Masuk Daftar
My Getplus

BPPT, Riwayatmu Kini

Lahir dari gagasan tentang masa depan industri penerbangan, BPPT ikut tersapu gelombang pembubaran lembaga-lembaga penelitian.

Oleh: Randy Wirayudha | 21 Jan 2022
Gedung Kemenristek/BPPT yang kini menjadi Gedung BJ Habibie (bppt.go.id)

SESEKALI lelaki gaek dengan rambut yang sudah memutih itu membenarkan letak kacamatanya. Terduduk di ruangan kerja pribadi yang cukup luas dengan jajaran rak buku di beberapa bidang temboknya, Prof. Rahardi Ramelan, lelaki tersebut, mengaku tak habis pikir dengan keputusan pemerintah membubarkan sejumlah lembaga penelitian, termasuk Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), untuk kemudian meleburkan sisa-sisanya ke dalam satu wadah bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

BRIN yang mulanya bernaung di bawah Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), didirikan lewat Peraturan Presiden (PP) Nomor 74 tahun 2019. Selang beberapa saat kemudian, lewat PP Nomor 33 tahun 2021 pemerintah melebur Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan BPPT ke dalam BRIN.

Langkah tersebut mengundang pertanyaan banyak pihak. Belakangan, awal Januari 2022, gelombang kritik dan protes berdatangan setelah pembubaran Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang sisanya dilebur ke dalam BRIN.

Advertising
Advertising

“Sekarang BPPT hilang, apalagi LIPI dihilangkan. Kantornya semua (lembaga penelitian) tulisannya BRIN. Sekarang sudah mulai timbul protes kan ya. Dilihat dari segi manajemen saja, misalkan yang belum pegawai negeri enggak boleh lagi. PP-nya sudah dibikin tapi undang-undangnya (UU) tidak demikian. Memang ada istilahnya ‘pemikiran kembali’ tapi bukan berarti membubarkan,” kata Rahardi kepada Historia, Jumat (7/1/2022).

Baca juga: Membangun Kader Keuangan BPPK

Tata kelola riset dan teknologi (ristek) yang diambil pemerintah semakin tidak jelas dengan pembubaran Kemenristek pada 2021. Kemenristek  yang sebelumnya menaungi sejumlah lembaga tersebut kemudian bidang risteknya dileburkan ke dalam Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

“Menristek sudah dipindah-pindah berapa kali? Terus ada Ristekdikti (2014). Terakhir waktu Bambang Brodjonegoro, risteknya (Kemenristek) masih ada. Tapi begitu ada BRIN, menteri risteknya enggak ada. Risteknya dibawa lagi ke Dikbud kan? Saya enggak tahu apa kerjaannya BRIN. Ini yang bikin kacau kitalah,” sambung menteri Ristek/Kepala BPPT periode Maret-Mei 1998 itu.

Menurut Rahardi, kehadiran BRIN yang mengambilalih semua lembaga penelitian negara justru merusak ekosistem dan DNA ristek yang sudah ada. Termasuk relasi di antara lembaga-lembaga pemerintah, bisnis/industri, dan perguruan tinggi (PT) di dalamnya.

“PT itu mengenal yang namanya Tri Dharma. Jadi selain mengadakan pendidikan tapi juga melayani masyarakat. Sebetulnya dulu Profesor Doddy Achdiat Tisna Amidjaja waktu menjabat Kepala LIPI dia sudah bener. Semuanya boleh melaksanakan tapi tidak pada puncaknya. Jadi kalau PT puncaknya sains, BPPT puncaknya technology development. Sekarang kan enggak tahu dengan BRIN ini. Kan dilebur semuanya,” tambah Rahardi.

Prof. Dr (HC) Rahardi Ramelan, eks deputi Kepala BPPT dan Menristek/Kepala BPPT (Fernando Randy/Historia)

Mula BPPT

Pembubaran sejumlah lembaga penelitian itu mengingatkan Rahardi kembali pada cikal-bakal pembentukan BPPT. Walau usianya sudah menginjak 83 tahun, Rahardi masih ingat betul bagaimana terbentuknya lembaga itu bermula dari pemikiran soal industri penerbangan para pemuda Indonesia lulusan sekolah-sekolah teknik di Eropa.

