Masuk Daftar
My Getplus

The Dreamers, Drama Vulgar di Tengah Prahara Politis

Europe on Screen 2019 memutar karya-karya sineas legendaris Bernardo Bertolucci. “The Dreamers” salah satunya.

Oleh: Randy Wirayudha | 27 Apr 2019
Judul: The Dreamers | Sutradara: Bernardo Bertolucci | Produser: Jeremy Thomas | Pemain: Michael Pitt, Eva Green, Louis Garrel, Anna Chancellor, Robin Renucci | Produksi: Recorder Picture Company | Distributor: TFM Distribution, Medusa Distribuzione, Fox Searchlight Pictures | Genre: Drama Romantis | Durasi: 115 Menit | Rilis: 10 Oktober 2003 (Italia), 10 Desember 2003 (Prancis), 6 Februari 2004 (Amerika Serikat)

GADIS bertopi baret merah khas Prancis yang sedang bersender di pagar besi gedung Cinémathèque Française itu begitu memanjakan mata dan hati Matthew (diperankan Michael Pitt). Mulanya, jejaka Amerika Serikat yang kuliah di Prancis lewat pertukaran pelajar itu begitu ragu untuk berkenalan dengan Isabelle (Eva Green), gadis itu. Namun tatapan sang gadis memecut nyalinya untuk memberanikan diri melakukannya.

Adegan itu jadi momen cinta pada pandangan pertama Matthew terhadap Isabelle yang jadi prolog film The Dreamers garapan sineas legendaris asal Italia Bernardo Bertolucci. Plot kisah film bergenre drama romantis ini diiringi suasana protes yang berujung kerusuhan Mei 1968 di Prancis. Pertemuan Matthew dengan Isabelle itu pun diracik sang penulis skenario Gilbert Adair, di tengah-tengah protes mahasiswa terhadap pemecatan Direktur Cinémathèque Française Henri Langlois oleh Menteri Kebudayaan André Malraux.

Dalam momen itu Matthew juga diperkenalkan Théo (Louis Garrel), saudara kembar Isabelle. Namun perkenalan itu tak bisa berlangsung lama lantaran pecah kericuhan antara para mahasiswa yang berunjuk rasa dengan polisi. Ketiganya pun memilih kabur. Perkenalan tersebut jadi bab baru dalam kehidupan Matthew.

Advertising
Advertising

Sebagai pribadi yang polos, Matthew merasakan atmosfer berbeda saat diundang Isabelle dan Théo untuk makan malam bersama kedua orangtua mereka, George (Robin Renucci) dan istrinya (Anna Chancellor). Selepas makan malam yang sarat pembicaraan filosofis antara Matthew dan George, sang mahasiswa asing itu ditawarkan bermalam.

Keesokannya, kepolosan Matthew kian keras bertubrukan dengan atmosfer yang asing jika dibandingkan dengan kehidupannya di kampung halaman San Diego, California. Terlebih saat Matthew ditawari untuk tinggal sementara di apartemen mereka kala kedua orangtua si kembar bepergian untuk waktu lama.

Baca juga: Papillon Ogah Pasrah

Matthew segera insyaf akan kebiasaan-kebiasaan asing si kembar. Salah satunya, si kembar tidur bersama tanpa sehelai pakaian ketika Matthew tak sengaja mengintip. Matthew kian merasa canggung dengan tabiat-tabiat vulgar Isabelle dan Théo.

Menariknya, dalam film ini penonton diajak bernostalgia dengan film-film lawas. Pasalnya, ketiganya klop soal kegemaran akan perfilman. Penonton juga akan dibawa untuk “berkubu” saat Matthew dan Théo beberapakali berdebat soal siapa yang lebih hebat antara aktor Charlie Chaplin dan Buster Keaton, atau gitaris Eric Clapton dan Jimi Hendrix. Ketiganya bahkan nekat me-reka ulang adegan berlarian di Museum Louvre untuk mencatatkan rekor waktu yang ada di film Bande á part  (1964).

Bab baru kehidupan Matthew bergulir lebih mencengangkan ketika melihat si kembar taruhan kala tebak-tebakan judul film. Saat Théo gagal menyebut film yang diadegankan Isabelle, Théo terpaksa melakoni hukumannya. Di sinilah penonton harus bersiap melihat adegan-adegan seksual yang vulgar. Théo harus bermasturbasi di depan poster Marlene Dietrich dengan disaksikan Isabelle dan Matthew.

Syok Matthew memuncak saat ia dan Isabelle gagal menebak adegan yang ditirukan Théo. Sebagai hukumannya, Théo ingin menyaksikan Isabelle bersetubuh dengan Matthew. Meski mulanya menolak, Matthew akhirnya mau. Sampai di sini, adegannya hanya untuk 18 tahun ke atas.

