Obati Paru-paru ke Kampung Belanda

Belanda hadiahi orang Minahasa dengan sebuah sanatorium di dekat kampung halaman ibunda Presiden Prabowo yang berhawa sejuk. Kini berkembang jadi RSUD.

Oleh: Petrik Matanasi | 15 Apr 2025
Obati Paru-paru ke Kampung Belanda
Koningin Emma Sanatorium atau Sanatorium Noongan di masa awal pendiriannya. Kini jadi RSUD Noongan. (Repro "Soerabaijasch Handelsblad")

SELAIN di antara warganya ada yang keturunan Belanda atau bangsa-bangsa Eropa lain, ada banyak bangunan di Kampung Noongan, Kacamatan Langowan, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara yang mirip dengan bangunan-bangunan Belanda. Banyak rumah-vila, bahkan miniatur kincir air ala Belanda pun ada di sana. Semua peninggalan era kolonialisme Hindia Belanda itu masih terawat baik. Maka amat beralasan bila kampung tersebut dijuluki Kampung Belanda.

“Sisa-sianya masih ada, zwembak, sanatorium dan rumah-rumah vila,” terang Roger Allan Kembuan, pengajar sejarah Universitas Sam Ratulangi, Manado, yang kerap ke Langowan karena leluhurnya berasal dari sana.

Zwembak yang dimaksudnya adalah sebutan untuk pemandian umum. Sementara, sanatorium adalah tempat pengobatan paru-paru.

Advertising
Advertising

Kampung itu berada di dataran tinggi. Untuk mencapainya dari kota Manado, harus melewati kampung halaman ibunda dari Presiden Prabowo Subianto, di sekitar persimpangan Schwarz Langowan.

Dulu, Mayor (tituler) Lourens Roeland Sigar –Sigar merupakan nama marga besar di Langowan; ibunda Prabowo juga bermarga Sigar– selaku Hukum Besar Langowan, setara dengan kepala distrik atau kecamatan luas, punya tanah di daerah tersebut. Koran Het Vaderland edisi 25 Agustus 1879 menyebut, tanah seluas lebih dari 222 Bau itu dibeli olehnya dari penduduk asli pada 1874 dan 1875. Lahan itu telah dikembangkannya sejak 1866 dan pada 13 Mei 1875 akta kepemilikannya diterbitkan oleh negara.

Sebagai daerah yang sejuk, kampung itu disukai orang-orang Belanda. Saking seringnya dijadikan tempat tujuan orang-orang Belanda healing, sebuah pusat pengobatan kemudian didirikan di sana. Pusat pengobatan yang disebut Sanatorium itu didirikan untuk menanggulangi penyakit Tubercolosis (TBC) atau paru-paru.

Soerabaijasch Handelsblad tanggal 26 Agustus 1931 mengisahkan, dalam peringatan 250 tahun Persahabatan Minahasa dan Hindia Belanda, terkumpul dana 140.000 gulden. Dana tersebut kemudian dikelola pemerintah Hindia Belanda dan sumbangan-sumbangan lain yang masuk kemudian ditampung pemerintah. Dana itu lalu dipakai untuk mendirikan sanatorium bagi pasien TBC di Minahasa. Dana total yang terkumpul untuk membangun sanatorium itu, menurut Soerabaijasch Handelsblad tanggal 3 September 1934, berjumlah 250.000 gulden.

Pada tahun itu juga, anamer atau pemborong diputuskan. Lahan untuk sanatoriumnya berada di Noongan, kampung di pinggiran Langowan, di jalan penghubung Tondano-Ratahan. Kala itu hawanya masih sejuk khas pegunungan. 

Setelah semua persiapan matang, pembangunan pun dimulai. Soerabaijasch Handelsblad tanggal 20 Maret 1933 memberitakan, pembangunan sanatorium dimulai pada 1933 dengan dana 190.000 gulden. Pengerjaannya dilakukan oleh Jan van den Brink, pemborong yang berbasis di Manado yang memenangkan tender dengan nilai sebesar 140.000 gulden. Besi untuk konstruksinya dipasok oleh NV Lindeteves. Diperkirakan, pengerjaan proyek itu akan memakan waktu satu tahun.

Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 18 September 1934 menyebut, bangunan sanatorium terbuat dari batu bata. Bangunannya dirancang untuk memuat 50 orang pasien.

Pembangunan sanatorium yang dimaksudkan pemerintah Hindia Belanda sebagai hadiah untuk orang Minahasa itu akhirnya rampung. Pada Oktober 1934, Sanatorium di Noongan diresmikan dengan nama resmi Koningin Emma Sanatorium te Noongan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda bahkan datang menghadiri peresmiannya.

Setelahnya, sanatorium terus memberi perawatan kepada para penderita TBC. Namun setelah sekira delapan tahun berjalan, Perang Asia Timur Raya yang dilancarkan Jepang melumpuhkan Sanatorium Koningin Emma. Pertolongan kepada para penderita TBC tak dimungkinkan lagi di sana mengingat nyaris semua orang Belanda ditawan Jepang.

Baru setelah perang selesai, Sanatorium Koningin Emma kembali mendapat perhatian. Koran Het Dagblad tanggal 8 Februari 1946 menyebut, pemugaran Sanatorium Koningin Emma menjadi prioritas utama pihak Belanda, yang selama perang “terusir” dari bekas daerah-daerah kekuasaannya, termasuk Minahasa. Kesehatan rakyat koloni dijadikan perhatian penting negara kolonial untuk melancarkan kolonialismenya.

Namun, perang Belanda dengan Republik Indonesia (RI) yang berdiri sejak 1945 mengubah tatanan politik. Usai Republik Indonesia Serikat bubar, wilayah Minahasa menjadi bagian dari RI. Sanatorium Noongan pun menjadi fasilitas kesehatan milik Indonesia. Sanatorium Noongan kemudian beralih statusnya menjadi rumah sakit umum daerah.

TAG

minahasa sulawesi utara prabowo-subianto perang dunia ii masapendudukanjepang

ARTIKEL TERKAIT

Raja Yordania dan Presiden Soeharto Saling Berbalas Kunjungan Anjangsana Sukarno ke Negerinya Kemal Pasha Corak Militeristik dari Masa ke Masa Dokter Djawa Tapi Bukan Jawa Jasa Zus Ratulangi Masa Belia Sang Pujangga Kopral Cohen Dua Kali dapat Bintang Penghargaan Militer Kyai Modjo Sahabat Pendeta Riedel Penyebar Kristen di Kampung Ibu Prabowo Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi”