SEORANG violinis terkemuka Italia, Amerigo Speranza (diperankan aktor Italia Stefano Accorsi), bersiap tampil dalam pertunjukan musik ketika ia mendapat panggilan telepon yang mengabarkan ibunya meninggal dunia. Kabar mengejutkan itu membuat ingatannya kembali ke tahun 1940-an, ketika ia dan ibunya, Antonietta (diperankan Serena Rossi), menjadi saksi kehancuran kota Naples di masa Perang Dunia II.
Kekalahan diktator Italia, Benito Mussolini, dan keberhasilan Sekutu menaklukkan Nazi serta Jepang menandai berakhirnya Perang Dunia II. Meski begitu, perayaan suka cita atas keberhasilan menggulingkan pemimpin fasis dibayangi dampak perang yang mengerikan. Serangan bom yang bertubi-tubi tak hanya menghancurkan berbagai bangunan dan infrastruktur, tetapi juga menceraiberaikan anggota keluarga dan menewaskan banyak orang terkasih. Ribuan orang hidup miskin dan terkatung-katung dalam kehidupan yang serba sulit. Atas dasar hal ini pula, Amerigo kecil (diperankan Christian Cervone) bersama sejumlah anak dikirim ke wilayah Utara.
Perjalanan panjang menggunakan kereta api yang dilakukan Amerigo bersama anak-anak miskin di wilayah Selatan Italia pada 1946 itu menjadi tema cerita film Italia berjudul Il Treno dei Bambini yang diadaptasi dari novel karya Viola Ardone, The Children’s Train. Berlatar kehidupan pasca perang, film garapan Cristina Comencini yang tayang di Netflix itu mengangkat kisah nyata yang luput dalam sejarah modern Italia, di mana anak-anak korban perang yang hidup serba kesulitan di Selatan dikirim ke Utara untuk tinggal dengan keluarga lain selama beberapa waktu. Program ini dikenal dengan sebutan The Happiness Train.
Baca juga:
Sejarawan Italia, Giovanni Rinaldi menulis dalam C’Ero Anch’io Su Quel Treno: La Vera Storia del Bambini che Unirono I’Italia, The Happiness Train muncul sebagai bentuk solidaritas kolektif dan kekeluargaan yang terorganisir di Italia setelah berakhirnya Perang Dunia II, yang sebagian besar kegiatannya dikoordinasikan oleh partai dan organisasi sayap kiri.
“Keluarga-keluarga dari Emilia-Romagna, Marches, Tuscany, dan Liguria, yang tergabung dalam jaringan Komite untuk Keselamatan Anak, untuk sementara waktu menerima anak-anak dari Selatan ke dalam rumah mereka, begitu juga dengan anak-anak yang berasal dari wilayah yang terkena bom atau banjir, seperti yang terjadi di Polesine. Sebuah organisasi massa besar yang antara tahun 1945 dan 1952 membawa lebih dari 70.000 anak untuk merasakan pengasuhan keluarga ini,” tulis Rinaldi.
Kendati muncul sebagai bentuk solidaritas kolektif, terdapat satu nama yang berkaitan erat dengan gerakan yang muncul di Milan ini. Ia adalah Teresa Noce, seorang pemimpin komunis, yang bertempur di Spanyol dengan Brigade Internasional dengan nama sandi Estella. Setelah diinternir oleh Nazi di kamp Ravensbruck, Noce kembali ke Italia segera setelah pembebasan. Prihatin dengan anak-anak miskin kelaparan di pinggiran kota Milan, Noce mengutus aktivis Unione Donne in Italia (UDI) atau Serikat Perempuan Italia untuk meminta rekan-rekan mereka di Reggio Emilia agar menampung beberapa anak terlantar selama musim dingin.
“Tanggapan yang mereka terima melampaui ekspektasi. Rekan-rekan mereka di Reggio Emilia merespons positif ajakan tersebut. Mereka bersedia menampung sekitar dua ribu anak-anak Milan, dan tak butuh waktu lama kelompok-kelompok di kota lain segera mengikutinya. Selain keluarga para pekerja Reggio Emilia, keluarga-keluarga di Modena, Parma, dan Bologna juga menawarkan diri untuk menampung anak-anak tersebut,” jelas Rinaldi.
Menurut sejarawan Victoria C. Belco dalam War, Massacre, and Recovery in Central Italy, 1943-1948, UDI berperan besar dalam The Happiness Train. Para anggota kelompok yang didirikan pada September 1944 itu mengembangkan program yang memusatkan perhatian kepada perempuan dan anak-anak di berbagai wilayah Italia.