Lama-kelamaan, Matthew terbiasa dengan kelakuan-kelakuan si kembar. Matthew juga kian menyadari latarbelakang keduanya hingga jatuh cinta, tidak hanya pada Isabelle namun juga Théo. Sayangnya kelakuan vulgar ketiganya, seperti tidur pulas dalam keadaan bugil bersama, diketahui kedua orangtua si kembar yang kembali dari perjalanan jauh mereka.

Isabelle insyaf bahwa orangtuanya tahu kelakuan mereka. Tak kuat hati, ia mencoba bunuh diri bersama Matthew dan Théo yang masih tertidur pulas dengan menghirup gas. Namun upaya itu urung dilakukan lantaran dikagetkan oleh lemparan batu yang memecahkan kaca apartemen mereka.

Mereka pun terbangun dan menyaksikan massa demonstran sedang ber-long march. Ketiganya memutuskan turut dalam kerumunan itu. Théo yang tertular kawan-kawannya yang lain untuk menyiapkan bom molotov, sempat ditahan Matthew yang tak ingin adanya kekerasan. Namun Théo berkeras hati. Isabelle yang tak bisa jauh dari saudara kembarnya, menolak berpihak pada Matthew. Sementara Isabelle ikut-ikutan Théo menyerang barisan polisi dengan bom molotov, Matthew pilih balik badan.

Persembahan Europe on Screen Mengenang Bertolucci

The Dreamers digarap Bertolucci pada 2003 berdasarkan novel semi-biopik The Holy Innocents (1988) karya Adair. Adair sendiri dijadikan Bertolucci sebagai penulis naskah setelah sang sineas berhasil membujukanya agar karyanya difilmkan. Sebelumnya, banyak sineas dan rumah produksi gagal merayu Adair menjual karyanya untuk diangkat ke layar perak.

Bertolucci jelas tidak menuangkan 100 persen naskah novel karya Adair itu ke dalam filmnya yang rilis pada 10 Oktober 2003 itu. Sejumlah penyesuaian dibuatnya agar filmnya tak mendobrak etika seni. Adegan sensual homoseksual antara Matthew dan Théo, misalnya.

“(Adegan) seks gay memang mulanya ada di skenario pertama, namun saya merasa itu akan melewati batas dan berlebihan. Saya bilang pada Gilbert: ‘Mohon jangan merasa dikhianati, namun ketika buku diangkat ke dalam film, segalanya menjadi konsep baru. Tapi saya merasa spirit buku itu tetap ada walau tetap harus saya jadikan gaya saya sendiri di dalam film,” ungkap Bertolucci kepada The Guardian, 5 Februari 2018.

Film ini jadi salah satu karya terakhir Bertolucci yang dikenal kerap meracik film-film erotis macam Il Conformista (1970), Last Tango in Paris (1972) atau Stealing Beauty (1996). Bertolucci sendiri menghembuskan nafas terakhirnya pada 26 November 2018 di usia 77 tahun akibat kanker paru-paru.

Baca juga: Melihat Benua Biru Lewat Europe on Screen

Untuk mengenang sosoknya, Europe on Screen edisi 2019 memutar tiga karyanya yang digarap di tiga negara serta tiga bahasa berbeda yang didapat dari kearsipan Pusat Kebudayaan Italia (Instituto Italiano di Cultura). The Dreamers salah satunya, diputar dua kali di dua lokasi di Jakarta, yakni IIC (23 April) dan Kineforum (25 April 2019). Sementara dua film lainnya: Il Conformista (1970) pada 20 dan 27 April dan The Last Emperor (1987) pada 19 dan 28 April 2019.

Namun, The Dreamers hendaknya tidak ditonton pemirsa berusia 18 tahun ke bawah lantaran memuat banyak adegan seksual yang frontal.

TAG

Europe-on-Screen Sejarah-Film Film

ARTIKEL TERKAIT

Jalan Perjuangan Tak Berujung dalam Perang Kota Empat Film Korea Selatan yang Menggambarkan Darurat Militer Senna Si Raja Lintasan Basah The Children’s Train dan Nasib Anak-anak Korban Perang di Italia Mengenal Tang Soo Do dari Cobra Kai Munculnya Si Doel (Bagian III – Habis) Munculnya Si Doel (Bagian II) Rahayu Effendi Pernah Susah di Awal Karier Yok Koeswoyo yang Tinggal dari Koes Plus Potret Pribumi Ainu di Balik Golden Kamuy