Raja Charles X (1757-1836) dari wangsa Bourbon yang meguasai Perancis harus lengser setelah Revolusi Perancis 1830 alias Revolusi Perancis Kedua. Sepupunya Louise Phillippe sang Adipati Orleans kemudian naik takhta. Charles X sudah berkuasa 18 tahun di Perancis.
Lengsernya Charles X cukup memukul kehidupan Just Jean Étienne Roy (1794-1871). Pasalnya, resimen pengawal Raja Charles X yang diikutinya harus bubar pula. Tak hanya JJE Roy yang apes, ayahnya yang mendukung wangsa Bourbon dan pernah mendapat suaka politik di Belanda juga merasa terpukul.
Di tahun 1830, ketika revolusi berlangsung, JJ Roy adalah letnan muda di kesatuan infanteri pengawal kerajaan. Lantaran merasa nasibnya tidak baik, Roy dan ayahnya kemudian melarikan diri ke Negeri Belanda. Mereka menetap di Den Haag. Suatu hari Roy bilang ke ayahnya.
“Saya sudah lelah melarikan diri terus karena kerusuhan. Karena keadaan tidak memungkinkan saya membela pemerintah yang sah, tampaknya sudah menjadi panggilan tugas saya untuk mengabdi kepada raja di tempat kita berlindung dan yang nasibnya terancam seperti halnya raja kita,” kata Roy dalam kisah hidupnya, yang dimuat dalam buku karya Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Prancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX.
Ayahnya kemudian menghubungi kawan-kawan Belanda-nya yang di antaranya telah menjadi jenderal dalam tentara kerajaan. Roy kemudian mendaftar ke dalam staf militer Kerajaan Belanda. Pada 1833, ayah Roy meninggal dan dia amat sedih. Dia lalu memantapkan diri untuk dikirim ke negeri-koloni yang jauh dari Eropa, yakni Hindia Belanda.
Dia berangkat bersama 350 orang prajurit lain. Mereka diorganisir dalam tiga kompi dengan dipimpin seorang mayor. Ketiga kompi tersebut berasal dari sukarelawan asing yang merupakan pelarian dari Jerman, Inggris, Perancis, Portugal, dan Spanyol. Dua pertiga perwiranya orang Belanda dan kebanyakan bintaranya dari berbagai bangsa. Roy sendiri sudah menjadi kapten di dalam rombongan itu.
Setelah berlayar 2,5 bulan, kapal yang membawa “legiun asing” itu tiba di Batavia. Mereka tiba di permukiman pelabuhan yang lusuh. Pasukan itu melalui jalan-jalan yang kusam dan sempit selama setengah jam. Mayor yang memimpin mereka mendatangi Kapten Roy yang agak kecewa.
“Pastikan pasukan Anda sudah berbaris rapi, kita akan memasuki kota,” kata sang mayor.
Kemudian pasukan berparade melalui sisi kota Batavia yang kondisinya lebih baik. Kekecewan Roy terobati. Sebelum sampai ke daerah yang terlihat elok, Roy ingin mengejek sang mayor karena sebelumnya mengatakan Batavia kota yang bagus.
Daerah kusam yang sebelumnya mereka lewati ternyata adalah kota lama dan tidak lagi menjadi pusat orang-orang Belanda di Hindia Timur. Sejak Gubernur Jenderal Daendels membangun Weltevreden sebagai pusat pemerintahan baru, kota lama yang merupakan pusat keramaian semasa VOC pun ditinggalkan. Bagi Deandels, sebagaimana ditulis Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, kota lama tidak bisa digunakan sebagai pusat pertahanan.
Sementara waktu, “legiun asing” itu berada di Batavia. Rombongan “legiun asing” yang mirip Légion Etrangère Perancis itu kemudian dimasukkan ke dalam tentara kolonial di Hindia Belanda. Seabad kemudian, tentara kolonial itu menyandang predikat tentara kerajaan yang dikenal sebagai Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Di zaman Kapten Roy, pasukan itu belum disebut KNIL. Orang-orang kampung di Jawa hingga awal abad XX lebih sering menyebutnya kompeni.
Semasa jadi prajurit kompeni, Roy tak hanya menghabiskan waktu di tangsi dan bersinggungan dengan urusan teknis militer semata. Dia berpesiar ke berbagai tempat, mengunjungi situs-situs bersejarah seperti Candi Borobudur ataupun Prambanan, bahkan hingga ke Jawa Timur, dan menikmati urusan-urusan di luar teknis militer.
“Saya sudah mengunjungi sejumlah monumen mengagumkan yang tersebar di pulau tersebut, ditemani beberapa anggota Perhimpunan Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan. Mutu arsitektur dan pahatan bangunan tresebut jauh lebih bagus dibanding monumen di Persia dan Meksiko dan setara dengan karya seni para seniman Mesir atau Hindustan. Karya seni tersebut tidak hanya menjadi bukti tingkat budaya yang sudah tinggi, namun juga menjadi saksi sejarah masyarakatnya,” kata Roy.
Kapten Roy menemukan kejayaannya di Hindia Belanda. Setelah pulang ke Eropa lagi, ia menuliskan kisah petualangannya ke Jawa itu dalam sebuah buku berjudul Quinze Ans De Séjour À Java Et Dans Les Principales Îles De L'archipel De La Sonde Et Des Possessions Néerlandaises Des Indes Orientales. Potongan kisah dari buku yang terbit tahun 1861 tersebut ada dalam buku Orang Indonesia dan Orang Perancis.
Ketika berada di Batavia, Kapten Roy ditanya oleh mayor atasannya: “Bagaimana pendapat Anda tentang tempat tinggal kita?”
“Tampaknya menyenangkan, mirip surga dunia, tapi saya rasa Anda semestinya memberitahu bahwa untuk sampai di tempat memesona ini, kita harus melewati tempat yang buruk,” jawab Roy menunjukkan tempat buruknya adalah Kota Tua di Batavia.