SAAT kepulan gas makin pekat, taruna remaja Lena Derricott (diperankan Ebony Obsidian) kian gelisah hingga ia melepaskan masker gas dan keluar ruangan latihan untuk menyerah. Instruktur Kapten Charity Adams pun menegur keras lantaran itu jadi kali kedua Lena menyerah pada salah satu sesi latihan dasar (latsar) di Fort Oglethorpe, Georgia, Amerika Serikat.
Lantas dalam kontemplasi Lena di suatu siang pada 1944 di baraknya, tersisip ingatan akan mendiang kekasihnya, Letnan Abram David (Gregg Sulkin), seorang pilot USAAF atau Unit Udara Angkatan Darat Amerika Serikat (AD AS). Lena dan Abram adalah sahabat sejak masa kecil tapi memadu kasih saat beranjak dewasa walau mesti “melawan arus”. Sebab, Lena gadis kulit hitam dan Abram cowok kulit putih Yahudi di masa Amerika masih kental segregasinya. Nahas, keduanya terpisah maut setelah Abram tewas di sebuah pertempuran udara melawan Jerman Nazi.
Kapten Charity Adams (Kerry Washington), instruktur merangkap komandan batalyon, yang selama ini melatih para taruna WAC dengan keras, mewanti-wanti Lena untuk tidak main-main selama latsar. Satu kesalahan lagi dilakukanya, dia bakal dikeluarkan. Namun, memori Abram jadi pemantik Lena untuk bangkit.
“Aku ingin melawan (pemimpin Jerman Nazi, Adolf) Hitler,” Lena bertekad.
Baca juga: Satir Penerbang Bengal dalam Catch-22
Cuplikan adegan greget itu merupakan bagian dari kisah The Six Triple Eight garapan sineas Tyler Perry. Film drama perang ini mengadaptasi artikel sejarawan Kevin M. Hymel di majalah WWII History Volume 18, No. 2 edisi Februari 2019, “WAC Corporal Lena Derriecott and the 6888th Central Postal Battalion”.
Tetapi, masa perang tak serta-merta menghapuskan segregasi yang melahirkan perlakuan-perlakuan rasis dari para perwira kulit putih. Pasalnya, meski Kapten Adams merasa batalyonnya harus membuktikan diri dua kali lebih keras tapi mereka tetap dianggap inferior ketimbang para perempuan kulit putih di kesatuan korps wanita lain yang dikirim ke front Eropa.
Kesempatan membuktikan diri baru muncul seiring kebutuhan akan pengaturan surat-menyurat antara pihak keluarga dan prajurit yang berperang. Isu ini diungkit tokoh HAM perempuan kulit hitam Mary McLeod Bethune (Oprah Winfrey) dan Ibu Negara Eleanor Roosevelt (Susan Sarandon). Isu kemudian dibahas di antara pucuk pimpinan militer Amerika hingga kemudian disetujui Presiden Franklin Delano Roosevelt (Sam Waterston). Tugas itu dipercayakan kepada Jenderal Halt (Dean Norris) yang lantas mengirim korps wanita kulit hitam– yang kemudian menyandang nama Batalyon Direktorat Pos Pusat ke-6888– itu ke Skotlandia.
Mirisnya, sang jenderal rasis itu mengirim korps tersebut dengan kapal kargo tanpa pengawalan kapal-kapal perang. Alhasil kapal mesti bermanuver menghindari serangan-serangan kapal selam Jerman. Setibanya di Skotlandia pada Februari 1945 pun batalyon yang kelelahan usai pelayaran panjang itu terpaksa berbaris dan berjalan kaki karena tak disediakan truk-truk angkut.
Baca juga: Harriet "Musa" Pembebas Budak
Akomodasi untuk mereka pun jauh dari kata layak. Tempat mereka bekerja hanya berupa bekas gedung sekolah yang hancur akibat serangan bom terbang V-1 (Vergeltung 1) dan roket V-2 (Vergeltung-2) Jerman. Sementara, tugas amat berat sudah menanti: mengatur pengiriman 17 lembar surat pribadi dari dan menuju keluarga prajurit yang menggunung di gudang-gudang hangar dengan waktu hanya 90 hari.
