Masuk Daftar
My Getplus

Allied dan Kisah Mata-Mata Perempuan di Tengah Perang

Berangkat dari kisah abu-abu antara fiksi dan fakta, Allied mengungkap cerita unik tentang mata-mata perempuan di Perang Dunia II

Oleh: Randy Wirayudha | 15 Mar 2021
Melodrama dan thriller perang bertajuk "Allied" yang dibintangi William Bradley 'Brad' Pitt & Marion Cotillard. (Paramount Pictures).

SUATU hari di sebuah padang pasir di Maroko tahun 1942, Komandan Wing (setara letnan kolonel) Angkatan Udara Kanada Max Vatan (diperankan Brad Pitt) mendarat dengan parasutnya. Dengan sabar, sang mata-mata itu menanti agen penghubung yang menjemput dan mengantarnya ke sebuah hotel mewah di Kasablanka.

“Dia mengenakan gaun ungu. Carilah (petunjuk gambar) burung kolibri,” pesan sang agen penghubung kepada Max, menjelaskan bahwa orang yang dimaksud adalah mata-mata asal La Résistance (gerakan perlawanan Prancis) yang akan bermitra dengan Max demi suatu misi genting.

Saat masuk ke hotel tersebut, tampak sekumpulan orang Prancis elite yang tengah bercengkerama. Salah satu perempuan tengah duduk membelakangi Max dan mengenakan gaun ungu dan selendang bergambar kolibri. Orang itulah yang akan jadi partnernya.

Advertising
Advertising

Sosok jelita itu, Marianne Beauséjour (Marion Cotillard), sempat bikin Max tertegun. Maka saat Max menyapanya, Marianne segera memeluknya. Kepada teman-teman sosialita yang tengah berkumpul itu, Marianne memperkenalkannya sebagai sang suami dengan nama samaran Maurice Berne, pemilik tambang fosfat asal Paris.

Baca juga: Child 44, Kisah Pembunuhan Berantai di Rezim Stalin?

Insyaf bahwa bahasa Prancis Max alias Maurice lebih kental logat Québec (Kanada) ketimbang Paris dan khawatir tepergok kawan-kawannya yang pro-Nazi, Marianne berinisiatif langsung mengajak Max pulang. Di rumah persembunyian mereka, Marianne perlahan mengajarkan Max logat Paris dan etiket umum pria asal Paris agar bisa lebih berbaur jelang pesta makan malam di kediaman Duta Besar Jerman untuk Prancis Vichy di Kasablanka.

Seiring perencanaan misi untuk membunuh sang dubes, Max jatuh hati pada Marianne. Hal ini kelak memperumit situasi di tengah gejolak Perang Dunia II.

Alur cerita lantas beringsut ke Hari-H pesta di kediaman dubes Jerman. Hari tersebut menentukan misi keduanya. Urusan hati di antara keduanya mesti mereka sisihkan dulu.

Adegan Max Vatan yang menikahi Marianne setelah melakoni misi bersama. (Paramount Pictures).

Sesuai rencana, dua pucuk senapan mesin ringan sten-gun sudah disiapkan di bawah meja sampanye. Lantas begitu sang dubes muncul, sontak Max dan Marianne membalikkan meja dan mengambil sten-gun itu untuk dibidikkan ke sang dubes. Setelah sang dubes tumbang hingga tewas, keduanya gerak cepat menembaki penjaga dan berhasil kabur dengan selamat.

Aksi itu menjadi sebagian adegan pembuka yang diracik sutradara Robert Zemeckis dalam film thriller perang bertajuk Allied. Puncak ceritanya dipilih sang sineas lewat adegan kala Max meminta izin atasannya, Kolonel Frank Heslop (Jared Harris), untuk bisa membawa Marianne ke London.

Kendati Heslop sudah mewanti-wanti bahwa hubungan asmara yang lahir dari gejolak perang takkan pernah berujung manis, Max tetap mengajak Marianne ke London setelah diizinkan atasannya. Keduanya lalu menikah dan punya seorang putri.