Rahardi sendiri merupakan lulusan magister teknik mesin Universitas Teknik Cekoslovakia (ČVUT) di Praha tahun 1964. Pada awal 1970-an, dia berkarier di bagian analisis dan penghitungan statik di Airbus SE di Hamburg, Jerman Barat.

“Dulu saya masih TNI AU sampai punya pangkat letnan satu. Saya masuk ke Ditjen Industri Penerbangan, ditugaskan di Biro Pendidikan, terus Biro Perencanaan. Kemudian saya ikut on the job training di Fokker Aviolanda, anak perusahaannya Fokker di Belanda. Selesai 1969 ditarik pulang, kemudian Pak Habibie datang ke Indonesia. Saya sudah kenal sejak mahasiswa. Saya diajak keliling Jawa, untuk mengecek apakah mungkin Indonesia bikin industri atau pemeliharaan pesawat,” kenang Rahardi.

Baca juga: Pesawat Pemburu dari Masa Lalu

Konklusinya, dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Habibie, kenang Rahardi, lalu menginstruksikannya untuk mencari para teknisi lokal yang mau kerja sembari menimba ilmu di Eropa dengan ongkos sendiri. Sekira 15 orang berhasil dikumpulkan Rahardi untuk diajak ke Jerman Barat. Mereka berangkat menggunakan pesawat charter yang diongkosi Habibie dari pinjaman bank. Orang-orang inilah yang kemudian berperan dalam ristek di Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN, kini PT DI) dan BPPT.

“Kita kumpul di Hamburg. Oleh Pak Habibie, semua diangkat jadi pegawai Hamburg. Ada banyak sekali. Ada Pak (Bram) Djermani tamatan Rusia, dia di konstruksi. Ada Pak (Surasno) Paramajuda, dia di bagian aerodinamika seperti halnya Pak Sutadi (Suparlan),” tutur Rahardi.

Bacharuddin Jusuf Habibie (kiri) & Rahardi Ramelan di masa muda (Habibie Center/Dok. Pribadi Rahardi Ramelan)

Beberapa dari mereka ditempatkan di Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB), tempat Habibie menjadi kepala Divisi Metode dan Teknologi Pesawat Angkut, Niaga, dan Militer. Sebagian lain ditempatkan di Vereinigte Flugtechnische Werke (VFW) ataupun Airbus, seperti Rahardi. Mereka dipulangkan ke Indonesia kala Soeharto meminta Habibie mulai membangun industri penerbangan.

Tetapi, muncul problem yang kemudian jadi isu. Bagaimana mewadahi para teknisi Indonesia yang sudah matang di Eropa ini? Terlebih, pemerintah belum punya anggaran untuk mendirikan lembaga baru.

“Setelah Pak Habibie pulang ke Indonesia, ia bilang pada saya, ‘kamu ikut saya deh! Kamu tolong pikirin kalau kawan-kawan pulang itu jadi apa?’ Kebetulan kakak saya juga di Pertamina, lalu saya dihubungkan dengan kawan-kawan di Pertamina yang bisa ambil pandangan. Akhirnya saya usulkan ke Pak Habibie, kita kerja di Pertamina dengan golongan ini, golongan ini, dan sudah harus dapat rumah,” kata Rahardi.

Baca juga: Habibie Kecil dan Soeharto Muda

Habibie kemudian mengajukan saran Rahardi ke Presiden Soeharto dan disetujui. Alhasil dibentuklah divisi Advance Teknologi dan Teknologi Penerbangan (ATTP) di dalam Pertamina untuk mewadahi para teknisi yang pulang dari Eropa. Kemudian ATTP berubah jadi divisi Advance Technology Pertamina (ATP) dengan proyek pertamanya menangani kerjasama produksi pesawat CASA C-212 dengan Spanyol dan helikopter Bo-105 dengan MBB Jerman.

“Itu cikal-bakalnya BPPT. Dari ATTP, terus ATP dan berubah-ubah akhirnya jadi BPPT. Saya mulai dari kepala divisi, kemudian jadi direktur, sampai saya jadi deputi. Saat perundingannya (C-212 dan Bo-105) dengan mereka belum IPTN, semua yang berunding dan tangani masih Pertamina. Ini banyak orang enggak ngerti. Kita dibantu Pertamina negosiasi sampai kontrak segala macam. Itu Pertamina 100 persen,” tambahnya.

