PANDEMI Covid-19 membuat pemerintah Indonesia, dan juga semua negara di dunia, kelimpungan. Pemerintah terpaksa membatasi mobilitas dan kegiatan perekonomian. Pemerintah juga mengarahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan fokus mendukung percepatan pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi Covid-19.
“APBN masih menjadi instrumen penting dan bekerja luar biasa keras, untuk melindungi rakyat, untuk menangani dan menanggulangi Covid-19, serta memulihkan ekonomi,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam APBN Kita: Kinerja dan Fakta, Maret 2012, yang diterbitkan Kementerian Keuangan.
APBN merupakan rencana pengeluaran dan penerimaan negara untuk tahun mendatang. Sebagai bendahara negara, Kementerian Keuangan memiliki peranan vital dalam penyusunan dan pelaksanaan APBN sehingga mendapat sebutan penjaga keuangan negara (nagara dana rakca).
Mengelola anggaran negara bukanlah pekerjaan mudah. Jajaran Kementerian Keuangan yang memiliki tanggung jawab cukup berat harus bisa mewujudkan APBN yang kredibel, transparan, dan akuntabel. Hal ini berbeda dari sistem sebelumnya, yang mengacu pada undang-undang warisan kolonial.
Warisan Kolonial
Pada masa kolonial, penyusunan APBN mengacu pada Indische Comptabiliteitswet (ICW) yang berlaku sejak 1867. ICW tak memuat secara rinci susunan dan bentuk anggaran. Keduanya diatur dalam Wet op de Staatsinrichting van Nederlandsch Indie atau biasa disebut Indische Staatsregeling (IS), semacam undang-undang tentang Ketatanegaraan Hindia Belanda. Sementara pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara digunakan Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR).
Setelah 1920-an, ICW menjelaskan lebih jelas alur penyusunan APBN. Rancangan anggaran diajukan pemerintah melalui Department van Financien kepada Volksraad (Dewan Rakyat). Jika Volksraad dan Gubernur Jenderal memiliki kesepahaman terhadap rancangan anggaran, mereka bisa menetapkannya melalui berbagai undang-undang.
Jadi, “anggaran tidak diundangkan dalam satu undang-undang,” ulas Imam Rusdi dalam “Perkembangan Sistem Anggaran di Indonesia”, termuat dalam Rupiah di Tengah Rentang Sejarah. Setiap undang-undang mencakup satu anggaran untuk satu departemen pemerintah. Undang-undang itu harus diumumkan lewat Javasche Courant.
Baca juga: Mengurai Sejarah APBN Indonesia
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat 1 sebagai pedoman dasar penyusunan APBN. Pemerintah bertugas menghitung anggaran tersebut lalu diajukan ke DPR tiap tahun. Pengesahannya melalui undang-undang.
Praktik penyusunan APBN masih merujuk pada ICW. Sebab, Indonesia belum mempunyai UU khusus tentang keuangan negara. Tentu saja ada beberapa penyesuaian. Antara lain dengan membentuk Pejabatan Keuangan (sekarang setara eselon 1) dalam struktur birokrasi di Departemen Keuangan. Saat itu penyusunan teknis APBN menjadi tanggung jawab bagian Urusan Anggaran Negara.
Idealnya APBN disusun secara berimbang antara penerimaan dan pengeluaran. Tapi kondisi tidak memungkinkan. Pengeluaran lebih besar daripada penerimaan atau defisit.
“Defisit anggaran belanja pemerintah RI terjadi karena pengeluaran secara besar-besaran di bidang militer untuk mempertahankan kemerdekaan RI,” sebut Saeful Anwar dan Anugrah E.Y. (ed.) dalam Organisasi Kementerian Keuangan Dari Masa Ke Masa.
Karena penerimaan dari pengumpulan dana masyarakat dan pinjaman nasional tak cukup, pemerintah terpaksa mencetak uang untuk membiayai pengeluaran itu. Kebijakan ini berpotensi menyebabkan inflasi.
Baca juga: Kementerian Keuangan di Masa Perang
Selain itu, Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945-1958) menyebut situasi perang selama 1945-1949 membuat “urusan administrasi keuangan negara terpaksa diterlantarkan.” BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) sebagai DPR sementara pun tak bisa bekerja maksimal membaca dan mengesahkan APBN.
Situasi lebih tenang muncul pada 1950. Penyusunan APBN dibenahi. Struktur Departemen Keuangan kembali ditata.