Baca juga: Alkisah Bocah Nazi dan Piyama Yahudi

Segalanya berjalan indah bagi Max hingga suatu hari di tahun 1944, ia dipanggil seorang petinggi intelijen Inggris, SOE (Special Operation Executive). Sang petinggi SOE menduga Marianne adalah agen ganda Jerman. Max syok dan tak percaya.

Untuk menguak benar-tidaknya Marianne adalah agen ganda yang bekerja untuk Abwehr (intelijen militer Jerman), Heslop dan petinggi SOE menginstruksikan Max menjalankan operasi “Blue Dye”. Arahannya, Max akan menerima sebuah informasi palsu di rumahnya dan jika staf pencegat kode SOE menangkap transmisi tentang informasi palsu itu, berarti Marianne adalah benar seorang agen ganda dan Max wajib menghabisi istrinya dari tangannya sendiri demi mencegah dirinya sendiri dicap pengkhianat.

Sanggupkah Max menyisihkan hati nuraninya untuk menghabisi Marianne jika benar terbukti ibu dari putrinya itu sebagai agen ganda? Saksikan kelanjutannya di aplikasi daring Mola TV.

Antara Fiksi dan Fakta

Secara keseluruhan, Allied merupakan sajian yang menarik. Iringan music scoring garapan Alan Silvestri meski minimalis tetap bisa membawa penonton merasakan suasana di beragam latar belakang yang dihadirkan. Tembang-tembang Prancis lawas yang mengiringi adegan berlatarbelakang kota Kasablanka di era 1940-an merupakan salah satu contohnya.

Kesiapan tim produksinya juga yahud. Selama dua bulan tim meriset sejumlah properti dan wardrobe di Imperial War Museum dan juga lewat film-film lawas bertema serupa, seperti Casablanca (1942) dan Now, Voyager (1942). Alhasil otentisitas Allied saat menghadirkan kehidupan kota termasyur di Maroko itu pada era Perang Dunia II tak perlu diragukan.

Namun saat dirilis pada November 2016, Allied tak hanya menuai pujian namun juga kritik. Kritikus Peter Bradshaw dalam ulasannya yang dimuat The Guardian edisi 21 November 2016 menguraikan, jalan ceritanya terlalu berat dan chemistry antara Pitt dan Cotillard ibarat robot yang ditanamkan chip terjemahan Google di kepala mereka.

Baca juga: Against the Sun, Kisah Penyintas Perang Pasifik

Sementara, kritikus Gary Rotstein dalam The Pittsburg Post-Gazette, 23 November 2016, mengulas: “Terlalu banyak referensi plot cerita yang meniru Casablanca. sementara Casablanca merupakan salah satu film terbaik sepanjang sejarah, film ini (Allied) terasa sedatar peta Perang Dunia II yang di atasnya ditandai swastika pada semua area Eropa yang diduduki Jerman.”

Terlepas dari kritik-kritik itu, harus diakui Allied menyuguhkan konflik yang menarik. Ide filmnya berangkat dari cerita yang tersimpan di ingatan sang penulis naskah asal Inggris, Steven Knight. Kepada Smithsonian Magazine, 23 November 2016, Knight berkisah bahwa pada 1980-an, ia berkunjung ke rumah temannya di Texas, Amerika Serikat. Di sana, ia bertemu bibi dari temannya dan sang bibi menceritakan kisah serupa tentang seorang intel Sekutu yang terpaksa menghabisi istrinya karena nyatanya dia adalah agen ganda Jerman.

“Bibi dari teman saya mengatakan, saudaranya adalah agen SOE di garis belakang musuh dan jatuh cinta hingga menghamili seorang gadis Prancis. Kemudian diketahui sang gadis adalah mata-mata dan akhirnya harus membunuhnya,” terang Knight.

Karakter Marianne Beauséjour (kiri) yang merupakan tokoh agen ganda. (Paramount Pictures).

Knight lantas mencoba mencari arsip, dokumen, maupun buku-buku tentang SOE. Sayangnya tak sekali pun Knight menemukan cerita yang sama. Sejumlah sejarawan pun tak bisa memverifikasi cerita demikian. Tetapi hati kecil Knight berkata bahwa cerita semacam itu tak mungkin hoaks. Alhasil cerita itu seolah berada di garis antara fiksi dan fakta.

