UNTUK ketiga kalinya World Government Summit di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), mendaulat satu menteri sebagai Best Minister in the World Award atau Penghargaan Menteri Terbaik Dunia. Indonesia patut berbangga karena tahun ini penghargaan itu jatuh kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Sebelumnya, penghargaan itu diberikan kepada Menteri Lingkungan Australia Greg Hunt pada 2016 dan Menteri Kesehatan dan Sosial Senegal Awa Marie Coll-Seck pada 2017.
Emir UEA merangkap Wakil Presiden dan Perdana Menteri UEA, Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, menyerahkan penghargaan itu kepada Sri Mulyani pada Minggu, 11 Februari 2018. Presiden Joko Widodo turut berbangga dan menyalami langsung Sri Mulyani pada rapat kabinet di Istana Negara, Senin, 12 Februari 2018.
World Government Summit menilai Sri Mulyani mampu mengurangi 40 persen angka kemiskinan di Indonesia dalam lima tahun terakhir, memangkas ketimpangan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja yang luas, peningkatan tiga persen perekonomian secara transparan, mengurangi 50 persen utang Indonesia, serta peningkatan cadangan devisa tertinggi dalam sejarah Indonesia senilai 50 juta dolar Amerika.
Dilansir situs resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, setkab.go.id, Minggu, 11 Februari 2018, Sri Mulyani menyatakan penghargaan itu merupakan pengakuan kerja kolektif pemerintah di bawah Presiden Jokowi, khususnya bidang ekonomi. “Menkeu juga mendedikasikan penghargaan tersebut kepada 257 juta rakyat Indonesia dan 78.164 jajaran Kemenkeu dalam pengelolaan keuangan negara dengan integritas dan komitmen untuk menyejahterakan rakyat yang merata dan berkeadilan,” demikian keterangan Setkab.
Mantan Managing Director World Bank itu bukan menkeu pertama yang diakui dunia. Johannes Baptista (JB) Sumarlin, menkeu periode 1988-1993 juga pernah diakui sebagai menkeu terbaik dunia tahun 1989.
Ketika dihelat Annual Meetings of World Bank-IMF (Pertemuan Tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional) di Washington DC, Amerika Serikat, 25 September 1989, Sumarlin menerima penghargaan Finance Minister of the Year dari majalah tersohor Euromoney.
Penghargaan yang diberikan di sela-sela pertemuan Bank Dunia-IMF itu, diserahkan langsung oleh pendiri Euromoney, Sir Patrick Sergeant. Sumarlin dianggap berperan besar meracik perombakan besar dalam perekonomian Indonesia yang sebelumnya sangat bergantung dari sektor minyak dan gas (migas) ke arah diversifikasi ekonomi non-migas, serta membalikkan orientasi substitusi impor ke orientasi ekspor.
Sebagaimana Sri Mulyani, Sumarlin juga menyatakan bahwa penghargaan itu hasil kerja kolektif di Kabinet Pembangunan V di bawah Presiden Soeharto. “Hanya dari kepemimpinan yang tepat dari Presiden Soeharto serta kerjasama dari teman sekerja dan dukungan masyarakat terhadap kebijaksanaan ekonomi nasional yang membuat ekonomi Indonesia, memasuki pintu kemakmuran yang mulai dinikmati sekarang ini,” kata Sumarlin, dikutip harian Sinar Indonesia Baru, 28 September 1989.
Mar’ie Muhammad yang menjadi suksesor Sumarlin juga tak kalah membanggakan. Dia menjabat Menkeu periode 1993-1998 dalam Kabinet Pembangunan VI. Menkeu berjuluk “Mr. Clean” itu diakui majalah Asiamoney sebagai Menkeu Terbaik pada Mei 1995.
“Mar’ie Muhammad mendapat gelar Finance Minister of the Year dari majalah terkemuka Asiamoney yang berpusat di Hong Kong. Dia dipandang sukses menangani skandal Bapindo,” tulis mingguan Warta Ekonomi, Mei 1995.
Dalam skandal megakredit Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) senilai Rp1,3 Triliun pada 1994 itu, awalnya Mar’ie mengambil tindakan likuidasi yang sialnya, tak direstui Soeharto. Meski begitu, Mar’ie “ditantang” Soeharto untuk menyelesaikan kasusnya.
“Presiden Soeharto memerintahkan (Mar’ie) Muhammad untuk menyelesaikan Skandal Bapindo, di mana dia diperintahkan untuk bisa ‘menangkap ikannya, namun jangan memperkeruh airnya’,” tulis Andrew Rosser dalam The Politics of Economic Liberalization in Indonesia: State, Market and Power.
Pada akhirnya, Mar’ie mampu membawa skandal itu ke meja hijau. Pengusaha Eddy Tansil dan empat direktur eksekutif Bapindo disidang ke pengadilan. Sementara sejumlah pejabat dekat Soeharto, termasuk Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Laksamana (Purn.) Sudomo, akhirnya tak tersentuh.
Setidaknya dalam penyelesaian kasus itu, Sudomo bersama pendahulu Mar’ie, Sumarlin, turut “diseret” sebagai saksi peradilan Eddy Tansil. Pada putusannya, Eddy Tansil divonis 17 tahun bui, namun kemudian melarikan diri hingga kini belum tertangkap. Sedangkan empat petinggi Bapindo lainnya dihukum antara empat sampai sembilan tahun (Baca: Gaya Kabur Koruptor dalam Sejarah).