MENJADI orang kulit putih atau memiliki anggota keluarga berkulit putih adalah nasib buruk pada masa pendudukan Jepang. Jepang mengambil sikap keras pada orang-orang Eropa ataupun yang telah bercampur dengan anak negeri. Orang Eropa dan Indo jadi pariah. Dipites seolah caplak. Diinjak serupa kecoa.
Di Jakarta—dulunya Batavia, Jepang menyita rumah-rumah orang Belanda di kawasan Tjideng (ejaan baru Cideng, red). Rumah-rumah itu jadi tempat tahanan bagi perempuan sipil, anak-anak perempuan, dan anak lelaki berusia di bawah 10 tahun dari berbagai bangsa Eropa. Laki-laki sipil dewasa dan berusia di bawah 10 tahun ditempatkan secara terpisah.
Mereka semua disebut interniran. Ditahan di area pagar kawat berduri dua meteran. Penjara seperti ini tersebar di beberapa tempat di Jawa. Bahkan sampai ke luar Indonesia. Yang di luar Indonesia ditujukan untuk personil militer atau aparatur pemerintahan Belanda.
"Dimana mereka dipekerjakan sebagai buruh kasar di berbagai proyek pertahanan di tempat-tempat yang mempunyai nilai strategis militer," urai R.H.A. Saleh dalam Allied Prisoners of War and Internees (A.P.W.I) di Jawa dan Repatriasinya Setelah Perang Berakhir, tesis pada Universitas Indonesia.
Sementara itu, Firman Lubis, dalam Kenangan Semasa Remaja, menyebutkan bahwa mereka yang dimasukkan kamp umumnya orang-orang Belanda asli. Yang berdarah campuran (Indo) boleh tinggal di luar, tapi jika dirasa darah Belandanya lebih dominan akan tetap ditahan. Tentara pendudukan Jepang akan memeriksa akte kelahiran orang-orang Belanda dan Indo.
Perubahan situasi ini mengkhawatirkan keluarga besar Alex Maramis. Beberapa anggota keluarga mereka adalah Indo. Tapi Alex Maramis sendiri justru tenang-tenang saja. Dia meminta anggota keluarganya untuk tetap tenang. Padahal tiap saat bisa saja tentara pendudukan jepang menangkap mereka dan memasukkan mereka ke dalam kamp tahanan.
Suatu hari patroli Jepang memasuki wilayah sekitar tempat tinggal Alex Maramis dan keluarga. Namun anehnya, mereka tidak memasuki rumah Alex Maramis, melainkan hanya melewatinya begitu saja. Rupanya patroli tersebut mengetahui bahwa rumah tersebut dihuni oleh seorang yang harus diperlakukan secara berbeda.
Kepada Parengkuan, penulis A.A. Alex Maramis, SH., Wakkary, salah satu anggota keluarga Alex Maramis, mengungkapkan bahwa kejadian itu tak lepas dari apa yang pernah dilakukan Alex Maramis pada masa sebelumnya.
Alex Maramis pernah menangani kasus seorang pengusaha Jepang pada masa sebelum perang dan berhasil membela kliennya tersebut. Merasa berhutang budi, pengusaha tersebut memberinya sebuah patung Budha yang dapat digunakan Alex Maramis sewaktu-waktu bila berurusan dengan Jepang.
Lepas dari kisah tersebut, rekam jejak karir Alex Maramis sebagai advokat handal, mungkin juga mempengaruhi keputusan Jepang terhadap keluarga Alex. Dugaan ini terlihat saat Mr Sunario, kawan lama Alex Maramis, berkunjung ke kediamannya.
Keduanya bertemu dalam organisasi Vereeniging van Advocaaten atau Persatuan Advokat, organisasi yang dimasuki Alex Maramis selepas meninggalkan Palembang dan pindah ke Jakarta pada Juli 1939.
Sunario memberi Alex Maramis selembar simbol yang harus ditempelkan di bagian depan rumah. Tanda itu diberikan oleh Jepang dan merupakan jaminan bahwa rumah mereka aman dari tindakan-tindakan pasukan Jepang.
Rupanya Mr. Sunario, seperti halnya banyak tokoh penting pada masa pendudukan Jepang, memilih berkolaborasi dengan Jepang sebagai strategi perjuangan meraih kemerdekaan. Bekerja sama dengan Jepang dapat membuat ruang gerak dan konsolidasi antar tokoh menjadi leluasa dan aman.
Itu sebabnya Mr. Sunario bisa memberikan perlindungan pada Alex Maramis dan keluarga saat tentara Jepang mengadakan penangkapan orang-orang Eropa dan separuh Eropa alias Indo.