Bagaimana para prajurit wanita kulit hitam tersebut merampungkan misi yang nyaris mustahil itu? Lalu bagaimana mereka menebalkan mental menghadapi tindakan-tindakan rasis perwira pria dan harus mengelak dari serangan-serangan udara V-1 dan V-2 Jerman? Saksikan kelanjutan film The Six Triple Eight yang sudah rilis sejak 6 Desember 2024 di bioskop dan tayang di Netflix sejak 20 Desember 2024.
"Langkahi Dulu Mayatku, Pak!"
Alunan-alunan music scoring sendu dari komposer Aaron Zigman membuat aneka adegan rasis yang diterima batalyon itu kian melukai hati. Penonton akan merasakan vibes yang begitu familiar dengan film-film bertemakan “Tuskegee Airmen”, julukan para pilot kulit hitam di masa perang seperti The Tuskegee Airmen (1995) dan The Red Tails (2012).
Utamanya dalam adegan inspeksi Jenderal Halt ke tempat kerja batalyon itu. Sang jenderal rasis mengeluhkan banyak hal, padahal ke-885 prajurit anggota korps wanita kulit hitam itu sudah bekerja siang-malam dengan sistem pengaturan surat yang inovatif tapi dengan sedikit waktu istirahat.
Si jenderal yang mencari-cari kesalahan bersikeras ingin menggantikan Adams, sang komandan yang sebelumnya sudah promosi pangkat mayor, dengan seorang perwira laki-laki kulit putih. Mayor Adams pun mulai hilang kesabaran.
“Langkahi dulu mayat saya, Pak! Kami sudah bekerja begitu keras dengan membagi dua shift dengan kondisi yang begitu menyedihkan yang bahkan tak seorangpun (di kemiliteran) menghargai kami. Jadi seperti yang tadi dikatakan: langkahi dulu mayat saya!” kata Mayor Adams, yang diperankan begitu apik oleh Kerry Washington, tegas.
“Kerry Washington begitu meledak-ledak emosinya meski filmnya sendiri ditulis dengan kaku padahal ini kisah satu batalyon wanita dalam perang yang rasanya pantas ditulis (skenarionya) dengan jauh lebih baik,” tulis kritikus Jesse Hassenger di kolom The Guardian, 6 Desember 2024, “Tyler Perry’s War Movie is Another Bomb”.
Baca juga: Commander Arian dan Kemerdekaan Perempuan
Meski begitu, Perry sang sutradara tak memberi porsi besar pada tokoh Mayor Charity Adams. Kisah awal kehidupannya tak mendapat tempat karena film dimulai dari adegan kadet Derriecott dkk. masuk ke barak pelatihan di Fort Oglethorpe. Padahal, Adams merupakan perempuan kulit hitam pertama yang menjadi perwira di WAAC atau Korps Perbantuan AD AS, yang pada 1943 baru bertransformasi menjadi WAC.
Pada setengah awal, The Six Triple Eight terlalu memfokuskan pada kehidupan pribadi Lena Derricott. Adapun setengah akhir film berfokus pada betapa pentingnya surat-menyurat pribadi itu terkirim dan sampai dari dan menuju satu per satu prajurit di front terdepan demi menjaga moril dalam pertempuran-pertempuran menentukan.
Sang Pionir
Lahir di Kittrell, North Carolina pada 5 Desember 1918, Charity Edna Adams merupakan anak sulung dari empat bersaudara pasutri kulit hitam terdidik, Eugene Adams dan Charity Nash. Sebelum terjun ke kemiliteran, Charity sudah sarjana dari dua jurusan: matematika dan fisika, di Wilberforce University. Ia sempat mengikuti jejak orangtuanya menjadi guru.
