Masuk Daftar
My Getplus

A.A. Maramis Kecil, dari Tikala untuk Indonesia

Menelisik kehidupan masa kecil Alex yang berasal dari keluarga low profile. Keterangan tentangnya banyak didapat dari orang-orang terdekat.

Oleh: Historia | 21 Okt 2022
Alexander Andries Maramis (berdiri) berfoto bersama sejumlah anggota organisasi Perhimpoenan Indonesia. (Sumber: Wikimedia Commons)

HIDUP masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara pada masa kolonial Belanda tak beda jauh dari masyarakat wilayah lain Nusantara. Mereka dikaruniai alam yang indah dan sumber tanaman pangan yang melimpah. 

Orang Minahasa umumnya penganut Kristiani, sama dengan kebanyakan orang Belanda. Kristen membuat masyarakat Minahasa menjadi masyarakat yang berkarakter lembut. Kejahatan yang dulunya marak, berkurang pesat selama masa penyebaran Kristen.

”…Orang Minahasa telah menjadi penurut yang lembut, kejahatan telah berkurang. Keadaan ini telah berubah atas usaha agama Kristen dan hasil sekolah Zending yang mulai didirikan pada tahun 1831,” terang Bambang Suwondo, dkk, dalam Sejarah Daerah Sulawesi Utara.

Advertising
Advertising

Tetapi kesamaan agama tak lantas membawa pada kesamaan nasib bagi orang Minahasa. Belanda menganggap mereka sebagai warga kelas dua yang layak dieksploitasi karena mereka pribumi non-Eropa. Akibatnya alam yang indah dan tanaman pangan yang berlimpah tak berarti banyak buat hidup mereka.

Di sisi lain, periode awal 1900-an menandai munculnya kelas baru di tengah masyarakat di Manado. Kelas ini mendapat pendidikan Belanda. Mereka kemudian mengisi pos-pos pemerintahan Belanda di Manado dan hidup berkecukupan.

Di antaranya banyak juga yang menjadi anggota Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL). Anggota KNIL dari Manado adalah salah satu kelompok yang karirnya maju saat itu. Bahkan Pemerintah kolonial memberikan perhatian khusus kepada mereka.

”Sesuai dengan pandangan yang berlaku tentang kelompok etnis mana yang menjadi prajurit yang hebat, perhatian khusus diberikan pada pendaftaran rekrutan orang Ambon dan Manado. Di Sulawesi Utara para kepala nagari dijanjikan tambahan sepuluh gulden untuk setiap penduduk desa yang mendaftar,” tulis Kees Van Dijk, dalam The Netherlands Indies and The Great War. 

Sebelumnya, kelompok ini pernah membantu Belanda dalam memerangi Pangeran Diponegoro. 

”Pada masa ini pula (1826 - 1830) orang-orang Minahasa di bawah pimpinan H.W. Dotulong, Palar, H. Supit, B.Th. Sigar, Inkiriwang, Mandagi, dan lain-lain membantu Belanda dalam perang Diponegoro, sehingga Pangeran Diponegoro dibuang ke Manado pada tahun 1830, kemudian ke Makasar, dan meninggal di sana pada tahun 1855,” tulis Bambang Suwondo dkk, dalam Sejarah Daerah Sulawesi Utara.

Berbeda dengan kelompok itu, orang Minahasa lainnya seperti hidup segan, tapi mati pun tak mau. Hingga tampil seorang dari keluarga Maramis yang mengabdikan dirinya untuk membela masyarakat kaum papa. 

Sebutlah nama Bernadus Maramis, dari Tonsea, salah satu distrik di Kota Manado. Dia menjabat sebagai pokrol bambu. Tugasnya menjaga hak-hak orang Minahasa dari ketidakadilan hukum pemerintah kolonial. 

Peran pokrol bambu di tengah-tengah masyarakat Minahasa ketika itu amat penting. Pokrol bambu adalah seseorang yang memberi nasihat hukum tetapi belum memperoleh kualifikasi atau pendidikan hukum. Dahulu pokrol bambu menjadi aktor penting dalam pelayanan hukum karena masyarakat umum merasa berjarak dengan advokat yang berizin.

Kiprah Bernadus sebagai pokrol bambu dikenal antero Distrik Tonsea, juga Kota Manado. Bernardus mengangkat marwah nama keluarga Maramis. Keluarga ini merupakan salah satu keluarga terpandang di Tonsea. Selain karena tergolong kelas atas, marga Maramis juga dikenal karena kiprah perjuangannya membela rakyat. 