Kedekatan Alex Maramis dengan tokoh-tokoh nasional sebenarnya bukan hal baru. Mereka sudah saling mengenal secara akrab karena pengalaman studi dan aktivitas di organisasi pergerakan.
Salah satu yang juga sangat dekat dengan Alex Maramis adalah Mr. Ahmad Subardjo. Orang ini, seperti halnya Sunario, juga memilih berkolaborasi dengan Jepang sebagai strategi perjuangan. Mereka karib pada masa kuliah hukum di Leiden, Belanda. Mereka juga berteman dengan tokoh lain seperti Hatta, Natsir Pamuntjak, Iwa Kusumasumantri, dan beberapa lainnya.
Subardjo bahkan sudah dekat dengan Alex Maramis sejak sebelum berangkat ke Belanda. Mereka adalah kawan sekelas di Sekolah Raja Willem III (KW III) di Salemba, Jakarta. “Bersama Natsir Pamuntjak dan Alex Maramis, saya berlayar bersama ke Belanda untuk menempuh studi hukum di universitas Leiden pada Juni 1919,” demikian ungkap Ahmad Subardjo dalam Kesadaran Nasional.
Menjadi Anggota BPUPK
Menjelang kekalahannya dalam perang dunia kedua, Jepang membentuk sebuah badan untuk mempersiapkan rencana kemerdekaan Indonesia, yaitu Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Badan ini berisi wakil-wakil kelompok dari berbagai suku di Jawa dan Madura.
Jepang membentuk Badan ini pada 28 Maret 1945. Badan ini mempertemukan Alex Maramis dengan tokoh-tokoh bangsa lainnya sebagai salah satu anggota BPUPK. Dia bertemu kembali dengan banyak tokoh yang telah dikenalnya semasa studi.
Alex Maramis memainkan peran yang penting selama persidangan yang berlangsung dua kali. Pada persidangan pertama, 29 Mei hingga 1 Juni 1945, anggota membahas persoalan krusial menyangkut dasar eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Ini jadi perdebatan. Persoalan krusial tersebut berawal dari pertanyaan penting yang diajukan oleh ketua BPUPK, Radjiman Widyodiningrat. “Jika negara Indonesia yang dicita-citakan bersama itu lahir, akan didasarkan pada nilai-nilai seperti apakah nantinya negara yang akan didirikan itu?”
Banyak tokoh memberikan pandangannya sejak awal persidangan. Yang paling menonjol adalah Sukarno. Pada 1 Juni 1945, hari ketiga persidangan pertama tersebut, Sukarno menyampaikan pidatonya tanpa teks yang kemudian dikenal sebagai pidato kelahiran Pancasila.
Pidato tersebut mendapat sambutan meriah dan disetujui oleh seluruh anggota BPUPK. Radjiman kemudian meminta Sukarno menindaklanjuti pidatonya tersebut untuk dirumuskan secara formal menjadi dasar negara.
Sukarno kemudian membentuk panitia kecil dalam masa reses menuju persidangan kedua. Anggotanya delapan orang. Tugasnya membicarakan permintaan ketua BPUPK. Selanjutnya panitia kecil itu mengalami sedikit perombakan menjadi sembilan anggota.
Dalam Panitia Sembilan inilah Alex Maramis ikut menjadi salah satu anggotanya bersama Sukarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Subardjo, KH Abdul Kahar Muzakkir, KH Wachid Hasjim, Abikusno Tjokrosujoso, dan H. Agus Salim.
Panitia Sembilan berembuk dan menghasilkan sebuah naskah yang disepakati untuk menjadi naskah pernyataan kemerdekaan dan akan menjadi preambule atau pembuka bagi konstitusi yang akan dibicarakan pada masa sidang BPUPK berikutnya.
Oleh Mohammad Yamin, naskah tersebut kemudian disebut sebagai Gentlemens Agreement. Belakangan penyebutannya diubah menjadi Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.
Persidangan kedua BPUPK pada 10—17 Juli 1945 membahas berbagai hal terkait konstitusi sebuah negara. Alex Maramis memberikan sumbangan pemikiran penting saat membahas wilayah Republik Indonesia dan batas-batasnya.
Alex Maramis berpendapat bahwa persoalan batas wilayah negara tidak hanya harus melihat kepada sejarah bangsa Indonesia, tetapi juga harus mempertimbangkan hukum internasional Risalah Sidang BPUPKI-PPKI- UUD 1945
Dalam buku Risalah Sidang BPUPKI-PPKI- UUD 1945, Maramis berpendapat batas wilayah Indonesia seharusnya lebih mempertimbangkan kondisi riil saat itu yang merupakan wilayah pendudukan Jepang. Klaim sejarah bahwa batas wilayah indonesia adalah bekas wilayah pendudukan Belanda, alias Hindia Belanda, tidak perlu dipertimbangkan.
