Masuk Daftar
My Getplus

Membangun Kader Keuangan

Sejak masa kolonial, pendidikan dan latihan bagi pengelola keuangan negara berjalan sendiri-sendiri. Mulai terpusat dan terintegrasi dengan kehadiran BPPK.

Oleh: Randy Wirayudha | 26 Okt 2021
Menkeu Jusuf Wibisono yang memikirkan pendidikan kader keuangan yang terintegrasi (Buku Indonesia Committee 1954)

PANDEMI Covid-19 sejak akhir 2019 membuat banyak orang mesti beradaptasi dengan sistem bekerja dan belajar dari rumah. Tak terkecuali proses pembelajaran para pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dijalankan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK). Namun, BPPK sudah siap.

BPPK adalah unit Eselon 1 yang bertanggung jawab dalam pengembangan sumber daya manusia pengelola keuangan dan kekayaan negara melalui penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan. BPPK punya visi menjadi lembaga pendidikan dan pelatihan terkemuka yang menghasilkan pengelola keuangan negara kelas dunia.

Sejak 2016, BPPK sudah menggodok metode pembelajaran daring. Setahun kemudian BPPK meluncurkan portal Kemenkeu Learning Center (KLC), media pembelajaran online yang membahas berbagai materi tentang pengelolaan keuangan negara. Diharapkan KLC bisa melahirkan ekosistem pembelajaran yang sesuai dengan Kemenkeu Corporate University (Kemenkeu Corpu).

Advertising
Advertising

Baca juga: Berkaca pada Ekonomi Kerakyatan Bung Hatta

Kemenkeu Corpu merupakan strategi untuk mencapai visi dan misi Kementerian Keuangan, yakni terwujudnya link and match antara pembelajaran, pengelolaan pengetahuan, dan penerapan nilai-nilai dengan target kinerja Kementerian Keuangan. 

Dalam perkembangannya, KLC bukan hanya bisa dimanfaatkan para pegawai Kementerian Keuangan tapi juga masyarakat. Antara lain melalui sejumlah program penyuluhan dan pembinaan pelaku usaha dan penyedia barang/jasa via daring.

KLC hanyalah salah upaya BPPK menyediakan dan mematangkan pengelola keuangan negara. Sebelum lembaga ini dibentuk pada 1975 dengan nama Badan Pendidikan dan Latihan Keuangan (BPLK), tugas dan fungsi pendidikan digulirkan secara terpisah oleh direktorat jenderal masing-masing.

BPPK di masa kini (kemenkeu.go.id)

Jejak Awal

Pendidikan kompetensi pengelola keuangan negara merupakan kebutuhan yang tak bisa ditawar-tawar. Pada masa kolonial, beragam kursus diadakan Departement van Financiën (Departemen Keuangan). Antara lain kursus untuk pabean atau bea cukai, kontrolir pajak, landrente (pajak bumi), hingga adjunct akunting pajak.

Kursus-kursus tersebut sempat terhenti pada awal pendudukan Jepang. Banyak tenaga ahli Belanda maupun Indo-Belanda dijebloskan ke kamp-kamp interniran. Pegawai bumiputera yang diserahi tugas menjalankan Departemen Keuangan (Gunseikanbu Zaimubu) juga kurang memadai.

Kekurangan tenaga ahli coba ditutupi melalui penyelenggaraan kursus-kursus. Pada Oktober 1942, dibuka kursus-kursus untuk inspektur pajak, kontrolir pajak, kontrolir pajak bumi, kontrolir bea dan cukai, serta adjun akuntan. Tenaga pengajarnya berasal dari pegawai-pegawai tinggi Belanda yang dibebaskan sementara.

Baca juga: Mengurai Sejarah Lembaga Bea dan Cukai

Kecuali kursus inspektur pajak dan kontrolir pajak bumi, para pengajar tak bisa menyelesaikan tugas. Sebab, setahun kemudian mereka kembali dimasukkan ke kamp interniran. Namun, berkat kegiatan para pegawai bumiputera dan tersedianya diktat-diktat lengkap, semua kursus dapat diselesaikan.

“Adanya penambahan pegawai ahli merupakan modal untuk membangun administrasi keuangan negara dalam masa-masa perjuangan menjelang dan setelah proklamasi kemerdekaan,” tulis 20 Tahun Indonesia Merdeka Volume 2.

