Anak Buah Sentot di Benteng Imam Bonjol

Salah satu perwira pasukan Belanda yang tewas dalam penyerbuan benteng pasukan Imam Bonjol adalah orang Jawa dan mantan pasukan Diponegoro.

Oleh: Petrik Matanasi | 19 Mar 2025
Anak Buah Sentot di Benteng Imam Bonjol
Pasukan Belanda yang mayoritas berisi orang-orang Bumiputra, termasuk eks Barisan Ali Bassa, menerima kunjungan gubernur jenderal di Sumatra Barat, tempat mereka melawan kaum Padri. (Tropenmuseum/Wikipedia.org)

MENYERAHNYA Sentot Alibasah Prawirodirdjo, salah satu panglima andalan Pangeran Diponegoro, dan pasukannya pada 16 Oktober 1829 sangat menguntungkan Belanda. Kecakapan mereka dalam medan tempur jelas menambah kekuatan pada militer Belanda.

Pasukan Sentot punya organisasi lebih rapi. Antara lain dibuktikan dengan sistem kepangkatan yang diterapkan. Menurut Egbert Broer Kielstra dalam Sumatra's Westkust van 1819–1849, ada pangkat Ngabehi, yang disetarakan sebagai kopral; lalu “Pandjie” (dibaca Panji), yang disetarakan menjadi sersan; Tommonggong (dibaca Tumenggung), disetarakan sebagai letnan. Jika sang tumengung sudah sepuh, dia dianggap letnan satu dan jika masih muda, disetarakan sebagai letnan dua. Raden Tomonggong lalu disetarakan dengan kapten. Seorang pangeran pun lalu disetarakan sebagai mayor.

Tentara Belanda memperlakukan Sentot dan para bawahannya dengan baik. Terlebih setelah mereka sukses memadamkan kerusuhan yang dilakukan orang-orang Tionghoa di Purwakarta-Karawang pada 1832.

Advertising
Advertising

Barisan Alie Bassa Prawiero Dirdjo, demikian mereka dinamai, lalu dikerahkan untuk melawan kaum Padri di Sumatra Barat tahun berikutnya. Sekitar setahun di sana, Barisan Alie Bassa dibubarkan. Para anggotanya dilebur ke dalam tentara kolonial reguler yang belakangan disebut Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Sentot sendiri diasingkan ke Bengkulu dengan tunjangan yang besar.

Tumenggung Prawiro Soediro (baca: Prawiro Sudiro, sering juga ditulis Prawiro Soediro), disebut Javasche Courant edisi 20 November 1833, diangkat menjadi letnan satu infanteri KNIL berdasarkan keputusan pemerintah tanggal 12 Oktober 1833 nomor 316. Pengangkatannya sebagai letnan satu menandakan dirinya sudah senior atau lebih sepuh ketimbang tumenggung-tumenggung lain. Tumenggung lain yang menjadi letnan satu adalah Sosroatmodjo sedangkan yang diangkat menjadi letnan dua adalah Djojo Prawiro, Kerto Redjo, Prawiro di Logo dan Prawiro di Medjo. Selain mereka, Raden Tumenggung Prawirodipuro diangkat menjadi kapten infanteri dan Pangeran Soerio Bronto diangkat menjadi mayor kehormatan di KNIL.

Dengan masuknya para priyayi-perwira eks Barisan Alie Bassa itu, Belanda mendapat tambahan komandan lapangan. Menurut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische Officieren uit het KNIL 1900-1950, KNIL mendapat 25 perwira baru dari Barisan Alie Bassa. Meski Barisan Alie Bassa itu bubar, para bekas anggotanya banyak yang tetap di Sumatra Barat setidaknya hingga tahun 1839, tahun ketika mereka mulai diperbolehkan kembali ke Jawa.

Letnan Satu Prawiro Soediro bertugas di bawah Kapten Prawirodipuro. Orang Jawa umumnya dimasukkan dalam kompi ketiga dan keempat, bersama orang Sunda. “Kompi ketiga dan keempat bertugas  melakukan pendudukan dan menciptakan perdamaian. Ini karena orang Jawa dan Sunda dipandang mempunyai sifat tenang dan mampu menahan diri,” catat Raden Panji Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara: Penelusuran Kepustakaan Sejarah.

Bersama Kapten Prawirodipuro dan Letnan Dua Prawiro Sentiko, Lettu Prawiro Sudiro ditugaskan dalam Batalyon Infanteri Pertama KNIL. Mereka ditempatkan di daerah Bonjol, daerahnya Tuanku Imam Bonjol sang pemimpin Padri.

Perlawanan di sana masih kuat. Pertempuran penting terjadi pada pertengahan Juni 1835. Nugroho Notosusanto dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan penjajahan di Indonesia, ±1700-1900 menyebutkan, sejak 11 Juni 1835 posisi pasukan Bonjol dibuat tertutup dan pada tanggal 16 Juni benteng Bonjol ditembaki dengan meriam. Tentara Belanda berhasil mendekati benteng pada tanggal 21 Juni.

Dalam rentang antara penembakan meriam dan tibanya pasukan Belanda dekat benteng, terjadi pertempuran sengit. Setidaknya 23 tentara Belanda tewas dan 139 serdadu lainnya terluka dalam pertempuran tersebut, termasuk perwira eks Barisan Ali Bassa.

“Hari ini, tanggal 18 Juni 1835, tewas dalam pertempuran di dekat Bonjol, di Pantai Barat Sumatra letnan satu batalyon infanteri satu, Prawiero Soediro,” demikian Javasche Courant tanggal 22 Agustus 1835 mengabarkan.

TAG

sentot alibasah perang diponegoro perang padri imam bonjol

ARTIKEL TERKAIT

Letnan Kolonel, Overste, dan Obos Adu Pedang Djojo Menggolo vs. Soerio Dento Legiun Sentot “Direndang” Belanda di Padang Bom Bakar Amerika Menjadikan Tokyo seperti Neraka Jasa Pasukan Sentot dalam Padamkan Kerusuhan Tionghoa di Karawang Ketika Napoleon Kena Batunya di Rusia Balada Dua Mayor Pembantaian di Atas Awan Menangkap Pattimura Adu Kuat Luftwaffe di Langit Spanyol hingga Inggris