Selain Bernadus, ada seorang tokoh lagi yang namanya abadi sebagai pahlawan. Dialah sang anak, Maria Walanda Maramis.

Anak Bernadus lainnya, Andries Alexander Maramis pada kemudian hari melanjutkan perjuangan sang ayah sebagai pokrol bambu. Andries lulusan Hoofdenschool (sekolah raja) Tondano. Dari Andries nantinya lahir seorang anak yang mengangkat martabat keluarga Maramis di pentas nasional. 

Dia adalah Alexander Andries Maramis. Masyarakat Indonesia mengenalnya dengan nama A.A. Maramis. Sedangkan keluarga dan orang-orang dekatnya memanggilnya dengan nama Alex Maramis.

Alex Maramis lahir di Tonsea pada 20 Juni 1897. Dia tumbuh jadi anak yang pendiam, tapi cerdas dan menyukai seni. Namanya kopian langsung dari nama sang ayah. Cuma ditukar saja posisinya. Alexander-nya di depan, Andries-nya di belakang. 

Keluarga Andries cukup unik. Adik Alex pun punya nama serupa. Bahkan namanya sama persis dengan nama sang ayah. Andries Alexander Maramis. Kalau tidak jeli, ketiga nama itu bisa tertukar. 

Soal ini bukannya tak pernah terjadi. Pernah buku Rupiah di Tengah Rentang Sejarah, terbitan Departemen Keuangan tahun 1991 membahas Alexander Andries Maramis. Buku itu menyebut bahwa Alex bersaudara kandung dengan Maria Walanda Maramis. Berikut cuplikannya.

”Ketika ORI diterbitkan pertama kali, tanda tangan A.A. Maramis telah tercantum di sana. Beliau diangkat menjadi Menteri Keuangan pada 2 September 1945 menggantikan Dr. Samsi yang hanya menjabat selama dua minggu. Pada saat itulah bentuk organisasi Kementerian Keuangan baru dibicarakan. Kakak kandung Maria Walanda Maramis ini mengalami pendidikan dasarnya di bawah pengawasan para guru Belanda, tetapi sebagian besar usianya diabdikan pada pergerakan kemerdekaan bangsanya,” tulis buku tersebut.

Padahal Maria adalah bibi Alex. Maria adalah anak kandung Bernadus, adik Andries Alexander Maramis. Maria menikah dengan Joseph Frederik Calusung Walanda sehingga mendapat nama keluarga Walanda Maramis. 

Ketiga nama ayah anak ini memang merepotkan orang yang ingin mengkaji kiprah keluarga Maramis. Salah nama, salah pula tokoh yang dibahas. 

Tapi ’ulah’ Andries memberi nama anak-anaknya seperti itu bukan tanpa alasan. Dia ingin anak lelakinya mengikuti jejaknya sebagai pembela kaum lemah Minahasa: jadi pokrol bambu.

Menelisik kehidupan masa kecil Alex pun bukan urusan gampang. Keluarga Maramis dikenal low profile. Tambahan lagi, dokumen-dokumen sejarah memang jarang mengangkat kehidupan pribadi tokoh. Keterangan tentangnya justru banyak didapat dari orang-orang yang dekat dengannya. Sayangnya kebanyakan dari mereka sudah tiada.

Buku A.A. Maramis, S.H karya F.E.W Parengkuan menjadi sumber yang layak. Buku ini mewawancarai dua belas orang yang dekat dengan kehidupan Alex. Mulai dari kakak dan adik Alex, keponakannya, sampai sahabat terdekatnya.

Parengkuan menerangkan, semangat keluarga Maramis membela kaum lemah dapat dilihat dari sejarah sosial budaya masyarakat Minahasa. Meskipun ajaran Kristiani mengajarkan sikap lemah lembut, bukan berarti orang Minahasa manut-manut saja dengan Belanda. Kristen memang mengajarkan kasih, namun juga mengajarkan keadilan dan pembelaan terhadapnya. 

Dasar keagamaan tersebut membuat sebagian Minahasa membuat perlawanan terhadap Belanda. Antara lain perlawanan rakyat Siau, Manganitu, Perang Panipi, Banteng Mahesa, sampai perlawanan Pasukan Pemuda Indonesia Laskar Banteng pada 1942.

Bernadus membawa semangat tersebut kepada Andries, dan Andries mewariskannya lagi kepada keluarganya. Dia mengajarkan anak-anaknya untuk membela kebenaran apapun risikonya. Dia juga mengajarkan kepada anak-anaknya untuk menjauhi popularitas, dan menjaga kehormatan diri dan masyarakatnya. 