“Sebuah surat undangan datang saat sudah hampir empat tahun saya menjadi guru. Surat undangan untuk mendaftar ke WAAC yang datang dari Nyonya Teal, dekan perempuan di Universitas Wilberforce. Ternyata Nyonya Teal yang merekomendasikan saya dan rasanya ia takkan merekomendasikannya jika ia tak yakin bahwa saya akan mau mengambil kesempatan ini,” kenang Charity dalam otobiografinya, One Woman’s Army: A Black Officer Remembers the WAC.
WAAC sendiri baru dibentuk pemerintah Amerika pada akhir 1941 tapi mulai aktif menerima perwira wanitanya pada Mei 1942. Menurut Mary Cronk Farrell dalam Standing Up Against Hate: How Black Women in the Army Helped Change the Course of WWII, para wanita yang diterima hanya dari kalangan terdidik dan dianggap punya value seperti Charity Adams. Ia jadi satu dari sedikit wanita kulit hitam yang masuk latsar WAAC di Fort Des Moines pada Juli 1942 walau masih dalam suasana segregasi yang kental.
“Mereka (rekrutan kulit hitam) dipaksa tinggal di barak dan berlatih di fasilias-fasilitas terpisah yang jelas-jelas di bawah standar dengan lingkungan tidak sehat. Tapi bahkan dengan halangan-halangan semacam itu mereka masih mampu menyelesaikan pelatihan, baik dalam latihan mengetik, medis, mengatur logistik dengan lebih baik ketimbang para rekrutan kulit putih,” tulis Farrell.
Baca juga: Nasib Serdadu Hitam Paman Sam
Sebagai rekrutan terbaik, Adams pun lulus dan mencetak sejarah sebagai wanita Afro-Amerika pertama yang menjadi perwira di WAAC. Ia kemudian ditugaskan menjadi pengawas latsar di Kompi ke-3, Resimen Pelatihan ke-3 WAAC di Fort Des Moines.
Memang Adams yang memimpin sepasukan perwira muda WAC kulit hitam ke front Eropa, Tapi bukan Adams yang melatih para perwira itu ketika masih jadi kadet di Fort Oglethorpe, melainkan perwira wanita kulit hitam lainnya, Kapten Abbie Noel Campbell. Tetapi dalam film digambarkan Kapten Adams justru ditemani Kapten Abbie Noel Cambell sebagai ajudan yang memimpin latsar kadet Derriecott dkk. di Fort Oglethorpe.
“Ketika saya tahu akan dilibatkan pengiriman (pasukan) dengan kapal, saya memanfaatkan kesempatan mengecek perlengkapan yang diperlukan, yakni pakaian musim dingin. Saya menyurati teman baik saya, Kapten Abbie Noel Campbell yang memimpin pusat pelatihan khusus mancanegara di Fort Oglethorpe, untuk menyiapkan saya mantel musim dingin demi persiapan ke Eropa,” sambung Adams dalam otobiografinya.
Baca juga: Chevalier Menggugat Égalité
Unit baru dibentuk, yakni Batalyon ke-6888 dan dikirim ke Inggris pada 9 Januari 1945 dengan dipimpin Adams yang sudah promosi dengan pangkat mayor. Jika dalam film hanya digambarkan mereka bertugas di Skotlandia, justru faktanya batalyon itu bertugas di Birmingham, Inggris pada Januari 1945 dan kemudian dipindah ke Rouen, kemudian Paris di Prancis medio Maret 1945 dengan misi mengatur jutaan lembar surat dari dan kepada para prajurit Sekutu di garis depan.
Adams juga mengisahkan tentang perdebatan dengan atasannya yang berlaku rasis. Dalam film digambarkan atasannya bernama Jenderal Halt meski dalam otobiografinya, Adams tak mengungkap siapa nama jenderal yang menginspeksi unitnya pada suatu hari awal 1945 itu.
“Adams, di mana personel lain dari unit ini? Pasalnya unit ini tak seperti pasukan satu batalyon,” tegur sang jenderal saat melihat formasi inspeksi.