Kolase Gedung Pertamina/Menara Patra yang kemudian jadi kantor BPPT (majalah Konstruksi, Oktober 1976)

Menurut guru besar di Nanyang Technological University Prof. Sulfikar Amir dalam The Technologial State in Indonesia: The Co-constitution of High Technology and Authoritarian Politics, proyek tersebut ditandatangani di Munich, Jerman Barat medio September 1974 oleh tiga pihak: Dirut Pertamina Letjen (Purn.) Ibnu Sutowo, CEO CASA Enrique de Guzmán, dan petinggi MBB Ludwig Bölkow. Klausul di dalamnya termasuk komitmen MBB dan CASA untuk membantu transfer pengetahuan dalam rangka pengembangan industri penerbangan di Indonesia.

“Desain termutakhir CASA waktu itu adalah C-212 Aviocar 12 penumpang, di mana Habibie menganggap pesawat itu akan cocok bagi kondisi pasar lokal di Indonesia,” tulis Sulfikar.

Baca juga: Akhir Tragis Alutsista Legendaris

Transfer pengetahuannya, lanjut Sulfikar, baru berupa fase pengenalan. Sejumlah pesawat CASA C-212 dan heli Bo-105 dikirim masing-masing dari Madrid dan Munich dalam ratusan bagian terpisah. Setelahnya, para teknisi Indonesia mesti mengenali satu per satu parts-nya, struktur keseluruhan pesawat, serta sistem-sistem teknisnya yang kompleks.

Rahardi diminta Habibie menangani heli Bo-105. Sementara, C-212 ditangani Harsono Juned Pusponegoro. Proses assembling-nya dilakukan di Lapangan Terbang Pondok Cabe milik Pertamina, kemudian dipindah ke Pangkalan Udara (Lanud) Husein Sastranegara setelah terjadi kerjasama dengan TNI AU.

“Di Bandung yang mulainya itu adalah justru proyek helikopternya karena mendesak kita memerlukan helikopter untuk Tim Tim (Timor Timur). Krisis Tim-Tim kan waktu itu. Jadi saya disuruh menyelesaikan di Bandung. Beberapa tenaga kerja dari TNI AU kita ikutkan. Kita hanya dikasih hanggar kecil di situ. Untuk masang engine-nya aja saya enggak bisa. Jadi saya pakai crane sewaan di luar. Masang engine-nya tuh di luar hangar.”

Pesawat C212 (kiri) dan Helikopter Bo-105 (indonesian-aerospace.com/navy.mil)

Heli Bo-105 kemudian digunakan Penerbangan TNI AD (Penerbad) dengan beberapa modifikasi. Antara lain penambahan lapisan baja di bawah badan heli dan pemasangan radio PRC-77 untuk berhubungan dengan pasukan darat.

Proyek C-212 yang baru dijalankan kemudian menempati hanggar yang lebih besar. Proyek tersebut membuat varian NC-212-200 dan NC-212-400 dengan upgrade pada sistem avionic dan autopilot menjadi digital.

Baca juga: Obituari BJ Habibie: Akhir Hayat Sang Teknokrat

Setelah Habibie dilantik menjadi menteri Ristek/Kepala BPPT pada 23 Agustus 1978, BPPT dipisahkan dari Pertamina dan berdiri sendiri sebagai lembaga pemerintah non-kementerian yang bertanggungjawab kepada presiden. Pemisahan teresebut diperkuat secara hukum dengan Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 1978. Rahardi dipercaya sebagai salah satu deputi Kepala BPPT.

Di ranah industri penerbangan, BPPT tak hanya turut terlibat di proyek CN-235 tapi hingga N-250. Untuk keperluan membangun N-250 yang digagas Habibie, BPPT mendirikan Lembaga Uji Konstruksi (LUK) pada 1979 dan membangun fasilitas wind tunnel (terowongan angin) di Serpong, Tangerang.

“Pesawat sebelum terbang kan harus dites life cycle, jam seluruh mereka terbang itu harus diujicoba. Terutama landing gear ‘digujrek-gujrek’ berapa cycle, sayap segala macam. Pak Habibie dan Pak Harto memutuskan buat wind tunnel sendiri. Itu yang kita bikin di Serpong, Indonesian Low-Speed Wind Tunnel (ILST). Terus mereka namanya (diubah) Laboratorium Aero-gas Dinamika dan Getaran (LAGG) karena juga vibrasi dites di sana,” urai Rahardi.

