PADA suatu siang di pertengahan 1946, sepasukan tentara Inggris berwajah keras dengan ubel-ubel di kepala di atas truk menyusuri jalan-jalan sepi di jantung kota Jakarta. Sebuah jip berbendera Inggris tapi dikendarai dua prajurit NICA berbaret hijau mengikuti di belakangnya. Mereka lantas berhenti di sebuah toko milik seorang Tionghoa tua (diperankan Chew Kin Wah) lalu menggeledahnya.
“Belanda, pakai baju Inggris, Nederlands spreken (berbahasa Belanda),” gumam si Tionghoa yang dahinya ditodong prajurit NICA dengan revolver Webley.
Penggeledahan di jalan dan gang-gang sempit itu turut disaksikan seorang parlente bertopi fedora, Guru Isa (Chicco Jerikho). Situasi mencekam karena teriring letupan senjata itu juga meresahkan istrinya, Fatimah (Ariel Tatum).
Keadaan itu kemudian memaksa Guru Isa, seorang pendidik sekolah dasar yang pasifis dan selalu menghindari kekerasan, untuk bergabung ke kelompok gerilya bawah tanah. Ia bertemu pemuda berapi-api dalam berjuang, Hazil (Jerome Kurnia).
Baca juga: De Oost dan Ikhtiar Menyembuhkan Luka Lama
Begitulah beberapa adegan di trailer film perang bertajuk Perang Kota akun Youtube cinesurya, 11 Desember 2024. Film drama perang berdurasi 2 menit 27 detik garapan sineas Mouly Surya itu dirilis rumah produksi Cinesurya, Starvision Plus, dan Kaninga Pictures yang diadaptasi dari novel laris karya jurnalis dan sastrawan Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung (1952).
Sesuai novelnya, Perang Kota juga mengambil latar belakang suasana mencekam di jantung Jakarta medio 1946. Saat itu Jakarta sudah “dikuasai” pasukan Inggris yang dibonceng NICA (Nederlands Indische Civil Administratie). Perlawanan massa-rakyat nyaris tak ada. Sebab, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sudah keluar sejak 19 November 1945. Presiden Sukarno pun sudah memindahkan ibukota republik ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946.
Faktanya, “bumbu-bumbu” perlawanan kontra pasukan Inggris dan Belanda di awal-awal revolusi kemerdekaan terjadi di sejumlah pinggiran Jakarta. Salah satunya Pertempuran Jatinegara, antara sepasukan laskar melawan Belanda yang membakar ratusan rumah di kawasan Meester Cornelis (Jatinegara). Pertempuran terjadi di hari yang sama dengan kepindahan diam-diam Sukarno ke Yogyakarta.
“Di Jatinegara terjadi pertempuran pihak Indonesia dengan Belanda yang membakar rumah penduduk: 500 orang warga negara Indonesia kehilangan rumahnya,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia 2.
Baca juga: Setelah Inggris Menjadikan Bekasi Lautan Api
Manusia Indonesia dalam Gejolak Revolusi
Novel Jalan Tak Ada Ujung jadi karya kedua Mochtar Lubis dengan latar revolusi kemerdekaan setelah Tidak Ada Esok (1950). Namun, menurut sastrawan Muhammad Balfas dalam artikel kritik “Modern Indonesian Literature in Brief” yang termaktub di buku Handbuch der Orientalistik: Literaturen, Volume 1, novel pertamanya itu dianggap lebih seperti reportase, bukan karya sastra.
“Lubis lebih sukses dalam novel keduanya, Jalan Tak Ada Ujung yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1952. Dari karya-karyanya kemudian, novel ini tetap yang dianggap terbaik,” tulis Balfas.
Novel Jalan Tak Ada Ujung pada 1953 membuahkan penghargaan novel pendek (167 halaman) terbaik dari Badan Musyarawan Kebudayaan Nasional. Lantas pada 1968 karya tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh AH Jones dengan judul A Road with no End, dan pada 1988 diterjemahkan pula ke dalam bahasa Mandarin.
Baca juga: Munculnya Si Doel dalam Novel Karya Madjoindo
Novel itu berpusar pada pergelutan tiga karakter utamanya: Guru Isa, Fatimah, dan Hazil –terlepas dari beberapa tokoh pendukung lainnya yang melintasi tiga masa: era kolonial Hindia Belanda, era pendudukan Jepang, dan era revolusi kemerdekaan. Tokoh utama Guru Isa diceritakan sebagai seorang pengajar yang cinta damai dan selalu menghindari konflik.
“Guru Isa merasa sudah hidup tenteram sebagai guru pada masa penjajahan Belanda. Namun ketenteraman jiwanya harus terkoyak oleh kesulitan hidup dan kekerasan sosial semasa pendudukan Jepang. Akibatnya dia menjadi penakut, bahkan hilang kejantanannya,” tulis Yudiono K.S. dalam Pengantar Sejarah Sastra Indonesia.
Rasa takut yang menekan mental membuat Guru Isa menjadi impoten. Hal tersebut kemudian merisaukan istrinya, Fatimah, yang mendambakan kasih sayang sekaligus buah hati.
Tetapi karakter Isa berangsur-angsur berubah menjadi jantan kembali setelah bertemu Hazil. Ia seorang pemuda sesama pecinta musik yang jadi sahabatnya dan mengajaknya bergabung ke kelompok perlawanan bawah tanah.
Pergelutan perjuangannya juga berpusar di jantung Jakarta, di antaranya Kebon Sirih, Gang Jaksa, dan kawasan Senen dengan Bioskop Rex-nya. Lokasi di mana Guru Isa dkk. merencanakan untuk menghabisi petinggi Belanda.