Setelah Indonesia merdeka, Kementerian Keuangan mengandalkan eks pegawai Gunseikanbu Zaimubu. Sementara untuk mengisi kekurangan pejabat-pejabat keuangan, pada 1948 diusahakan mendidik kader-kader petugas tingkat menengah. Antara lain melalui kursus penilik pajak di Yogyakarta, yang waktu itu jadi ibukota Republik. Dalam pelaksanaannya, usaha tersebut terhalang agresi militer Belanda. 

“Yang dapat diselesaikan pada waktu itu hanyalah pendidikan untuk tenaga-tenaga rendah di beberapa tempat di wilayah Republik Indonesia,” tulis 20 Tahun Indonesia Merdeka.

Kebutuhan tenaga terdidik dan terampil kian mendesak setelah pengakuan kedaulatan. Sebab, tenaga-tenaga ahli Belanda pulang ke negeri mereka. Untuk mengisi kekosongan, Kementerian Keuangan kembali menggelar kursus.

Baca juga: Kementerian Keuangan di Masa Perang

Mengutip buku Kabinet Karya: Mendjelang Dua Tahun Kabinet Karya, 9 April 1957-9 April 1958, Jawatan Pajak menggelar Kursus Pengatur Pajak untuk para lulusan SMP di Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar, serta Kursus Penilik Pajak untuk lulusan SMA di Jakarta.

Khusus untuk pendidikan petugas tingkat menengah, Jawatan Pajak memanggil pengikut-pengikut kursus dari tahun 1948 yang karena perjuangan tersebar di berbagai tempat. Terkumpul beberapa orang, yang kemudian dididik di Jakarta selama dua setengah tahun. Setelah lulus mereka ditempatkan di daerah yang kekurangan pegawai menengah. 

Hal yang sama dilakukan Jawatan Bea Cukai, Akuntan Negara dan Akuntan Pajak yang menyelenggarakan Kursus Thesauri Negara. 

Penataan, pengkaderan dan pembinaan pegawai keuangan diaktifkan kembali setelah pengakuan kedaulatan. Pada 1952, Kementerian Keuangan mengadakan kursus jabatan ajun akuntan, yang meliputi ajun akuntan negara dan ajun akuntan pajak. Kursus untuk mendidik para calon akuntan negara diadakan di Bandung, sedangkan akuntan pajak di Jakarta.

Sementara untuk pendidikan kader tingkat tinggi, Kementerian Keuangan mengirim beberapa orang ke luar negeri. Yang diberangkatkan terutama tenaga-tenaga dari Jawatan Pajak dan Akuntan. 

Baca juga: Jejak Direktorat Pajak

Agar mempersingkat waktu belajar, diambil mahasiswa-mahasiswa dari fakultas ekonomi dan hukum yang sekurang-kurangnya duduk di tingkat II. Untuk pendidikan pajak dan bea cukai para calon dikirim ke Rijksbelasting Academie, Rotterdam. Sedangkan untuk pendidikan akuntan ke Rotterdam, Amsterdam, dan London. 

Pengiriman ke Rijksbelasting Academie dilakukan sampai dua angkatan. Sekembalinya ke Indonesia pada 1955, mereka ditugaskan di daerah-daerah.

“Meskipun jumlahnya tidak banyak, tetapi tambahan tenaga tersebut banyak memberikan bantuan kepada jawatan masing-masing dalam memajukan jawatan-jawatan tersebut,” tulis 20 Tahun Indonesia Merdeka.

Menurut buku Kabinet Karya, yang dikirim belajar ke Rijksbelasting Academie berjumlah 11 orang; 10 lulus dan telah kembali semua pada akhir 1955. Disusul kemudian rombongan kedua yang terdiri dari 15 orang di mana 10 orang telah lulus.

Pengiriman mahasiswa ke luar negeri, terutama Belanda, tak bisa dilanjutkan karena situasi politik waktu itu. Maka, mau tak mau mengadakan pendidikan kader tingkat tinggi sendiri di Indonesia dengan tenaga-tenaga pengajar dari perguruan tinggi dan kementerian-kementerian.

Pendidikan di masa kolonial Hindia Belanda (KITLV)

Pendidikan yang Terintegrasi

Selain kursus-kursus, Kementerian Keuangan mulai memikirkan pendidikan yang terintegrasi. Hal ini direalisasikan ketika Kementerian Keuangan membutuhkan inspektur-inspektur keuangan pada Jawatan Pajak. Surat keputusan yang dikeluarkan Menteri Keuangan Jusuf Wibisono tahun 1956 menjadi dasar diselenggarakan Akademi Pajak di Jakarta.