“Bagi saya cerita seperti itu bukan cerita yang bisa dibuat-buat. Makanya saya selalu berniat bahwa suatu hari cerita itu akan bisa difilmkan. Saya juga mendapat kesan bahwa cerita itu dikisahkan (bibi temannya) dari sebuah tempat di mana sebuah emosi terdalam itu berdiam dan sebuah memori menyakitkan untuk diceritakan,” imbuhnya.

Baca juga: Rekayasa Hoaks Intel Inggris Mengelabui Hitler

Bisa jadi, lanjut Knight, cerita semacam itu memang tak pernah tercatat dalam arsip manapun, baik karena ditutup rapat oleh pemerintah ataupun pelakunya enggan buka suara hingga sekarang. Toh Knight berkaca pada ayahnya yang bertugas di Tentara Angkatan Darat (AD) Inggris ke-8 yang bertempur di Afrika Utara pada Perang Dunia II. Sang ayah yang prajurit reguler pun enggan bercerita detail tentang pengalamannya sepulang dari perang.

“Sepuluh atau 20 tahun pascaperang, setiap orang menengok ke belakang dan memikirkan hal-hal yang tak masuk akal, terutama di masa perang. Masa yang kacau dan penuh ketakutan dan semua terjadi secara acak. Saya menemukan satu kasus, di mana seorang agen Inggris menikahi perempuan Spanyol dan tinggal di London. Sang istri menuntut pulang ke Spanyol dan jika tak dituruti, dia bilang: ‘Aku akan ceritakan kepada Jerman tentang D-Day (Pendaratan Normandia, red.).’ Bayangkan konsekuensinya,” tambah Knight.

“Mata Hari-nya” Perang Dunia II

Sebagaimana kisah Mata Hari yang jadi agen ganda di Perang Dunia I, tak sedikit perempuan yang juga menjadi agen intelijen di Perang Dunia II. Vera Atkins, Krystyna Skarbek, atau Nancy Wake –yang jadi perempuan paling diburu Gestapo (polisi rahasia Nazi)– merupakan sedikit di antaranya.

Dari sekian banyak perempuan yang jadi mata-mata Sekutu, tercatat ada satu yang kemudian membelot dan menjadi agen ganda. Dialah Mathilde Carré. Mulanya Mathilde merupakan agen Interallié (intel gabungan Prancis-Polandia), namun kemudian juga jadi agen untuk Abwehr. Ia acap dijuluki “Mata Hari-nya” Perang Dunia II.

Kisah Mathilde selaras dengan tokoh Marianne di film Allied. Keduanya sama-sama jatuh cinta pada seorang agen yang bekerja untuk Sekutu dan kemudian terpaksa membelot karena diancam eksekusi mati kala ditangkap intelijen Jerman. Namun,  kisah akhir antara karakter Marianne dan Mathilde punya jalan berbeda.

Baca juga: Mata Hari sang Agen Ganda

Eks perwira RAF (AU Inggris) Letkol Peter Jacobs dalam Setting France Ablaze: The SOE in France During WWII mengungkapkan, Mathilde merupakan seorang janda Prancis yang punya pertautan cinta dengan pemimpin Interallié yang berbasis di Paris, Kapten Roman Czerniawski dari AU Polandia. Mengingat markasnya juga bertempat di rumahnya, Mathilde yang punya julukan “La Chatte” alias “Si Kucing” pun terseret aktivitas intelijen. Untuk memperluas jaringan mata-matanya, dia hingga menjalin kontak dengan para agen Seksi F SOE pimpinan Kolonel Maurice Buckmaster pada pertengahan 1940.

“Ia (Mathilde) memakaikan pakaian mendiang suaminya dan yang terpenting, membuatkan dokumen identitas samaran Czerniawski sebagai Armand Borni. Bermarkas di Paris, Interallié mengembangkan jaringan besarnya secara pesat dengan lebih dari 100 agen di 14 lokasi yang diduduki musuh (Jerman). Jaringan Interallié juga makin dikenal di London dan Mathilde jadi salah satu agen paling dipercaya,” tulis Jacobs.