Soal yang terakhir ini pernah teruji. Suatu ketika seorang Belanda bertamu di rumah keluarga Maramis di Tikala. Tamu itu tidak mengindahkan sopan santun ala Minahasa kepada keluarga Maramis. Dia dengan seenaknya masuk ke dalam rumah sebelum diterima tuan rumah. Rupanya si orang Belanda yang bertamu itu merasa dirinya lebih berharga daripada tuan rumah yang pribumi.

“Tamu Belanda yang belum dipersilahkan masuk apalagi duduk itu dengan segera dihardik dan disuruh keluar dulu. Ia dituntut bahwa seandainya memang bermaksud baik, maka mestilah menghormati tata cara bertamu di rumah keluarga Maramis,” tulis F.E.W. Parengkuan.

Andries menunjukkan kepada keluarganya betapa kehormatan harus dijunjung, bahkan kepada Eropa Belanda yang nota bene warga kelas satu sekalipun, apapun risikonya. Keberanian ini pada masa itu terhitung langka.

Dari Tikala untuk Indonesia

Tikala tempat keluarga Maramis bermukim adalah kawasan elit Manado di zaman kolonial. Banyak keluarga Belanda kaya bermukim di sana. Sedangkan yang asli Minahasa cuma sedikit yang berumah di sana. Salah satunya keluarga Andries Alexander Maramis.

Lantaran keluarga Maramis tergolong mampu, Andries dapat menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Belanda di Manado. Alex kecil kemudian mengenyam pendidikan di Europese Lagere School (ELS) di Manado. Parengkuan memperkirakan Alex mulai bersekolah di sana pada tahun 1903.

”Kapan Alex mulai disekolahkan di Manado tidak pula diperoleh keterangan. Hanya dapat diperkirakan bahwa sekitar tahun 1903, yaitu setelah ia berumur enam tahun,” terang Parengkuan.

Lulus dari ELS, Alex kemudian melanjutkan studinya di Hoogere Burgerschool (HBS) Koning Willem III, Batavia (Jakarta). Lokasinya terletak di sekitar Jalan Matraman Raya sekarang. Studi Alex di HBS tergolong lancar. 

Media-media massa ketika itu rajin memuat berita tentang ujian para murid HBS. Misalnya, De Expres edisi 14 Mei 1912 menyebut Alex dipromosikan ke kelas dua. Alex kemudian naik kelas 3 (Bataviaasch Nieuwsblad, 13 Mei 1913), naik kelas 4 (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 23 April 1914), dan seterusnya. Hingga akhirnya Alex lulus ujian akhir HBS Koning Willem III. Beritanya dimuat Bataviaasch Nieuwsblad edisi 27 Mei 1916.

Lulus dari HBS, Alex tidak lantas kembali ke Manado untuk jadi pokrol bambu. Dia ingin lebih mendalami studinya. Alex pun memberanikan diri untuk mendaftar ke Universitas Leiden, Belanda, dan mahasiswa hukum hingga lulus pada 19 Juni 1926. 

Alex kemudian mendapat gelar Meester de Rechten itu kemudian membaktikan dirinya menjadi advokat di banyak tempat. Semasa itu Alex banyak menangani kasus yang membela kepentingan pribumi.

Perjalanan hidup Alex kemudian berubah. Dia ikut mendirikan Republik Indonesia. Sepak terjangnya menjadi penting untuk bangsa Indonesia.

Harapan sang ayah Andries kepada sang anak Alex terpenuhi. Alex menjadi ’pokrol bambu’, pembela rakyat, bukan hanya untuk masyarakat Minahasa, tetapi juga untuk rakyat Indonesia.*

TAG

aa maramis kemenkeu kementerian keuangan

ARTIKEL TERKAIT

A.A. Maramis Bergelut dengan Kesehatan A.A. Maramis Menikmati Masa Pensiun A.A. Maramis, diplomat dalam Situasi Gawat Darurat Usaha Menteri Keuangan A.A. Maramis Menyelamatkan Ekonomi Indonesia A.A. Maramis dari Advokat Partikelir Menjadi Menteri Keuangan A.A. Maramis dari Pendudukan Jepang Hingga Menjadi Anggota BPUPK A.A. Maramis Bertemu Belahan Jiwa A.A. Maramis Advokat Andal yang Nasionalis A.A. Maramis di Negeri Belanda, Mengadu Peruntungan Mendapatkan Kebangsaan Dari Lapangan Banteng untuk Indonesia