Kolase ILST, kini LAGG-BBTA3 (bppt.go.id)

Menukil buku 30 Years LAGG-BBTA3 karya Hanni Defianti dkk. keluaran BPPT tahun 2019, pembangunannya dimulai sejak 18 Desember 1984 yang ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Presiden Soeharto. Setelah diresmikan Soeharto pada 11 Desember 1989, ILST punya kapasitas mengujicoba model pesawat dengan lebar sayap tiga meter di terowongan anginnya.

“ILST sukses mendukung program pengembangan industri penerbangan yang dilakukan IPTN. Tiga proyek pesawat besar, konfigurasi dasar dan pengembangan CN235, N250, dan desain awal N2130 dilakukan di ILST. Sekira 7500 jam terowongan angin sukses dilakukan demi pengembangan N250 di periode desain awalnya,” tulis Hanni dkk.

Baca juga: Flypass Nekat Montir Pesawat Rayakan HUT RI

Seiring waktu berjalan, BPPT memperluas aspek-aspek risteknya. Penambahan SDM diproritaskan. Selain bertulangpunggungkan eks-alumnus Eropa dan Pertamina, BPPT menambah SDM-nya dari akademisi lokal yang mayoritas lulusan Institut Teknologi Surabaya (ITS) dan Universitas Brawijaya.

“Karena saya melihat PT di Indonesia yang betul-betul menangani detail ke industri itu ITS dan Brawijaya. ITB (Institut Teknologi Bandung) buat saya orangnya terlalu teoritis. Selain orang-orang (dari) Eropa, itu anak-anak Brawijaya dan ITS yang jadi motor-motor saya. Memang ada juga dari ITB, IPB (Institut Pertanian Bogor) tapi harus saya kasih kesempatan dulu mereka untuk meng-upgrade diri sendiri. Saya sekolahkan lagi, kebanyakan untuk mempelajari industrial financing karena saya lihat sangat lemah soal keuangan,” sambungnya.

KR Baruna Jaya untuk survei kelautan milik BPPT (bppt.go.id)

Beralih ke 1994, BPPT mulai sadar pentingnya teknologi daring. IPTEKnet lalu didirikan sebagai organiasi pemerintahan pertama yang punya koneksi internet. Untuk riset kelautan, BPPT menghadirkan Kapal Riset (KR) Baruna Jaya I buatan CMN Cherbourg, Prancis yang diluncurkan pada 1989. Pengoperasiannya dipegang BPPT kerjasama dengan Dishidros TNI AL. Baru pada 2004 pengoperasiannya dipegang penuh oleh BPPT.

Pada 2001, BPPT berperan juga sebagai Pusat Audit Teknologi. Ia membangun Balai Inkubasi Teknologi. Setahun kemudain, BPPT berperan dalam pengembangan dan produksi panser APR 4x4, lalu panser 6x6 dua tahun berikutnya, dan panser amfibi pada 2006 dengan bekerjasama dengan PT Pindad. Bekerjasama dengan Pertamina BPPT juga mengembangkan bahan bakar nabati yang jadi cikal-bakal biodiesel B30 pada 2007. Setelah merintis percobaan e-voting atau pemungutan suara secara daring pada 2009, BPPT bekerjasama dengan Kimia Farma mendirikan pabrik garam farmasi pertama Indonesia pada 2016. Terakhir, 2028, BPPT membangun dua stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) pertama di Indonesia.

“Sakit kan (rasanya). Bayangin lho! Sayang aja BPPT yang dulu saya ikut mendirikan, sekarang lihat BPPT bubar. Sama seperti waktu N-250, itu saya sakit, bawa-bawa N-250 dimasukkan museum. Saya enggak senang, terus terang,” tandasnya.

Baca juga: Gatotkaca Terbang, Mendarat di Museum

TAG

teknologi pesawat dirgantara

ARTIKEL TERKAIT

Ada Rolls-Royce di Medan Laga Purnatugas Heli Puma Pesawat Multifungsi Tulang Punggung Matra Udara Jerman "Kepoin" Muspusal, Paham Sejarah Maritim dengan Teknologi Mutakhir Nasib Nahas Kapten Mussolini Marcel Dassault dan Jet Tempur Kebanggaan Prancis Si Jago Udara di Bawah Panji Swastika Alkisah Jago Udara yang Di-Grounded Gegara Sepakbola Riwayat Perakit Pesawat Kala Pesawat Jet Mengudara Perdana