PEREMPUAN tua blasteran Indo berbusana hitam-hitam itu duduk di kursi. Matanya memandang sebuah foto yang terpajang di samping pajangan bunga anggrek ungu di atas meja. Foto itu memuat Alexander Andries Maramis (Alex Maramis).
Perempuan tua itu Elizabeth Marie Diena Veldhoedt atau karib disapa Beth, istri Alex. Di hadapannya duduk dua wartawan majalah Kartini, Titie dan Lies Said.
”Saya akan tetap di sini mendampingi Alex, sampai hayatku terlepas dari badan,” tutur Beth kepada dua wartawan tersebut dalam Kartini edisi nomor 73, Agustus 1977.
Beth masih tidak percaya bahwa Alex telah meninggalkannya untuk selamanya. Alex sudah lama sakit-sakitan semenjak tinggal di Lugano, Swiss. Namun setelah kembali ke Jakarta pada Juni 1976, keadaan Alex perlahan membaik. Sampai Alex jatuh sakit lagi pada 17 Mei 1977. Sejak itu, keadaan Alex semakin memburuk hingga menemui ajalnya pada 31 Juli 1977.
Beth masih teringat-ingat tiap babak perjalanan hidupnya dengan Alex. Kehidupan rumah tangga Alex dan Beth terbilang harmonis. Sepanjang pernikahannya, Beth telah mengikuti jalan hidup Alex, mulai dari mengarungi bahaya pada masa awal kemerdekaan hingga hidup kesepian di Lugano.
“Rasanya, sepanjang kehidupan perkawinan kami, yang terasa hanya manisnya. Saling pengertian, saling menghargai dan saling menghayati terutama saling mencintai adalah resep perkawinan kami,” ucap Beth kepada dua wartawati itu.
Bertemu Belahan Jiwa
Usai lulus dari Universitas Leiden pada 1924, Alex kembali ke Hindia Belanda. Bermodal gelar Meester in de Rechten yang digondolnya, Alex bertekad untuk menjadi advokat partikelir di tanah Jawa.
Karir Alex sebagai advokat yang independen dimulai pada medio 1920-an di Semarang. Alex pun mulai banyak menangani kasus. Dari sekian banyak kasus yang ditanganinya, ada satu kasus yang terpenting, kasus perceraian. Kasus tersebut membawa Alex ke babak baru hidupnya.
Suatu hari pada Oktober 1928, seorang perempuan Indo datang meminta bantuan hukum pada kantor Alex Maramis. Nama perempuan itu Elizabeth Marie Diena Veldhoedt (Beth). Dia beranak satu dan sedang menghadapi keretakan rumah tangga.
Koran De Locomotief 2 November 1928 menyebut Beth ingin bercerai dari suaminya, Ludovik Bartolomeus Tadic, seorang indo turunan Perancis. Keduanya bermukim di Pati, Jawa Tengah.
Koran tersebut menyebutkan bahwa Lady Elisabeth Marie Diena Veldhoedt meminta juru sita di Semarang Cornelis Mirande untuk memanggil Ludovik Bartolomeus Tadic untuk menghadiri sidang umum Majelis Peradilan Semarang pada 8 Maret 1928.
Deli Courant edisi 4 Juni 1928 menyebutkan bahwa Beth mengajukan cerai karena Ludovik kedapatan selingkuh. Perselingkuhan adalah tindakan tak termaafkan dalam pandangan Beth yang merupakan seorang Kristen taat.
Beth telah lama mengusahakan perceraian itu, namun belum membuahkan hasil. Hingga dia mendatangi kantor tempat Alex Maramis bekerja. Kota Pati tempat Beth bermukim termasuk wilayah kerja Alex sebagai advokat yang berkedudukan di Semarang.
Mendengar keluhan Beth, Alex pun membantu mengurus kasus tersebut. Ujung keputusan pengadilan adalah mengabulkan permintaan cerai Elizabeth.
Hubungan Alex dengan Beth tak berhenti di situ. Arkian perceraian Beth, hubungan pengacara dengan klien berubah menjadi hubungan yang lebih personal. Benih-benih cinta mulai tumbuh.
Saat bersamaan, karier Alex sebagai advokat membawanya hijrah ke Sumatera, tepatnya di Kota Palembang. Wilayah kerja Alex di Palembang mencakup Jambi dan Lampung.
Semasa Alex di Palembang, keduanya telah menjalin hubungan asmara. Hubungan mereka kemudian berujung kepada pernikahan. FEW Parengkuan dalam bukunya A.A. Maramis, S.H., menyebut Alex dan Beth menikah pada 1928.
Namun keterangan berbeda datang dari Bataviaasch Nieuwsblad. Koran tersebut pada edisi 15 September 1930 mencantumkan iklan baris tentang Alex dan Beth yang baru saja bertunangan. Disebutkan pula bahwa pernikahan itu akan dilaksanakan pada 3 Oktober 1930 di kota Pati Jawa Tengah.
”Pemberitahuan Unik dan Umum: telah bertunangan Tuan A A. Maramis dan Nona Elizabeth Veldhoedt. Akad nikah 8 Oktober 1930 di Pati,” tulis iklan tersebut.
Mengarungi Lautan Rumah Tangga
Pernikahan membawa persoalan baru bagi Alex dan Beth. Salah satunya menyangkut ras Beth yang blasteran Belanda pada masa pendudukan Jepang. Pemerintah Jepang memang dikenal sangat anti Eropa.