Saat itu APBN menjadi tanggung jawab Biro Urusan Anggaran dan Biro Inpres Anggaran dari Jawatan Perbendaharaan dan Kas Negeri. Tapi keberadaan biro tersebut belum bisa mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar Sementara 1950 tentang kewajiban pemerintah dalam menyerahkan APBN ke DPR sebelum awal tahun fiskal (April setiap tahunnya). Pemerintah selalu terlambat menyusun APBN sepanjang dekade 1950-an karena seringnya pergantian kabinet.
Selama dekade 1950-an APBN juga selalu mengalami defisit. Upaya memadamkan pergolakan di daerah menyedot pengeluaran cukup besar.
Baca juga: Menghapus Lembaga Keuangan Warisan Kolonial
Pada pengujung 1950-an, Sukarno membubarkan DPR setelah APBN yang diajukannya ditolak. Sukarno juga mengeluarkan Perppu Nomor 6 Tahun 1960 untuk menetapkan APBN. Dia menggunakan APBN 1959 untuk APBN 1960.
Pada masa itu Sukarno juga memecah posisi Menteri Keuangan menjadi Menteri Urusan Perdagangan, Pembiayaan, dan Pengawasan; Menteri Urusan Bank Sentral; dan Menteri Urusan Anggaran Negara. Meski sudah menempatkan urusan anggaran pada posisi khusus, APBN belum juga beranjak dari defisit.
“Saat itu fiskal dilakukan secara unlimited. Jangan lupa Presiden Sukarno waktu itu melakukan politik yang sangat heavy kepada masalah security termasuk konfrontasi, dengan Belanda karena Papua, juga dengan Malaysia,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani, dikutip Media Keuangan, Oktober 2019.
Anggaran Berimbang
Masa Orde Baru menandai arah baru dalam penyusunan APBN. Menurut Anne Booth dan Peter McCawley dalam “Kebijaksanaan Fiskal” yang termuat dalam Ekonomi Orde Baru, APBN dipandang oleh Orde Baru sebagai rencana kerja bangsa dengan tujuan “mempertahankan stabilitas proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.”
Untuk mencapai tujuan itu, Menteri Keuangan Ali Wardhana dan tim ekonomi menerapkan kebijakan APBN berimbang. Artinya, jumlah penerimaan dan pengeluaran selalu dijaga berimbang.
Tenaga teknis penyusunan APBN berbeda dari masa sebelumnya. Departemen Keuangan membentuk Direktorat Djenderal Urusan Anggaran dan Pembelanjaan (DDUAP) pada 1966. Tak lama kemudian, Direktorat itu berganti nama jadi Direktorat Djenderal Anggaran (DDA) –kemudian jadi DJA sesuai dengan ejaan baru.
Misinya sama: menghimpun berbagai kebutuhan penyusunan APBN seperti penerimaan dan pengeluaran setiap departemen dan daerah. Direktorat ini terdiri atas empat bagian yang lebih kecil: Sekretariat Direktorat Djenderal Anggaran, Direktorat Perentjanaan Anggaran, Direktorat Pelaksanaan Anggaran, dan Direktorat Perbendaharaan Negara.
Baca juga: Mengurai Sejarah Lembaga Bea dan Cukai
Kemudian pada 1967, DDA ditambah dua bagian lagi: Direktorat Tata Usaha Anggaran dan Direktorat Perdjalanan. Penambahan ini untuk memudahkan sinkronisasi dan koordinasi kerja internal DDA.
Perubahan susunan DJA terjadi lagi pada 1975. Direktorat Pelaksanaan Anggaran dipecah jadi dua: Direktorat Anggaran Rutin dan Anggaran Pembangunan. Pembagian ini mengikuti istilah dalam APBN. Direktorat Perentjanaan Anggaran juga berubah menjadi Direktorat Pembinaan Anggaran Pendapatan dan Penyelenggaraan Keuangan.
Terobosan baru penataan DJA berlangsung pada 1988. Ada penambahan dua bagian: Direktorat Dana Luar Negeri dan Kantor Pengolahan Data dan Informasi Anggaran. Dua tahun berikutnya, struktur internal vertikal di dalam DJA juga berkembang dengan adanya Kantor Wilayah DJA di tiap provinsi.
Sampai 1995, tercatat sudah 23 kali perubahan Organisasi dan Tata Kerja DJA. Perubahan itu bertujuan untuk mangkus dan sangkilnya kerja-kerja DJA dalam menyusun APBN.
Kebijakan APBN berimbang masa Orde Baru sukses menurunkan dan menekan inflasi. APBN berimbang juga mendukung pertumbuhan dan mendorong pembangunan. Namun kesuksesan itu bukan tanpa cela. Sebagian besar penerimaan negara sebenarnya bersumber dari utang luar negeri, yang dalam APBN diperlakukan sebagai bagian dari penerimaan negara dan disebut dengan istilah “penerimaan pembangunan”.