“Perjuangan ini, meskipun kita sudah merdeka (Proklamasi 17 Agustus 1945, red.), belum juga sampai ke ujungnya. Di mana ada ujung perjuangan dan perburuan manusia mencari bahagia? Sekali kita memilih jalan perjuangan, maka itu jalan tak ada ujungnya. Dan kita, engkau, aku, semuanya telah memilih jalan perjuangan,” ujar Hazil dalam sebuah dialognya pada Guru Isa dalam Bagian 3 novelnya.
Baca juga: John le Carré di Antara Dunia Mata-mata dan Sastra
Melalui karakter Guru Isa, Hazil, dan Fatimah, pembaca tak hanya mendapat gambaran lebih dalam tentang perlawanan para pemuda terhadap Belanda yang ingin menjajah kembali tanah Indonesia. Sisi humanis berbagai karakter manusia Indonesia dengan kehangatan cinta, semangat perjuangan, ketakutan, dan pengkhianatan juga dihadirkan.
“Cerita ini sederhana, lugas, tanpa sub-plot, terlepas dari perselingkuhan sesaat antara istrinya Isa, Fatimah, dengan sahabatnya, Hazil. Tapi cerita ini memperlihatkan perlakuan yang memadai akan karakter-karakternya,” sambung Balfas.
Selain Guru Isa, karakter Hazil pun kemudian juga menemukan titik balik pergantian dimensinya. Ia mulanya seorang yang patriotis dan berapi-api dalam melancarkan perjuangannya.
“Tokoh Hazil menunjukkan corak humanis yang lebih mendalam. Baginya, revolusi dan negara bukan tujuan utama perjuangan. Individu dan kebahagiaan individulah yang utama. Ia yakin bahwa perjuangan manusia itu tidak akan terhenti setelah revolusi,” tulis Aprinus Salam dan Ramayda Akmal dalam Pahlawan dan Pecundang: Militer dalam Novel-Novel Indonesia.
Hazil berubah dari seorang yang patriotis menjadi pengecut dan pengkhianat. Tidak hanya mengkhianati Guru Isa dengan merayu istrinya dan menjalani hubungan badan terlarang dengan Fatimah tapi mengkhianati perjuangan hanya karena siksaan ringan saat Hazil dan Guru Isa diinterogasi Belanda secara terpisah.
“Mochtar Lubis membahas dekadensi moral tokohnya, khususnya pada kasus Hazil. Hal ini sepaham dengan pandangan Mochtar Lubis mengenai karakter manusia Indonesia, yaitu: munafik, tidak bertanggungjawab, dan lemah karakter. Hazil sebagai pejuang yang pemberani adalah semu belaka. Tapi terdapat pula keberanian hakiki terlihat dari diri tokoh Guru Isa yang tidak takut lagi pada siksaan di penjara. Keberanian yang muncul sebagai puncak akumulasi ketakutannya,” ungkap Andri Wicaksono dalam Antara Fiksi dan Realita: Representasi Revolusi Nasional 1945-1949 dalam Novel Indonesia.
Sedikit-banyak karakter manusia Indonesia yang demikian masih tersisa, bahkan di zaman AI (kecerdasan buatan) sekarang. Maka, adaptasi novel berikut karakter-karakter tadi rasanya masih sangat relevan dibawakan Mouly Surya dalam film Perang Kota.
Baca juga: Allied dan Kisah Mata-Mata Perempuan di Tengah Perang
Tema-tema demikian masih tergolong niche market atau segmen pasar tertentu. Setidaknya Perang Kota bisa jadi opsi publik tanah air di tengah gempuran film-film romansa, komedi, atau horor di perfilman nasional.
Namun perlu diperhatikan pula keontentikan proses kreatifnya. Mengingat, seperti pembukaan trailer di atas, sebutan Gurkha untuk menyebut serdadu Inggris yang mengenakan ubel-ubel alias turban tentu keliru. Busana tersebut khas dikenakan serdadu etnis Sikh asal India. Adapun serdadu Gurka asal Nepal lazimnya mengenakan helm brodie biasa atau slouch hat.
Terlepas dari itu, menariknya Perang Kota digarap dengan lebih “ramah” pasar via vibes laiknya film-film bertema resistance atau perlawanan bawah tanah melawan Nazi Jerman, baik di Prancis, Belanda, ataupun Polandia di masa Perang Dunia II. Atmosfer dan sinematografi dalam adegan-adegan trailer-nya cukup familiar dengan film-film bertema itu, di antaranya Zwartboek (2006), Les Femmes de l’ombre (2008), Defiance (2008), Max Manus: Man of War (2008), Inglourious Basterds (2009), dan The Man with the Iron Heart (2017).
Namun rasa penasaran bagaimana serunya adaptasi novel itu ke layar lebar via Perang Kota masih harus dibendung. Untuk sementara, filmnya diwacanakan akan diputar di bioskop-bioskop tanah air pada 2025 tanpa kejelasan tanggal dan bulannya. Kendati premier-nya, Perang Kota dengan alih judul internasionalnya This City Is a Battlefield, mendapat kehormatan jadi film penutup di ajang International Film Festival Rotterdam (IFFR) ke-54 yang dihelat 30 Januari-9 Februari 2025.
“(Film) This City is a Battlefield tiada lain adalah hasil produksi yang berkelas, terkombinasi dengan grandeur-nya epik perang dan keintiman drama personal. Film produksi bersama Indonesia-Belanda ini menyibak dampak perang pada orang-orang biasa dan membawanya melalui kultur yang mendalam dan resonansi sinematik,” tandas direktur festival, Vanja Kaludjercic di laman resmi IFFR, 10 Desember 2024.
Baca juga: The Dreamers, Drama Vulgar di Tengah Prahara Politis