“Hal ini dilakukan Jusuf Wibisono untuk mendapatkan para pegawai pajak yang kompeten,” tulis Saeful Anwar dan Anugrah E.Y. (ed.) dalam Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa.

Pendidikan di Akademi Pajak diadakan selama tiga tahun. Sebagian mahasiswa diambil dari para penilik pajak yang berijazah Kursus Kontrolir Pajak dan telah bekerja sekurang-kurangnya dua tahun. Selain itu Akademi Pajak menerima pegawai berpangkat penata pajak dan telah bekerja selama tujuh tahun. Tenaga pengajarnya adalah dosen dari Universitas Indonesia dan pegawai tinggi ahli Kementerian Keuangan.

Pendidikan di Akademi Pajak kemudian diperluas dengan adanya jurusan bea dan cukai. Maka, pada 1957, namanya diubah menjadi Akademi Pajak dan Pabean. Sebagaimana jurusan pajak, mahasiswa jurusan bea cukai diambil dari mahasiswa menengah dan harus memenuhi syarat-syarat tertentu.

“Selama masa pendidikan para mahasiswa dibebaskan dari tugas bekerja kantor sehari-hari dengan maksud agar berkesempatan penuh untuk belajar. Para lulusan mengadakan ikatan dinas selama 5 tahun,” tulis 20 Tahun Indonesia Merdeka.

Baca juga: Mengurai Sejarah APBN Indonesia

Pada 1959, Akademi Pajak dan Pabean menghasilkan 12 lulusan yang ditempatkan di daerah-daerah dan sebagian kemudian menjadi kepala Kantor Inspeksi Keuangan. 

Akademi Pajak dan Pabean dibubarkan pada 1959. Sebagai gantinya, pada tahun itu juga Kementerian Keuangan mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Keuangan Negara (STIKN). Mahasiswa Akademi Pajak dan Pabean yang belum selesai pendidikan dipindahkan ke sini.

STIKN didirikan untuk menghasilkan kader-kader pimpinan bagi berbagai jawatan di Kementerian Keuangan. Karena itu pendidikan di lingkungan Kementerian Keuangan dikoordinasikan menjadi satu dan ditingkatkan menjadi setaraf perguruan tinggi. 

STIKN memiliki empat jurusan: pajak umum, bea cukai, akuntansi, dan kebendaharaan umum. Lama pendidikan lima tahun yang meliputi tiga tingkat: pendidikan persiapan, pendidikan umum, dan pendidikan keahlian. Para pengajarnya berasal dari Universitas Indonesia dan departemen-departemen.

Pada 1963, kedudukan STIKN disamakan dengan perguruan tinggi negeri. Maka, seluruh lulusannya berhak memakai gelar Sarjana Keuangan Negara.

“Perkembangan lebih lanjut dari Lembaga Pendidikan tersebut akan dikembangkan menjadi suatu Institut Keuangan Negara,” tulis 20 Tahun Indonesia Merdeka, Volume 2. Pengembangan itu terjadi pada 1967 dengan nama Institut Ilmu Keuangan.

Baca juga: Jalan Panjang Penentu Arah Perekonomian

Tapi sebelum IIK berdiri, ada beberapa akademi yang didirikan Kementerian Keuangan untuk memenuhi kebutuhan personalia yang cakap. Pada 1960, didirikan Akademi Djabatan Ajun Akuntan, yang kemudian dimekarkan menjadi Akademi Ajun Akuntan Negara dan Akademi Ajun Akuntan Pajak. Pada tahun yang sama Kursus Thesauri Negara ditingkatkan menjadi Akademi Thesauri Negara. 

Sementara untuk perluasan dari Kursus Tinggi Pengawasan Keuangan dan Kursus Pemeriksa Keuangan didirikan Akademi Dinas Pemeriksa Keuangan pada 1963 yang berada di bawah Badan Pemeriksa Keuangan. Dua tahun kemudian didirikan Akademi Perbendaharaan Negara sebagai pengembangan dari Kursus Jabatan Penata Perbendaharaan.

Untuk mengintegrasikan akademi dan sekolah tinggi tersebut, Kementerian Keuangan mendirikan Institut Ilmu Keuangan (IIK) pada 15 Desember 1967.

“Institut Ilmu Keuangan adalah lembaga pendidikan di lingkungan Departemen Keuangan yang merupakan pengintegrasian Sekolah Tinggi Ilmu Keuangan Negara, akademi-akademi di lingkungan Departemen Keuangan dan Akademi Dinas Pemeriksa Keuangan,” ungkap Saeful Anwar dan Anugrah E.Y. (ed.).

