SETELAH Wanayasa, giliran Purwakarta dijadikan ibukota Kabupaten Karawang pada 1831. Namun di tengah persiapan pemindahan itu, gangguan datang dari para buruh kebun teh asal Tionghoa. Mereka memberontak.
Menurut Rotterdamsche Courant tanggal 15 September 1832, malam tanggal 8, buruh-tani Tionghoa yang baru tiba dari negerinya tetiba berontak dan membakari perusahaan yang bernama Tjilankop (maksudnya Cilangkap, kini masuk Purwakarta). Malam itu juga mereka berjalan kaki menuju ke Purwakarta yang baru dibangun untuk ibukota.
Kendati hampir tidak punya waktu, Residen De Serière bersama keluarganya dan warga Eropa lain di sana berhasil menyelamatkan diri. Semua selamat di Cikao pada 9 Mei pagi. Residen de Serière berkuasa atas Keresidenan Karawang.
Sementara itu, para buruh-tani yang tadi bergerak menuju Purwakarta, memperkeruh keadaan ketika tiba di sana. Mereka membabi buta menumpahkan amarah.
“Bahwa sekarang sedang rusak di Purwakarta, dirampok sepanjang malam, oleh Cina perusuh. Semua bangunan dibakar habis di dalam kota, Purwakarta sunyi sepi,” kisah Haji Muhammad Umar, seperti diterjemahkan dalam buku Edi S. Ekadjati berjudul Wawacan Carita Perang Cina di Tanjungpura Kabupaten Purwakarta.
Usai menimbulkan kengerian yang bahkan mencapai daerah Cianjur itu, para perusuh lalu bergerak ke arah Tanjungpura di selatan Purwakarta.
Kejadian di Purwakarta itu pun kemudian sampai ke pemerintah pusat Hindia Belanda. Gubernur Jenderal De Jonge, kata Rotterdamsche Courant edisi 15 September 1832, memerintahkan untuk mengambil tindakan-tindakan terhadap para buruh-tani Tionghoa yang mereka anggap “para penjahat” itu. Diperkirakan, ada 300 orang yang dikategorikan “penjahat” itu.
Untuk mengatasinya, pemerintah mengerahkan pasukan militer dari Buitenzorg (Bogor) dan Batavia (Jakarta) ke Karawang. Kala itu pemerintah Hindia Belanda sedang beruntung, sebab selain Perang Jawa (1825-1830) yang dikobarkan Pangeran Diponegoro sudah berakhir, salah satu panglima andalan Diponegoro –yakni Sentot Ali Basjah– sudah berada di pihak Belanda.
Panglima itu beserta pasukannya yang berjumlah sekitar 450 orang dilibatkan bertempur bersama tentara Belanda di Karawang. Pasukan itu berangkat lewat jalur pinggir laut di utara Jawa Barat. Mereka melewati Cikarang lalu menuju Tanjungpura. Tentara Belanda mendapat kabar bahwa di Tanjungpura para pemberontak yang berjumlah 400 hingga 500 orang telah membangun pertahanan di Tanjungpura, sekitar rumah Fraser. Para pemberontak itu memiliki senjata api hasil rampasan.
Setelah dengan sabar menyeberangi Sungai Citarum, tentara Belanda mendekati lawannya dengan diam-diam. Begitu sudah dekat para perusuh, Asisten Residen Bik yang ikut serta bersama tentara itu menyerukan agar para perusuh menyerah. Alih-alih mendapati loyalitas mereka, Bik dan beberapa tentara Belanda lain justru ditembaki hingga dua prajurit Belanda terluka.
Sontak tentara Belanda pun membalasnya dan terus maju. Namun, mereka ternyata mendapat perlawanan. Para perusuh bergerak maju pula hingga pasukan terdepan Belanda terganggu.
Dalam kondisi itu, Mayor Andreas Victor Michiels (1797-1849) memerintahkan pasukan Belanda lain untuk bergerak maju. Mereka berhasil membuat 100 pemberontak tewas di tempat. Pasukan Michiels tak memberi waktu istirahat bagi para buruh-tani Tionghoa itu untuk istirahat ketika pasukan perusuh itu terdesak mundur.
Pimpinan perusuh sempat bersembunyi di sebuah rumah dekat pasar. Ketika itu pembakaran rumah terjadi. Dalam pengunduran diri itu, jumlah perusuh tewas bertambah hingga diperkirakan 200 orang. Para perusuh yang masih hidup akhirnya karena terdesak ada yang menyerahkan diri atau melarikan diri ke dalam hutan di sekitar Karawang dan Purwakarta.
Setelah pertempuran mereda, demikian diberitakan Rotterdamsche Courant tanggal 15 September 1832, laporan datang kepada para penguasa priyayi yang tunduk pada Belanda.
“Saya menghaturkan hormat dari Pangeran Alibasah dan empat orang Tumenggung (bahwa) Cina Perusuh sudah digempur, diserbu di Tanjungpura,” lapor seorang opas, seperti diceritakan Haji Muhamad Umar.
Pangeran Alibasah yang dimaksud, menurut Ekadjati, adalah Alibasah Sentot Prawirodirdjo. Rotterdamsche Courant tanggal 6 Oktober 1832 menyebut Mayor Michiels memuji bawahan-bawahannya, termasuk Pangeran Soemo Negoro, Raden Tumenggung Prawirodipuro dan Tumenggung Marto Poero. Ketiganya adalah perwira dalam Barisan Alie Bassa Prawiero Dirdjo yang dipimpin Alibasah Sentot Prawirodirdjo.
Akibat keberhasilan mereka para panglima lapangan mengalahkan pasukan perusuh, diperkirakan ada 600 orang Tionghoa yang ditangkapi setelah itu. Beberapa di antaranya ada yang dilepaskan juga.