KEDATANGAN Herman Daendels di Jawa pada awal 1808 menjadi “berkah” buat Sersan Satta. Di tahun itu, pangkatnya naik jadi perwira.
Satta merupakan tentara Belanda dari kalangan pribumi. Dia dilahirkan pada 1781 di Baukalang, kemungkinan ini kesalahan penyebutan terhadap Bangkalan. Menurut arsip Stamboeken Bronbeek, Den Haag, Archive 2.10.50, nomor inventaris 59, folio 96, Saata merupakan anak pasangan Sengakarsa dan perempuan bernama Semenit. Nama kedua orang tuanya lebih dekat dengan nama-nama Jawa atau Madura –François Vincent Henri Antoine Stuers dalam Gedenkschrift van den oorlog op Java menyebutkan Satta ketika sudah menjadi tentara sebagai sebagai letnan Ambon
Begitu remaja, Satta mendaftar jadi serdadu pada 1793 dan diterima dengan pangkat fuselier (prajurit infanteri rendahan) di Surabaya, ketika VOC masih ada. Pada 1800, pangkatnya naik menjadi kopral dan dua tahun kemudian naik lagi menjadi sersan. Pada 1805, Satta pernah bertugas di Cirebon.
Ketika Gubernur Jenderal Deandels tiba di Hindia Belanda, Satta menjadi letnan dua. Menurut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische Officieren uit het KNIL 1900-1950, kebiasaan menjadikan sersan yang tangguh dan cemerlang sebagai letnan dua kemudian menjadi kebiasaan militer Belanda di Nusantara. Satta hanyalah satu dari puluhan perwira pribumi dalam ketentaraan Belanda.
Dari Cirebon, Satta pindah tugas ke Batavia pada 1811. Dia ditugaskan di bawah Kolonel Motiman,. Empat tahun setelah naik pangkat menjadi letnan satu pada 1819, Satta ditugaskan ke Sulawesi. Dari Sulawesi, pada 1826 Satta ditugaskan ikut Perang Jawa hingga 1828.
Di Perang Jawa itulah Satta membuktikan diri sebagai tentara handal. Kejadiannya berlangsung di Pertempuran Gowok, sebuah desa di Sukaharjo, Jawa Tengah pada 8 Juli 1826.
Pertempuran antara laskar Pangeran Diponegoro melawan tentara Belanda dan sekutu-sekutu lokalnya itu berlangsung sengit. Namun, pasukan Diponegoro akhirnya terdesak.
“Letnan satu Satta mengejar musuh dengan bayonet hingga kelelahan menghalangi mereka maju lebih jauh. Setelah barisan itu berkumpul kembali, mereka bergerak maju ke posisi musuh yang ditinggalkan depan Suko Raja (pedalaman Gowok), di mana bivak mereka dibakar, dan menanti pasukan Kolonel Cochius,” catat Huibert Gerard Baron Nahuys van Burgst dalam Verzameling van officiële rapporten betreffende den oorlog op Java in de jaren 1825-1830.
Prestasi Letnan Satta dalam Perang Jawa dianggap baik. Oleh karenanya, dia dianugerahi Medali Perunggu. Selain itu, pada tahun 1828 itu juga Satta naik pangkat menjadi kapten.
Satta menjalani pangkat tersebut hingga pensiun pada 1834. Setelah itu, Satta menghabiskan masa pensiunnya di Surabaya.
Setelah 41 tahun menjadi tentara untuk Belanda dengan tempat penugasan di daerah-daerah berbahaya, Satta seperti kurang dihargai. Kapten Satta pensiun dengan uang tunjangan 600 gulden tiap tahunnya. Artinya tiap bulan dia hanya hidup dengan uang 50 gulden. Angka tersebut terbilang kecil untuk pensiunan perwira Belanda. Menurut Bouman, perwira pribumi mendapat gaji lebih kecil atau hanya separuh dari gaji perwira Eropa. Gaji perwira senior pribumi sekitar 110 gulden tiap bulannya.