Baca juga: Deregulasi, Cara Orde Baru Mengerek Pertumbuhan Ekonomi
Dari sudut pandang ekonomi, kata Yusuf Wibisono dalam (Mimpi) Anggaran Untuk Rakyat Miskin, anggaran berimbang jelas tidak memiliki makna. Bila “penerimaan pembangunan” dikeluarkan dari penerimaan negara, anggaran negara selalu mengalami defisit dalam rentang tiga dekade.
Terjaganya inflasi harus dibayar dengan akumulasi utang yang terus meningkat dan beban pembayaran bunga utang yang semakin memberatkan. Utang luar negeri juga mempengaruhi “kedaulatan” dalam penyusunan APBN. Pihak kreditur, terutama kelompok negara donor yang tergabung dalam Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), kerap mendikte. Bahkan mengambil alih hak budget yang dimiliki oleh DPR. Hak budget adalah Hak DPR untuk menerima atau menolak RAPBN.
“Melalui IGGI, hak budget itu dianggap dirampas dari DPR. Sebab lembaga donor itu hanya akan memberikan bantuannya bila melihat RAPBN cocok dengan keinginan mereka,” sebut Anwar Nasution dalam “DPR dan IGGI dan Hak Budget”, termuat dalam Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia: Perkembangan Pemikiran 1965-1981.
Sejarah Baru
Pasca krisis ekonomi 1997-1998 dan jatuhnya rezim Orde Baru, terjadi perubahan fundamental pada pengelolaan keuangan negara. Format APBN disusun menurut standar internasional, yakni Government Finance Statistic (GFS). Dalam sistem ini, pinjaman dalam negeri dan pinjaman luar negeri tak lagi diklasifikasikan sebagai penerimaan negara tapi sumber pembiayaan anggaran negara. Penyusunannya juga lebih transparan.
Momen penting dalam sistem anggaran negara akhirnya tiba dengan terbitnya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Paket UU pengelolaan keuangan negara ini menjadi landasan pengelolaan keuangan negara, menggantikan ICW warisan Belanda.
Baca juga: Jalan Panjang Penentu Arah Perekonomian
Terbitnya paket UU pengelolaan keuangan negara menandai era baru pengelolaan APBN. Penyusunan APBN kini menggunakan mekanisme pembahasan dan format baru, yaitu format anggaran terpadu, di mana alokasi anggaran berdasarkan pada program kementerian/lembaga. Format ini meniadakan pengelompokan antara anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Perubahan signifikan lainnya adalah penerapan sistem penganggaran berbasis kinerja dan penyusunan anggaran dalam kerangka pengeluaran jangka menengah.
Reformasi pengelolaan keuangan negara mencakup seluruh aspek, dari penyusunan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran. “Paket UU pengelolaan keuangan negara memutus masa lalu secara signifikan, mempromosikan profesionalisme dan menjadi harapan untuk menghapus masalah kronis dalam pengelolaan keuangan publik, yaitu korupsi,” tulis Yusuf Wibisono.
Lahirnya paket UU tersebut tentu berdampak pada organisasi di Departemen Keuangan. Departemen Keuangan melakukan penataan organisasi yang diselaraskan dengan undang-undang di bidang keuangan negara.
Baca juga: Tiga Menteri Keuangan Terbaik Indonesia di Dunia
Sejak era reformasi, Departemen Keuangan berubah jadi Kementerian Keuangan. Bersama itu pula Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) berkembang menjadi Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK) setelah pengesahan UU Nomor 17 Tahun 2003. UU itu membuat pemisahan fungsi antara penyusunan anggaran dan pelaksanaan anggaran.
Di sisi lain, ada penyatuan terhadap direktorat lain berkaitan dengan penyusunan anggaran sehingga DJA berubah jadi DJAPK. “DJAPK mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang fiskal dan kerangka ekonomi makro, anggaran pendapatan dan belanja negara, perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, penerimaan negara bukan pajak, dan pembinaan keuangan badan layanan umum,” ungkap Saeful Anwar dan Anugrah E.Y.
Tapi pada 2006, DJAPK kembali dipecah lagi. Mengingat cakupan tugas dan fungsinya ternyata sangat luas. DJAPK kembali menjadi DJA.
Dari ulasan sejarah ringkas APBN ini, dapat terlihat bahwa penyusunan APBN bukan sebuah hal yang mudah. Penyusunannya tak hanya melulu terkait satu kementerian saja, tapi juga berkaitan dengan keadaan sosial dan politik negara.