Firman Lubis, dalam Kenangan Semasa Remaja bercerita tentang tindakan Jepang terhadap orang Indo dan Eropa. Orang-orang Belanda asli dimasukkan ke dalam kamp di Kampung Cideng, Jakarta. Sedangkan yang berdarah indo masih bisa hidup bebas. Tetapi, jika dirasa ras Eropanya dominan, orang itu akan ikut masuk kamp.
Tapi Beth beruntung. Dia bisa lolos dari sergapan Jepang hanya dengan meletakkan patung Budha. Alex mendapatkan patung itu dari pengusaha Jepang yang pernah menjadi kliennya. Pengusaha itu berpesan untuk menggunakan patung tersebut jika sedang menghadapi masalah dengan tentara Jepang.
Kala lain, Alex berupaya memperjuangkan nasib Beth beserta orang-orang Indo. Dalam salah satu sidangnya tentang rancangan undang-undang dasar (RUU), Alex bersuara tentang status kewarganegaraan bagi orang Indo dan blasteran asing lainnya yang ingin hidup dan mati di Indonesia.
Alex mengusulkan tambahan mengenai blasteran pada pasal 26 RUU tersebut yang menerangkan soal kewarganegaraan.
”…Supaya aturan ditambah dengan satu pasal yang menetapkan, bahwa orang-orang lain dari pada orang Indonesia, misalnya peranakan Arab, Belanda atau Tionghoa yang mempunyai kedudukan Nederlandsch Onderdaan dianggap sebagai warga negara,” terang Alex, dikutip dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar djilid I (1960) karya Muhammad Yamin.
Usaha Alex tersebut tak hanya penting bagi orang-orang turunan asing di Indonesia, tetapi juga khususnya bagi sang istri.
Beth juga memberikan segala yang diperlukan Alex dalam perjuangan. Kesetiaannya teruji ketika mereka hidup di Lugano sepanjang1957-1976. Di kota itu, mereka tinggal di sebuah flat kecil, Hanya berdua saja.
Memasuki 1960-an, Alex yang sudah sepuh mulai sakit-sakitan. Pada awal 1970-an, Alex sempat terkena serangan stroke.
Sebelum dr. Pratisto datang untuk merawat, tak ada orang di Lugano yang bisa merawat Alex secara intensif. Hanya Beth yang merawat Alex. Padahal Beth yang sama-sama sudah sepuh juga sering sakit. Dia terkena penyakit rematik yang membuat persendian jari-jarinya membengkak dan nyeri.
Beth sendirian yang mengurus segala keperluan rumah tangga. Mulai dari mencuci, memasak, berbelanja ke pasar, sampai membelikan obat untuk Alex di apotek. Meski sedang sakit-sakitan, Alex tidak tinggal diam. Dia membantu istrinya seperti menemaninya belanja.
“Karena kaki dan tangannya tidak kuat lagi akibat serangan rematik, maka teman satu-satunya untuk menjinjing atau mengangkat barang-barang belanjaan dari pasar, adalah Alex Maramis sendiri,” terang Parengkuan.
Ayah yang Baik
Sepanjang pernikahannya, Alex tidak dikaruniai seorang anak pun. Ia hanya mendapatkan anak dari pernikahan Beth dengan suami sebelumnya. Anak itu bernama Alexander, persis sama dengan nama Alex. Nama itu nama asli si anak jauh sebelum Alex menikah dengan Beth.
Nama Alexander disebutkan dalam Deli Courant edisi 2 Mei 1928 dan edisi 4 Juni 1928, sebagai anak yang diperjuangkan Beth dalam perceraian.
Alexander kecil menjadi tempat Alex menumpahkan sayangnya sebagai seorang ayah. Alex memberikan nama marganya, Maramis, di belakang nama Alexander kecil itu.
Nama Alexander sepertinya nama pasaran dalam keluarga Maramis. Nama Alex (Alexander Andries Maramis) sendiri didapat dari nama sang ayah Andries Alexander Maramis. Sedangkan adik lelaki Alex menggunakan nama ayahnya secara persis. Kini tambah lagi ’Alexander’ lainnya di keluarga Maramis. Maka ada empat ‘Alexander’ di keluarga Maramis.
Agar tidak memusingkan buat keluarga Maramis dalam memanggil empat ”Alexander” tersebut, selain sang ayah, ketiga “Alexander” lainnya diberi nama panggil khusus, yaitu ‘Alex’ untuk Alex yang menteri Keuangan, ‘Inyo’ untuk sang adik, dan ‘Lexy’ untuk anak Alex.
Meski Lexy anak tiri, Alex menyayanginya sepenuh hati. Alex juga pernah mengalami posisi seperti yang Lexy alami. Alex terlahir dari rahim seorang ibu bernama Charlotte Ticoalu. Namun Charlotte wafat ketika Alex masih kecil. Kemudian ayahnya menikah kembali dengan seorang gadis Minahasa bernama Adriana Yulia Mogot.
Adriana-lah yang kemudian menggantikan Charlotte sebagai sosok ibu. Adriana memang ibu tiri, tapi dia sangat sayang kepada anak-anaknya, baik tiri maupun kandung. Demikian juga kepada Alex. Pengalaman ini Alex ingat sampai dewasanya.
”Baginya Adriana Yulia Mogot bukanlah seorang ibu tiri yang harus dijauhi, tapi dianggap sebagai ibu sendiri yang sejak kecil mengasuhnya dengan penuh kasih sayang, sama dengan yang diterima oleh saudara-saudaranya yang lain,” tulis Parengkuan.
Pengalaman hidup membuat Alex mengerti bagaimana memperlakukan anak dan istrinya secara layak, bermartabat, dan penuh kasih sayang.*