Mathilde Lucie Bélard (kiri) saat masih bersama mendiang suaminya, Maurice Carré & Kapten Roman Czerniawski (kiri). (lejsl.com/Centralne Archiwum Wojskowe).

Namun aktivitas Interallié terguncang oleh aksi penangkapan yang dilakukan Abwehr pada 17 November 1941. Mathilde dan kekasihnya turut diciduk. Namun seorang pemburu mata-mata Sekutu, Feldwebel (setara sersan) Hugo Bleicher memutuskan untuk memberi penawaran kepada Mathilde. Opsinya: Mathilde mau jadi agen ganda atau disiksa sampai mati.

Ketakutan, Mathilde pun memilih berkhianat. Tak hanya berkenan menyingkap semua jaringan para agen lapangan Interallié, ia juga jadi perempuan simpanan Bleicher. Mathilde pun dimanfaatkan Bleicher untuk menyusup ke markas SOE di London.

Baca juga: John le Carré di Antara Dunia Mata-mata dan Sastra

Tetapi kemudian setelah beberapa kali bertemu Mathilde, agen Interallié Pierre de Vomécourt dan agen SOE Marcel Ruby menaruh curiga padanya. Dalam sebuah kesempatan, De Vomécourt dan Ruby menjajal suatu tes semacam “Blue Dye Operation”. Keduanya lalu tiba pada suatu kesimpulan bahwa Mathilde memainkan peran agen ganda.

“Setelah kecurigaan kami memuncak, maka pada akhir Januari (1942) terkuaklah affair sang La Chatte. Mathilde mengakui pada kami bahwa dia dan staf pemancar radionya bersama beberapa agen Interallié lain yang dilepaskan dari tahanan Abwehr setuju untuk bekerjasama. Ia mengakui bahwa pesan dari London juga sampai ke pihak Jerman. Jelas itu suatu pukulan yang besar bagi kami,” kenang Ruby dalam otobiografinya, F Section SOE: The Story of the Buckmaster Network.

Melihat Mathilde yang mengaku terpaksa jadi agen ganda karena diancam eksekusi seraya menangis histeris, De Vomécourt urung menembaknya mati. De Vomécourt justru menawarkannya satu perjanjian untuk jadi triple agent. De Vomécourt memanfaatkan Mathilde untuk mendapatkan surat jalan dari Bleicher untuknya, yang menyamar menjadi Tuan Lucas, dan Mathilde agar bisa berperjalanan ke London.

Setibanya di London pada Februari 1942, Mathilde pun diinterogasi SOE dan MI5 (dinas kontra-intelijen Inggris). Setelah diminta menguak metode-metode Abwehr, Mathilde lantas dijebloskan ke bui hingga akhir perang. Sepulangnya ke Prancis pasca-dideportasi, Mathilde pun dihadapkan ke pengadilan dan diancam eksekusi mati. Namun vonis yang keluar kemudian pada Januari 1949 adalah hukuman 20 tahun penjara.

Data Film:

Judul: Allied | Sutradara: Robert Zemeckis | Produser: Graham King, Steve Starkey, Robert Zemeckis | Pemain: Brad Pitt, Marion Cotillard, Jared Harris, Simon McBurney, Lizzy Caplan, Matthew Goode, August Diehl | Produksi: Huahua Media, GK Films, ImageMovers | Distributor: Paramount Pictures | Genre: thriller perang | Durasi: 124 menit | Rilis: 9 November 2016, Mola TV

TAG

film intelijen molatv

ARTIKEL TERKAIT

Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Jenderal Orba Rasa Korea Sisi Lain dan Anomali Alexander Napoleon yang Sarat Dramatisasi Harta Berdarah Indian Osage dalam Killers of the Flower Moon Alkisah Bing Slamet Tiga Negara Berbagi Sejarah lewat Dokumenter Kunjungan Nehru Vanessa Redgrave, Aktris Peraih Oscar yang Membela Palestina