“Ya, Pak, tetapi kami bekerja dengan tiga shift bergantian masing-masing delapan jam, jadi personel lain sedang bekerja,” jawab Mayor Adams.
“Di mana yang lain? Malah saya melihat beberapa wanita hanya seliweran saja,” lanjut sang jenderal.
“Pak, satu shift sedang istirahat dan tidur sekarang. Yang Anda lihat tadi...”
“Saya ingin menginspeksi (seluruh) pasukan Anda!” sela sang jenderal.
“Tapi, Pak, instruksi kami...”
“Begini saja, Mayor Adams. Saya akan mengirim seorang letnan satu kulit putih ke sini dan memperlihatkan bagaimana caranya memimpin unit ini!”
“Langkahi dulu mayatku, Pak”
“Anda akan mendengar perintah dari saya, Adams,” tukas sang jenderal.
Baca juga: Allied dan Kisah Mata-Mata Perempuan di Tengah Perang
Sang jenderal yang murka itu memilih pergi. Mayor Adams yang insyaf sudah membayangkan dirinya akan diajukan ke pengadilan militer. Walau hal itu kemudian urung terjadi karena merasa akan lebih merepotkan jika harus mengirim seorang perwira lain dari Amerika ke Eropa.
“Tentu saja saya sangat lega bahwa jenderal itu batal menuntut saya (ke pengadilan militer). Saya tak merasa menang tapi saya tahu bahwa saya sudah menegakkan kehormatan diri saya sendiri. Di sisi lain saya salah karena mengira takkan bertemu dia lagi karena ketika kami pindah ke Rouen dari Birmingham tak lama setelah VE Day (Hari Kemenangan di Eropa, red), Jenderal X itu sempat mendatangi Batalyon ke-6888 lagi,” kenang Adams.
Namun, kali ini perangai sang jenderal tak lagi sama. Sadar bahwa batalyon itu sudah bekerja dengan begitu gemilang, sang jenderal memuji mereka. sang jenderal bahkan mengundangnya untuk mengunjungi markas sang jenderal di Brussels, Belgia dengan menyediakan pesawat.
Baca juga: Race, Kisah Dramatis Atlet Kulit Hitam di Pentas Olahraga Era Nazi
Begitu perang usai, Adams tetap mengukir sejarah dengan jadi wanita Afro-Amerika pertama yang mencapai pangkat letnan kolonel dalam sejarah militer Amerika.
“Saya hanya menjalankan tugas saya,” tandas Adams singkat.
Usai perang, Adams tak melanjutkan karier militernya. Ia memilih melanjutkan studi magisternya di jurusan psikologi di Ohio State University pada 1946 dan tiga tahun berselang pindah ke Swiss usai menikahi kekasihnya, Stanley A. Earley Jr.
“Ia sudah tiada (pada 2002) tapi saya membaca memoarnya berulang kali. Saya begitu menghayatinya dan saya selalu membawanya di ruang ganti. Saya juga menyimpan banyak fotonya dan menonton rekaman-rekamannya. Saya berusaha mendengar wawancara-wawancara lama agar bisa menenggelamkan diri saya menuju jiwanya sebisa mungkin karena dia bukan sekadar pahlawan bagi Amerika tapi juga pahlawan bagi demokrasi di seluruh dunia,” tukas Kerry Washington yang memerankan Adams, dikutip NBC, 20 Desember 2024.
Deskripsi Film:
Judul: The Six Triple Eight | Sutradara: Tyler Perry | Produser: Tyler Perry Keri Selig, Carlota Espinosa, Tony Strickland, Angi Bones, Nicole Avant | Pemain: Kerry Washington, Oprah Winfrey, Ebony Obsidian, Susan Sarandon, Gregg Sulkin, Shanice Shantay, Dean Norris | Produksi: Tyler Perry Studios, Mandalay Pictures, Intuition, Her Excellency Productions | Distributor: Netflix | Genre: Drama Perang | Durasi: 127 Menit | Rilis: 6 Desember, 20 Desember 2024 (Netflix).