dan Siegfried Guenther selaku desair aerodinamis Heinkel ikut bergabung.
“Selama bulan-bulan terakhir tahun 1937, Walter dan Siegfried Guenther mulai dengan studi pradesain pesawat jet-propelled pertama (He-178) dan menetapkan daya dorong statis 1100 lb untuk mesin penerbangan (He.S3). Pesawat pada dasarnya adalah pesawat eksperimental dengan beberapa ketentuan untuk persenjataan,” sambung Ohain.
Kerjasama itu akhirnya rampung pada musim semi 1939, mesin He-S3B maupun badan pesawat rampung dibuat. Namun lantaran performa yang dihasilan mesin terlalu rendah dari ideal yang diharapkan, perbaikan pun dilakukan. Mesin dengan performa yang diharapkan berhasil dibuat pada awal Agustus 1939.
Baca juga: Hawker Hunter F.4 Jet Tempur Pemburu Belanda
Pada 24 dan 26 Agustus, tim menunjuk Erich Warsitz untuk memiloti He-178 uji taxi di lapangan terbang milik perusahaan yang hanya sepanjang 300 meter. Setelah dicapai kepuasan, persiapan untuk penerbangan perdana (maiden flight) pun dibuat.
Heinkel menentukan 27 Agustus 1939 pukul 04 pagi sebagai Hari-H dan Jam-J. Pemilihan waktu itu dilakukan untuk menghidari “endusan” publik sekaligus menjaga keamanan di tengah meningkatnya siaga di Jerman menjelang penyerangan ke Polandia. Kala itu, baterai-baterai telah disiagakan di koridor-koridor penting militer.
“Mereka mendapat perintah untuk ‘melaporkan setiap pesawat yang hendak menyerang kontrol pusat’ dan beberapa bahkan diharapkan untuk ‘menembak mereka semua!’ Jika mereka melakukannya, saya akan menjadi salah satu korbannya! Perintah itu sebenarnya untuk menembak pesawat yang tidak teridentifikasi dengan jelas, termasuk milik saya sendiri, karena tidak ada tanda registrasi untuk alasan kerahasiaan dan membuat suara mesin yang aneh. Sehari sebelum penerbangan saya memperoleh dari komandan baterai rencana tata letak baterai mereka untuk mengetahui posisi senjata dan sudut tembak: tepat di sepanjang jalur penerbangan –hanya ada landasan beton di Marienehe pada sumbu Barat-Timur dan senjata antipeluru ditempatkan di kedua sisinya. Saya harus terbang di atas mereka,” kata Erich, dikutip Lutz Warsitz.
Toh, bahaya bukan hambatan bagi tim untuk mewujudkan mimpi. Selain Erich dan Ernst Heinkel, Hans von Ohain, Max Hahn, Karl Scharzler, dan Wilhelm Gundermann hadir di bandara Marinehe pada pagi tanggal 27 Agustus itu.
“Pada pagi tanggal 27 Agustus, seperti diingat Hans von Ohain pascaperang, Warsitz tiba di lapangan terbang Marienehe dengan perlengkapan terbang, membawa palu. Ketika von Ohain bertanya kepadanya tentang palu, Warsitz, yang baru saja menguji roket terbang He 176, mengatakan bahwa palu adalah alat pelariannya, jika dia perlu keluar dari kokpit dengan tergesa-gesa. He 178 V1 tidak memiliki kokpit yang dapat dilepas seperti yang dipasang pada He 176 bertenaga roket. Ada elemen atau risiko lain. Dalam uji coba, bantalan mesin telah menunjukkan kecenderungan untuk menjadi terlalu panas dan jika terjadi kebakaran, sayap pendek pesawat diperkirakan akan membuat pendaratan luncur menjadi pekerjaan yang sangat sulit,” tulis David Myhra PhD dalam Heinkel He 178-Redeaux.
Baca juga: Cerita di Balik Helikopter NBO-105
Setelah semua kendala yang membuat Erich Warsitz gelisah dapat diatasi, sang pilot akhirnya menaiki kokpit pesawatnya yang tidak dicat dan tanpa tanda apapun. Mesin dihidupkan. Erich sempat disalami Ernst Heinkel yang mengucapkan “Selamat mendarat.” Lalu, pesawat He-178 yang dipiloti Erich mengudara di tengah kegelapan.
“Saat pesawat mulai berjalan, awalnya saya agak kecewa dengan daya dorongnya, karena ia tidak mendorong ke depan seperti yang dilakukan (He-) 176, tetapi bergerak perlahan. Pada tanda 300 meter dia bergerak sangat cepat. Itu adalah pagi yang indah, tenang, dan stabil. Saya tidak bisa melihat aktivitas di antara orang-orang baterai. Karena kerahasiaannya yang besar, kami harus menjauhkan alat berat dari lapangan kerja, yang berarti saya tidak dapat melakukan uji pengerolan seperti biasa,” kenang Erich.
Di udara, Erich merasa aman dan amat percaya pada pesawat barunya itu. Bila biasanya dia menerbangkan pesawat pada ketinggian yang cukup untuk terjun payung bila terjadi keadaan darurat, kali ini Erich tak melakukannya. He-178 dianggap Erich amat mudah dikendalikan. Erich bisa sampai menyentuh full speed 600 km/jam, yang membuatnya langsung menurunkan kecepatan.
Saking menikmatinya, Erich membuat rekan-rekannya di darat khawatir karena dia memutuskan untuk melanjutkan penerbangan setelah berhasil menyelesaikan satu putaran. Baru setelah enam menit di “lap” kedua, Erich memutuskan untuk menyudahi penerbangannya dan bersiap untuk pendaratan.
Baca juga: Akhir Tragis Alutsista Legendaris
“Karena lapangan terbang sangat kecil untuk penerbangan seperti itu, saya sedikit khawatir tentang pendaratan karena kami tidak tahu pasti kecepatan pendaratan yang aman: kami tahu pendekatan yang tepat, kecepatan meluncur dan mendarat secara teori, tetapi tidak dalam praktiknya. Saya terlalu jauh ke depan dan tidak memiliki bahan bakar untuk sirkuit (putaran, red.) lain. Sekarang saya harus mengambil kesempatan pendaratan, kehilangan ketinggian dengan tergelincir ke samping. Saya menerbangkan pesawat jenis baru yang tidak dikenal dengan kecepatan tinggi di dekat tanah dan saya tidak suka tidur miring. Itu tentu sedikit berisiko, tetapi alternatifnya adalah langsung ke Sungai Warnow. Akhir seperti itu, basah kuyup pada pukul empat hari Minggu pagi, kurang menarik. Para penonton terkejut melihat manuver itu. Mereka yakin saya akan mendaratkan pesawat di atas lapangan terbang. Tapi pesawat yang dibangun dengan baik itu sangat pemaaf. Saya mengembalikannya ke sikap yang benar sebelum mendarat, melakukan pendaratan luar biasa dan berhenti tepat di dekat Warnow,” kenang Erich.
Kendati diliputi kekhawatiran tinggi di fase akhir penerbangannya, Erich berhasil mendaratkan He-178 dengan selamat. Penerbangannya tercatat dalam sejarah.
“Penerbangan jet pertama dalam sejarah telah berhasil! Ketegangan pecah, semua orang bergembira. Saya keluar dari kokpit, kru darat memikul Dr Heinkel dan saya sendiri di pundak mereka, dan setelah tanya jawab singkat di ruang petugas, kami bersulang untuk penerbangan pertama yang menunjukkan jalan ke arah penerbangan di masa depan,” tulis Lutz Warsitz.