Sementara itu dalam buku Muhammad Yamin Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar Djilid I, disebutkan pula pandangan Alex. ”Dalam peperangan ini Dai Nippon telah menguasai beberapa daerah-daerah jang dahulu dikuasai oleh negara-negara jang lain. Saja berpendapat, bahwa, oleh karena itu, karena Dai Nippon telah menduduki Negara Indonesia, Dai Nippon sudah bisa menganggap daerah ini sebagai daerah jang sudah takluk kepada Dai Nippon.” kata Alex Maramis,
Alex melanjutkan bahwa daerah lain seperti Malaka, Borneo Utara, Timor Portugis dan sebagian dari pacta Papua yang dulunya di bawah kekuasaan negara Inggris harus ditilik pula dari sudut hukum internasional.
“Maka oleh karena itu saja berpendapat, bahwa kita mupakat sekali dengan pendapat anggota-anggota Muhd. Yamin dan Ir. Soekarno jaitu bahwa kita harus menilik soal itu djuga dari sudut hukum internasional,” lanjutnya.
Alex meminta rakyat di daerah itu diberikan kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri. Ikut Republik atau tidak. ”...sebaiknya kita mohon kepada Pemerintah Dai Nippon supaja memberi djalan kepada rakjat Malaka, Borneo Utara, Timor dan Papua yang dikuasai oleh Inggeris, untuk menentukan nasibnya sendiri, apakah rakjat itu suka bersama-sama dengan rakjat Indonesia,” kata Maramis.
Pada rapat besar BPUPK tanggal 15 Juli 1945 persoalan kewarganegaraan bagi keturunan asing menjadi bahasan peserta sidang. Sebelum rapat, draft tentang itu sudah disiapkan dalam Pasal 26 bab x rancangan undang-undang. Perdebatan muncul terkait status kewarganegaraan bagi warga keturunan.
Saat mendapat giliran bicara, Alex Maramis mengatakan, ”... saja mengusulkan supaja pasal 26 tetap, akan tetapi supaja aturan ditambah dengan satu pasal jang menetapkan, bahwa orang-orang lain dari pada orang Indonesia, misalnja peranakan Arab, Belanda atau Tionghoa jang mempunjai kedudukan Nederlandsch Onderdaan dianggap sebagai warga negara..”.
Ini artinya Alex menganggap bahwa orang-orang peranakan, baik Tionghoa, Arab, dan Belanda merupakan warga negara Indonesia.”
“Ini ada perlu djuga karena didalam pasal 29 dikatakan, bahwa dalam djawab ini ada duduk orang-orang Tionghoa peranakan. Oleh karena itu perlu orang-orang itu diberi suatu kedudukan sebagai warga negara. Djadi ditambah dengan satu pasal jang menetapkan bahwa peranakan Tionghoa, Arab dan Indo jang mempunyai kedudukan Nederlansch Onderdaan menurut undang-undang dulu diberi kedudukan sebagai warga negara,” lanjutnya, seperti yang tercatat dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI-UUD 1945 dan juga dalam Muhammad Yamin Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar djilid I.
Pandangan-pandangan Alex mendapat respon yang baik. Ini bukti Alex telah memberikan solusi bagi persoalan yang dihadapi oleh para penyusun rancangan undang-undang tersebut. Latar belakangnya sebagai ahli hukum mampu membuatnya memahami akar persoalan yang dihadapi secara logis dan sistematis sehingga menemukan jalan keluar.
Peran Alex Maramis tak hanya sampai di BPUPK. Kelak setelah kemerdekaan, dia masih berkontribusi dalam penyusunan aparat negara dan kelembagaannya. Bersama kawan lamanya, Mr. Ahmad Subardjo dan Soetardjo Kartohadikoesoemo, Alex Maramis ambil bagian dalam panitia kecil untuk merencanakan organisasi pemerintah pusat pada 19 Agustus 1945.
Panitia kecil pimpinan Ahmad Subardjo tersebut kemudian melapor kepada Ir. Sukarno, yang sehari sebelumnya terpilih sebagai Presiden RI, tentang nama-nama yang menjadi pembantunya sebagai menteri. Alex Maramis adalah salah satunya. Dia tercatat sebagai salah satu menteri negara.
Hanya berselang dua minggu kemudian, Alex Maramis diangkat menjadi menteri keuangan, setelah Dr. Samsi Sastrowidagdo yang sebelumnya dipilih sebagai menteri keuangan ternyata tidak dapat melaksanakan tugasnya dan tak sempat menyusun organisasi.*