Masuk Daftar
My Getplus

Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk

Dramatisasi sejarah pahit rakyat jelata di era Joseon. Di depan melawan Jepang, di belakang dicap pengkhianat oleh rajanya sendiri..

Oleh: Randy Wirayudha | 07 Nov 2024
Suasana epik Hanseong yang terbakar seiring invasi Jepang di film "Uprising" (Netflix)

HAMPIR semua warga dari berbagai lapisan kelas di Hanseong (kini Seoul), ibukota Dinasti Joseon, terhenyak ketika suatu hari pada 1589 menyaksikan kepala-kepala yang terpenggal dan digantung di depan halaman Istana Gyeongbokgung. Tak terkecuali Cheon Yeong (diperankan Gang Dong-won), seorang nobi (budak) yang bekerja di bawah keluarga pejabat militer Yi Geuk-jo (Hong Seo-jun) dari kalangan yangban atau bangsawan. 

Satu dari kepala-kepala yang terpenggal itu adalah kepala pemimpin pemberontak Jeong Yeo-rip (Kwon Hyuk), politikus revolusioner yang ingin menghapus sistem kasta di Joseon. Raja Seonjo (Cha Seung-won) memerintahkan kepala-kepala para pemberontak itu dipamerkan untuk menebarkan rasa takut pada siapapun yang ingin mengusik sistem kelas yangban-nobi yang ia pertahankan. 

Berbeda dari rakyat kebanyakan, rasa takut tak merasuki jiwa Cheon Yong. Terlepas dari tugasnya sebagai “samsak” latihan beladiri bagi anak majikannya, Yi Jong-ryeo (Park Jeong-min), gagasan-gagasan mendiang Jeong Yeo-rip yang punya visi Joseon sebagai negeri yang masyarakatnya setara tanpa sistem kelas masih hidup di dalam dirinya. 

Advertising
Advertising

Baca juga: Alkisah Eksotisme dan Prahara Sarawak lewat Rajah

Di antara Cheon Yeong dan Jong-ryeo kemudian tumbuh benih-benih persahabatan. Cheon Yong bahkan rela jadi “joki” ujian militer negara bagi Jong-ryeo gegara sang anak majikan acap gagal. Setelah Cheon Yeong yang menyamar jadi Jong-ryeo lulus, ia serahkan jubah biru dan pedang kerajaan yang jadi simbol kelulusan kepada Jong-ryeo. 

Begitulah sineas Kim Sang-man membuka film action sejarah Uprising. Film yang digarap Sang-man bukan sebagai film mainstream tentang kekacauan Joseon akibat perang dan invasi Jepang, tapi film yang justru menggambarkan kekacauan perang yang berujung pada pemberontakan sistem kelas. 

Cheong Yong (kiri) yang mengajari Jong-ryeo seni pertarungan pedang (Netflix)

Pasalnya, sebagaimana yang digambarkan dalam lanjutan alur filmnya, persahabatan antara si anak budak Cheon Yeong dan si anak majikan Jong-ryeo juga perlahan berubah jadi permusuhan seiring invasi Jepang ke Semenanjung Korea sebagai permulaan Perang Imjin (1592-1598). 

Saat Jong-ryeo yang jadi komandan pengawal Raja Seonjo mengiringi keluarga kerajaan yang lari tunggang-langgang ke utara dekat perbatasan dengan wilayah Dinasti Ming (China), Cheon Yeong bergabung ke pasukan sukarelawan pimpinan Kim Ja-ryeong (Jin Sun-kyu) untuk mati-matian bertempur melawan pasukan Jepang di bawah Genshin Kikkawa (Jung Sung-il). Bahkan Cheon Yeong jadi momok tersendiri bagi Jepang dengan julukan “Dewa Pedang Berjubah Biru”. 