Dengan pengintegrasian tersebut, akademi atau sekolah tinggi dijadikan ke IIK dan menjadi jurusan sesuai bidangnya. Akademi Thesauri Negara, Akademi Perbendaharaan Negara, Akademi Dinas Pemeriksa Keuangan untuk Jurusan Umum diintegrasikan menjadi jurusan kebendaharaan umum IIK. Akademi Dinas Pemeriksa Keuangan jurusan perusahaan dan Akademi Ajun Akuntan Negara diintegrasikan menjadi jurusan akuntansi. Akademi Ajun Akuntan Pajak menjadi jurusan pajak umum. Sedangkan STIKN diintegrasikan ke IIK sesuai jurusan masing-masing.

Jusuf Wibisono, menteri keuangan periode 1956-1957 (Perpusnas)

Pusat Pendidikan 

Sejak 1950-an, Kementerian Keuangan juga memiliki program jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan internal yang dilakukan Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) di bawah direktorat masing-masing. Di antaranya Pusdiklat Kebendaharaan Umum, Pusdiklat Perpajakan, Pusdiklat Bea dan Cukai, Pusdiklat Pengawasan, Pusdiklat Iuran Pembangunan Daerah dan Pegadaian, serta Pusdiklat Akuntansi Negara atau biasa disebut Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).

Agar masing-masing direktorat bisa fokus pada tugas dan fungsi teknisnya, Kementerian Keuangan mendirikan Badan Pendidikan dan Latihan Keuangan (BPLK) pada 1975. Dengan lahirnya BPLK, semua Pusdiklat dilimpahkan ke BPLK. Demikianlah pula dengan IIK, yang secara berangsur-angsur diintegrasikan ke dalam tugas-tugas BPLK.

Organisasi BPLK berkali-kali mengalami perubahan demi menyesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Pada 2001, BPLK kemudian berubah menjadi Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK).

BPPK menaungi satu sekretariat dan enam Pusdiklat: Pegawai, Anggaran, Perpajakan, Bea dan Cukai, dan Keuangan Umum. Adapun STAN tak lagi berada di dalam internal organisasi BPPK kendati pembinaannya tetap di bawah BPPK. 

Ilustrasi pendidikan di masa lampau (geheugen.delpher.nl)

Menyusul perkembangan program reformasi birokrasi dan transformasi kelembagaan, Kementerian Keuangan mengubah STAN menjadi Politeknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (PKN STAN) pada 2015. PKN STAN merupakan perguruan tinggi di lingkungan Kementerian Keuangan, yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan melalui kepala BPPK.

“Secara teknis akademik, pembinaan PKN STAN dilaksanakan oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Sedangkan pembinaan secara teknis operasional dan administratif dilaksanakan oleh Menteri Keuangan,” ungkap Saeful Anwar dan Anugrah E.Y. (ed.).

Perkembangan teknologi informasi yang pesat memacu BPPK untuk menggelar media-media pembelajaran digital. Selain meluncurkan KLC pada 2017, BPPK acap menggelar diskusi dan berbagi pengalaman dengan para senior di lingkungan Kementerian Keuangan lewat beberapa program. Salah satunya dengan menghelat Experiential Learning Week untuk internal BPPK selama empat hari pada 13-16 April 2021 dalam rangka milad BPPK ke-46.

Sepanjang usianya yang hampir setengah abad, BPPK sudah memainkan peranan penting dalam menghasilkan pengelola keuangan yang unggul.

Baca juga: Tiga Menteri Keuangan Terbaik Indonesia di Dunia

TAG

kemenkeu

ARTIKEL TERKAIT

A.A. Maramis Bergelut dengan Kesehatan A.A. Maramis Menikmati Masa Pensiun A.A. Maramis, diplomat dalam Situasi Gawat Darurat Usaha Menteri Keuangan A.A. Maramis Menyelamatkan Ekonomi Indonesia A.A. Maramis dari Advokat Partikelir Menjadi Menteri Keuangan A.A. Maramis dari Pendudukan Jepang Hingga Menjadi Anggota BPUPK A.A. Maramis Bertemu Belahan Jiwa A.A. Maramis Advokat Andal yang Nasionalis A.A. Maramis di Negeri Belanda, Mengadu Peruntungan Mendapatkan Kebangsaan A.A. Maramis Kecil, dari Tikala untuk Indonesia