“Setelah perang berakhir, para wanita mempersiapkan ‘kegiatan bantuan yang lebih aktif’ khususnya di musim dingin, dengan mendirikan sekolah-sekolah penitipan anak dan program makanan hangat. Pada Maret 1946, anak-anak miskin dari kota Arezzo, yang semuanya adalah putra dan putri dari ‘pengangguran, janda, atau tawanan perang’ akan menjadi tamu ‘keluarga pekerja’ Valdarno selama dua bulan atau lebih, untuk diasuh oleh ‘para ibu dari keluarga-keluarga yang bekerja’,” tulis Belco.
Baca juga:
Aroma Pemberontakan di Balik Hidangan Pasta
Pada tahap awal pengembangan The Happiness Train, gagasan para perempuan komunis yang dipimpin oleh Noce ini ditanggapi dingin dan skeptis oleh pemimpin partai komunis maupun sosialis. Mereka mungkin melihat inisiatif ini hanya untuk kepentingan perempuan dan amal. Selain itu, pimpinan partai telah menyarankan agar mereka hanya membantu anak-anak dari kawan-kawan, dan tidak semua anak, tanpa memandang posisi politik keluarga. Namun, para perempuan komunis mengatasi ketidakpercayaan ini dengan bekerja untuk menyelamatkan semua anak dari kesengsaraan dan kelaparan.
Tantangan lain muncul dari masyarakat. Ketidaktahuan membuat mereka tak mau menyerahkan anak-anaknya untuk dikirim ke Utara. Bahkan, informasi keliru mengenai The Happiness Train memunculkan rumor bahwa komunis memakan anak-anak atau mengubah mereka menjadi sabun. Pro dan kontra kegiatan ini juga ditampilkan Comencini dalam filmnya yang berdurasi 105 menit, di mana sejumlah orang berunjuk rasa menolak pengiriman anak-anak dari wilayah Selatan ke Utara. Penolakan ini teratasi setelah anggota UDI menjelaskan bahwa maksud dan tujuan mengirimkan anak-anak ke wilayah Utara untuk memberikan kehidupan yang lebih baik.
“Maka, banyak militan yang bergabung dalam pengorganisasian perjalanan tersebut mengurus perawatan dan vaksinasi anak-anak, mengumpulkan pakaian, kaus kaki, dan sepatu dari perorangan, institusi dan pedagang, mengorganisir sesi potong rambut dan pencabutan kutu,” tulis Rinaldi.
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak pihak yang bergabung dengan UDI. Pihak perkeretaapian juga membantu menyediakan kereta yang akan mengantarkan anak-anak ke Utara. Sebuah konvoi panjang, dengan lebih dari seribu anak-anak, yang disuguhi ransum seperti biskuit, keju, dan cokelat.
“Setelah perjalanan pertama dari Milan ke Emilia ini, kereta-kereta lainnya menyusul dari seluruh penjuru Italia. Kereta-kereta lain berangkat, dan kemudian kereta-kereta lainnya menyusul. Diputuskan untuk memperluas inisiatif ini dan berakar di Italia Selatan: di Napoli, yang telah setengah hancur akibat pengeboman, di Cassino yang rata dengan tanah saat pasukan Anglo-Amerika datang, di Roma di mana perang telah meninggalkan jejak panjang berupa permukiman kumuh, korupsi, kelaparan,” tulis Rinaldi.
Baca juga:
Darah Daging Fasisme Italia Menggebrak Eropa
“Kemudian anak-anak juga menaiki kereta api di Calabria dan melakukan perjalanan dari Sisilia dan Sardinia. Selain keluarga-keluarga para pekerja dari Reggio Emilia, keluarga-keluarga dari Modena, Parma, Piacenza, dan secara bertahap kota-kota dan desa-desa kecil di seluruh Emilia-Romagna dan kemudian Tuscany, Liguria, Umbria, Marches menawarkan diri untuk menampung anak-anak korban perang,” tambahnya.
Meski berlangsung kurang dari sepuluh tahun, pengiriman anak-anak korban perang dari wilayah Selatan ke Utara mencapai hasil yang luar biasa dengan tantangan yang juga cukup besar. Kesulitan terbesar –integrasi anak-anak ke dalam lingkungan baru mereka, keluarga angkat dan sekolah– terutama bersifat kultural, yang paling sering diperparah oleh buta huruf. Mereka juga kekurangan gizi dan menderita trachomatous.
Kendati demikian, kerjasama kolektif membuka mata banyak pihak bahwa dengan cara ini mereka dapat menemukan sarana yang diperlukan untuk memelihara anak-anak, membina hubungan antara anak-anak yang ditampung dan keluarga angkat, dan mendapatkan kolaborasi yang berharga dari para dokter. Melalui kegiatan ini pula, dua dunia yang sangat berbeda di Italia Selatan dan Utara dapat bertemu dalam pertukaran budaya yang unik, di mana keduanya tumbuh dari pengalaman tersebut.*