Baca juga: House of Ninjas dan Bayang-Bayang Masa Lalu Ninja Hattori

Merasa berjasa mengusir Jepang, tentu Cheon Yeong dan para budak di milisi sukarelawan itu berharap penghargaan berupa pembebasan dari status budak dan bisa hidup setara sebagaimana visi Jeong Yeo-rip. Namun, justru gegara tuntutan itu milisi sukarelawan dicap pengkhianat oleh Raja Seonjo. 

Penjebakan dan pemenggalan kepala Ja-ryeong membuat Cheon Yeong dibantu budak-budak pimpinan Beom Dong (Kim Shin-rok) mesti bergerilya ke pegunungan. Sementara Raja Seonjo memerintahkan Jong-ryeo tidak hanya mengeksploitasi rakyat untuk membangun kembali istananya yang hancur tapi juga menguber gerombolan Cheon Yeong. 

Bagaimana kelanjutan babak-babak dramatis berikutnya? Baiknya tonton sendiri film Uprising yang meski sudah meluncurkan premier-nya pada 2 Oktober 2024 tapi masih bisa disaksikan via Netflix sejak 11 Oktober 2024. 

Pasukan Jepang yang mendarat di Joseon dalam film Uprising (Netflix)

Dramatisasi untuk Merefleksi Sejarah Era Joseon 

Secara sinematografi, Uprising terbilang mampu membawa penontonnya dalam dinamika emosi lewat variasi pengambilan gambarnya: penggambaran lanskap-lanskap Dinasti Joseon yang kontras dengan kebrutalan konflik sistem kasta serta pertarungan-pertarungan epik di adegan-adegan perangnya. Kombinasi musik tradisional Korea dan modern di music scoring membuat Uprising jadi film sejarah yang segar bagi penonton sekarang. 

Meski begitu, Uprising tak bisa dikatakan sepenuhnya film sejarah karena sebagian besar tokoh-tokoh dan peristiwanya adalah fiksi. Terhitung hanya karakter Raja Joseon, Pangeran Gwanghaegun, dan politikus pemberontak Jeong Yeo-rip yang berdasarkan tokoh nyata, meski kisah mereka juga didramatisir. 

Sisanya adalah karakter-karakter yang dikonstruksi dari pengalaman masing-masing lapisan masyarakat di era pemerintahan Raja Seonjo (1567-1608). Hal lain yang juga patut disoroti kalangan sejarah adalah ketiadaan penggambaran peran Dinasti Ming yang notabene turut membantu Joseon dengan mengirimkan sekitar 10 ribu prajuritnya untuk mengusir Jepang dari Semenanjung Korea. Perang Imjin memakan korban jiwa rakyat sipil dan militer mencapai 2 juta orang tewas, terluka, hingga diculik Jepang atau sekira 20 persen penduduk Joseon. 

“Ada faktor militer Dinasti Ming yang turut menyelamatkan (Joseon) walau banyak jatuh korban juga di pihak (pasukan) mereka. Dinasti Ming memainkan peran krusial mengakhiri perang,” ujar sejarawan Departemen Studi Asia, University of British Columbia, Prof. Hur Nam-lin, dikutip Time, 11 Oktober 2024. 

Baca juga: Heroisme di Tengah Kehancuran dalam Godzilla Minus One

Penggambaran pasukan sukarelawan yang terdiri dari rakyat jelata dan para budak (Netflix)

Kendati demikian, Uprising menampilkan dramatisasi sejarah era Joseon dan Perang Imjin yang terbilang jarang disajikan film-film asal Korea bertema serupa seperti Wind and Clouds (1968), Diary of Korean-Japanese War (1978), The Admiral: Roaring Currents (2014), Warriors of the Dawn (2017), hingga Noryang: Deadly Sea (2023). Mereka menonjolkan heroisme dalam peperangan. Film Uprising diracik sutradara Kim San-man buat jadi refleksi akan sejarah pahit konflik horizontal antarkelas sosial yangban-nobi era itu. 

“Padahal di masa itu kelas yangban hanya sekitar 5-10 persen dari keseluruhan populasi Joseon, sementara kelas nobi mencapai 40 persen. Akan tetapi (raja) Seonjo tak begitu peduli akan hal lain selain takhtanya. Ia bahkan tak tertarik mengetahui berapa banyak rakyat yang tewas selama perang untuk menyelamatkan dinastinya,” tambahnya. Menurut Michael J. Seth dalam A History of Korea: From Antiquity to the Present, sistem kelas itu merupakan warisan dari Dinasti Goryeo, sebelum berdirinya Dinasti Joseon pada 1392 yang menganut neo-konfusianisme sebagai ideologinya. Pembagian kelasnya meliputi: yangban (bangsawan), jungin (rakyat kelas menengah), sangmin (rakyat kelas bawah), dan cheongmin (rakyat jelata). Adapun kelas nobi terbagi dua golongan, yakni sanobi (budak milik kerajaan) dan gongnobi (budak milik masyarakat biasa). 

Sistem kelas ini sempat hampir memudar selama Perang Imjin. Toh saat Joseon dalam situasi darurat, Raja Seonjo memerintahkan setiap orang –laki-laki maupun perempuan– dari kalangan bangsawan hingga budak untuk ikut dalam wajib militer. Setelah perang, Raja Seonjo memulihkan lagi sistem kelas itu. 

Baca juga: Demam Drama Korea Lintas Zaman

Karakter Raja Seonjo dalam film (kiri) & potret lukisan aslinya (Netflix/imjinkorea.or.kr)

“Sistem kelas itu kian menguat ketika kelas yangban mendominasi politik, sosial, dan terutama ekonomi dalam aspek golongan-golongan saudagar. Baru pada 1801 muncul sebuah instruksi kerajaan terkait emansipasi budak yang dimiliki negara dan pengapusan total perbudakan dalam sistem kelas Korea pada 1894,” tulis Kelly Mass dalam Korean History: A Concise Overview of Warlords, Empires, Colonists, and More. 

Oleh karenanya, Uprising tak hanya mengajak penontonnya menyimak babak peperangan selama invasi Jepang tapi juga menyelami lebih dalam tentang apa yang dialami rakyat jelata dan kalangan budak era itu yang tak cuma melawan Jepang tapi juga rajanya sendiri sebagai antagonis utama yang mempertahankan tembok besar kelas sosial dan perbudakan seiring Perang Imjin. 

“Semua orang Korea tahu tentang perang ini dan eksistensi pasukan sukarelawan. Tapi saya sendiri juga baru belajar dari film ini tentang beragam emosi yang terdapat di dalam fakta-fakta sejarah itu. Bahkan tidak hanya belajar tentang fakta-faktanya tapi juga menengok lebih dalam apa yang terjadi di balik itu,” tandas Park Jeong-min yang memerankan Jong-ryeo. 

Deskripsi Film:   

Judul: Uprising | Sutradara: Kim Sang-man | Produser: Park Chan-wok, Yoon Suk-chan, Baek Ji-sun, Go Dae-suk| Pemain: Gang Dong-won, Park Jeong-min, Kim Shin-rok, Jin Seon-kyu, Jung Sung-il, Cha Seung-won, Hong Seo-jun, Kwon Hyuk | Produksi: Moho Film, Semicolon Studio | Distributor: Netflix | Genre: Action Sejarah | Durasi: 126 menit | Rilis: 2 Oktober 2024, 11 Oktober 2024 (Netflix).  

TAG

korea korea selatan korea-selatan film penjajahan-jepang jepang pendudukan jepang

ARTIKEL TERKAIT

Jalan Perjuangan Tak Berujung dalam Perang Kota Empat Film Korea Selatan yang Menggambarkan Darurat Militer Senna Si Raja Lintasan Basah The Children’s Train dan Nasib Anak-anak Korban Perang di Italia Mengenal Tang Soo Do dari Cobra Kai Munculnya Si Doel (Bagian III – Habis) Munculnya Si Doel (Bagian II) Rahayu Effendi Pernah Susah di Awal Karier Yok Koeswoyo yang Tinggal dari Koes Plus Potret Pribumi Ainu di Balik Golden Kamuy